Oleh : Piet Kait Taborat, SH |
BELAKANGAN ini saya mengikuti pembicaraan menarik di salah satu WAG (Whatsapp Group). Diskusinya mengenai kaitan antara Blok Masela, persaingan politik Amerika-China dan tentunya, masa depan Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
Seorang teman beranggapan, Blok Masela akan menjadi hotspot (titik panas) persaingan politik Amerika- China.
Besarnya pengaruh China di kawasan akan mendesak Jepang, yang perusahaannya (INPEX) memenangkan tender Blok Masela untuk mencari perlindungan. Siapa lagi kalau bukan meminta kepada kawan karibnya, Uncle Sam (Amerika Serikat).
Blok Masela adalah ladang gas Abadi yang terletak antara Laut Banda dan Arafura, mengapit Kepulauan Tanimbar. Sempat Trending, karena internal Pemerintah silang pendapat. Menteri ESDM ingin pengolahannya dilakukan di Laut (off-shore), sementara Menko Maritim inginkan di darat (on-shore).
Presiden Jokowi-pun turun tangan. Beliau ambil keputusan untuk sudahi perbedaan. Diputuskan onshore dengan kombinasi. Teknisnya saya tidak terlalu menguasai.
Intinya, Blok Masela adalah proyek besar. Semua ingin terlibat. Semua ingin peroleh keuntungan. Walaupun hanya remah-remah sekalipun. Seperti semut, di mana ada gula, di situ pasti ada semut.
Lalu, gerangan apa yang menghubungkan Blok Masela dengan kontestasi Amerika – China? Rupanya teman saya khawatir Pemerintah alihkan izin Inpex kepada China. Ia berandai, karena pengaruh China begitu kuat, maka Jepang akan minta tolong ke Amerika, untuk melindungi perusahaannya, Inpex. Nah, bila Amerika sudah ‘turun tangan’, dapat terjadi Perang Dunia ke-III. Demikian pungkas logikanya.
Sepertinya, agak berlebihan. Di atas kertas, Inpex telah menang tender. Apalagi Indonesia sudah lebih demokratis.
Pasca reformasi, konsolidasi demokrasi Indonesia tinggal landas. 4 Amandemen Konstitusi dalam kurun waktu 4 tahun. Desentralisasi menggantikan sentralisasi. Kekuasaan Jakarta ter-Dekonsentrasi.
Prosesnya belum sempurna, karena terkadang masih terbentur sana-sini. Tapi setiap Negara (Demokrasi) tokh miliki kekurangan dan kelebihan. Lagipula, Indonesia kan Negara Hukum. Tidak perlu dikhawatirkan.
Namun, setelah saya renungkan, teman tersebut mungkin ada benarnya. Apalagi kalau melandaskan pada sejarah, sejarah Maluku dan Indonesia Timur.
Saya pun jadi ikut khawatir. Bukan khawatir Pemerintah akan alihkan izin ke China. Bukan. Tapi
karena kontestasi kekuatan asing sudah mendarah daging di wilayah Timur Nusantara tercinta ini.
Sejarah mengajarkan, keputusan politik yang diambil bangsa lain bisa pengaruhi hidup-mati, timbul-tenggelam masyarakat di Nusantara.
Contoh ekstrim, pada tahun 1494, Kekaisaran Portugal dan Spanyol menanda-tangani Perjanjian Tordesillas. Menurut kesepakatan Tordesillas, Portugal berhak untuk miliki wilayah apapun yang ditemukan di sebelah barat Kepulauan Cape Verde (Tanjung Verde).
Sementara Spanyol, berhak miliki wilayah apapun yang ditemukannya di sebelah Timur Kepulauan Cape Verde.
Perjanjian ini disusun karena keduanya berkonflik, konflik perebutan wilayah jajahan. Tidak kepalang tanggung. Paus Julius ke-II (pemimpin Gereja Katolik Roma) sampai turun tangan memberikan Legitimasi (Endorsement) atas perjanjian tersebut. Agar tidak berlarut-larut.
Iya, dulu Paus memang terlibat politik praktis. Bahkan mereka beranak-pinak. Zaman dahulu, kekaisaran/kerajaan Katolik biasanya berikan ‘upeti’ kepada Paus sebagai Pemimpin Spiritual.
Bukan mustahil hasil jarahan dan jajahan kerajaan/kekaisaran tersebut (mungkin) sempat jadi bagian upeti ke Paus.
Pada masa jayanya, kurang sreg apabila kaisar atau raja tidak dinobatkan oleh Paus. Karena ‘berkat’ Paus adalah simbol legitimasi ilahi. Martin Luther, pencetus Gereja Lutheran, adalah mantan Pastor yang murka karena Gereja Katolik sering menjual pengampunan dosa.
Pengampunan dosa kok diperjual-belikan. Mungkin begitu gumam Martin pada saat itu. Tapi, periode kelam Gereja Katolik Roma sudah berlalu. Masa kelam itu kini sudah menjadi masa lalu. Sekarang, Paus tidak lagi berpolitik praktis. Sepanjang yang saya tahu.
Anda tentu bertanya, apa yang membenarkan kedua kekaisaran ini bisa klaim ‘kepemilikan’? Anda tentunya lebih bertanya lagi. Apa kaitan Perjanjian Tordesillas dengan Maluku?
Ya, karena mungkin lupa/tidak tahu bahwa bumi itu datar. Maaf, bahwa bumi itu bundar, akhirnya armada laut keduanya bertemu di Nusantara. Mereka ketiban untung. Maluku dan wilayah lain Nusantara ternyata kaya akan Rempah (spices).
Sisa ceritanya tentu anda paham. Bangsa Eropa, yakni Portugal, Belanda dan Inggris secara bergantian menjarah dan menjajah penduduk Nusantara. Eksploitasi Nusantara turut menambah pundi-pundi pendapatan kas kerajaan/kekaisaran bangsa-bangsa tersebut.
Sedikit intermezo. Setiap kali membaca sejarah datangnya bangsa Portugal, Spanyol dan Inggris ke Nusantara, saya selalu tidak habis pikir. Katanya beragama, tapi kok menjajah?
Itulah sifat manusia. Lemah. Ketamakan mengalahkan kemanusiaan, cinta kasih. Mereka tidak bisa bersikap, bahwa manusia bukan hidup dari roti semata, melainkan dari Firman Tuhan.
Rempah ibarat roti, komoditas pemuas kebutuhan insani. Ajaran cinta kasih yang berasal dari Firman Ilahi tidak diindahkan, karena manusia lebih memilih dikuasai nafsunya. Nafsu untuk menguasai, nafsu untuk mengeksploitasi. Bangsa-bangsa asing ini-pun akhirnya menetap dan menjajah Nusantara.
Berbeda dengan saudagar dari pesisir pantai di Timur Tengah. Mereka datang, berdagang, berasimiliasi dengan masyarakat lokal. Kisah mereka tidak diingat sebagai kisah penindasan. Wajar kemudian, bila banyak warga Nusantara yang terpukau/tersentuh oleh Saudagar-saudagar tersebut. Mereka bahkan secara Sukarela ikut menganut agama yang dibawa sang saudagar dari Jazirah Arab.
Kembali ke pertanyaan tadi. Apa kaitan kisah ini dengan Maluku, Blok Masela, dan kontestasi politik Amerika – China?
Kaitannya adalah semua ini berawal dari keputusan politik yang ditempuh di seberang lautan. Karena Perjanjian Tordesillas-lah akhirnya Portugal dan Spanyol bertemu di Nusantara. Kisah mereka akhirnya menginspirasi bangsa penjelajah lainnya (Belanda dan Inggris) untuk juga datang ke Nusantara.
Penjajahan dan penjarahan rempah-pun tidak terjadi dengan sendirinya. Diperlukan keputusan politik oleh sentra-sentra kekuasaan di Belanda, Portugal dan Inggris, untuk akhirnya menyetujui pembiayaan ekspansi besar-besaran, pengiriman tentara, hingga ke pembangunan kapal layar. Semuanya demi keberhasilan Mengkolonisasi suatu wilayah.
Apakah nasib, harkat, martabat penduduk Nusantara dipikirkan oleh pengambil keputusan di sentra-sentra kekuasaan tersebut? Mungkin saja, tapi sepertinya tidak karena sejarah menunjukkan sebaliknya.
Contoh lain, perang Dingin. Ya, Perang Dingin (Cold War) juga contoh nyata keputusan politik yang ditempuh di seberang lautan dapat pengaruhi hidup-mati, timbul-tenggelam masyarakat Nusantara.
Dari sejarah kita belajar. Kontestasi/perebutan pengaruh antara Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet, miliki pengaruh dalam kehidupan politik Indonesia.
Keputusan pemimpin politik di Amerika dan Uni Soviet pada masanya sangat mempengaruhi nasib rakyat Indonesia, setidaknya Politik Dalam Negeri kita.
Ketika Indonesia seakan dekat dengan Blok Komunis Moskow, pemimpin politik Amerika memutuskan untuk membantu gerakan PERMESTA pada medio tahun 1950-an. Salah satu mata-mata Amerika, Allan Pope, tertembak jatuh dan dihukum mati (walaupun akhirnya dibebaskan).
Begitu juga Papua. Kita bisa merebut kembali Irian Barat dari cengkraman Belanda setelah kita tekan Amerika. Indonesia membeli Alutsista dari Moskow untuk menggempur Belanda.
Kondisi ini mengkhawatirkan Paman Sam. Pesan tersirat Indonesia adalah, tanpa Amerika kita bisa. Khawatir kita semakin dekat dengan Uni Soviet, Amerika akhirnya ancam Belanda.
Amerika ancam, Belanda sebaiknya tidak terlalu keras kepada Indonesia, bila tidak mau bantuan Marshall Plan-nya dipotong. Marshall Plan adalah paket bantuan ekonomi dari Amerika untuk pemulihan ekonomi Eropa pasca Perang Dunia ke-II.
Konflik/kontestasi politik antar kekuatan dunia bukanlah peristiwa yang terpencil atau peristiwa yang jauh dari kehidupan berbangsa kita.
Kontestasi kekuatan dunia adalah kontestasi geopolitik. Geopolitik adalah politik yang bercirikan kalkulasi/pemanfaatan ruang bagi pemenuhan/pencapaian kepentingan-kepentingan.
Kontestasi kekuatan dunia dapat mempengaruhi urusan hidup-mati suatu bangsa, sebagaimana peristiwa sejarah di atas tunjukkan. Karenanya ia tidak boleh dikesampingkan. Seperti yang Bung Karno ucapkan. Jasmerah, Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Saya percaya pada demokrasi Indonesia. Saya percaya pada kemampuan bangsa kita dalam menghadapi kontestasi Geopolitik dunia. Kita tentus dapat selalu menengok sejarah dan memetik pelajaran darinya.
Pendahulu kita tidak hanya angkat senjata, tapi juga Berdiplomasi sehingga kemerdekaan bisa direbut dan dipertahankan. Pendahulu kita paham, bagaimana menggunakan kekuatan senjata dan diplomasi untuk merebut kembali Irian Barat dari Belanda.
Pendahulu kita cerdik, karena memenangkan Wawasan Nusantara sehingga konsep Negara Kepulauan diterima sebagai rezim hukum internasional.
Kita tidak perlu khawatir. Niscaya, seluruh tantangan/kontestasi dapat dihadapi bila ada kesatuan tujuan, kesatuan gerakan, dan kepercayaan yang kuat antara pemimpin dan rakyatnya.
Politik kita haruslah menjadi politik yang menghidupi jiwa dan raga rakyat. Pilar penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dahulu kurang lebih 11 thn) saya adalah pegawai Bank (terakhir di Bank Mayora). Pasca krisis 1998, saya harus pulang kampung untuk berusaha. Dari pegawai Bank, saya menjadi supir angkot. Dari supir angkot, saya menjadi pengusaha. Dari pengusaha, saya menjadi politisi, dan kemudian menjadi anggota DPRD (utk Periode ke 4).
Kisah ini tidak akan mungkin bila bangsa Indonesia bukan menjadi Tuan di Negerinya sendiri. Hal ini mungkin karena Keputusan Politik disusun dengan memperhatikan Kehendak dan Kedaulatan Rakyat.
Tanpa iklim politik yang terbuka, sulit rasanya supir angkot menjadi Anggota Dewan. Inilah motivasi saya untuk terjun ke dunia politik. Turut serta dalam proses keputusan yang menaikkan Harkat, Derajat, dan Martabat Rakyat.
Saya berharap Pemimpin Politik Nasional mengambil keputusan yang tepat, waspada pada kontestasi Geopolitik dunia. Mengambil keputusan yang menjadikan rakyat sebagai Tuan di Negeri sendiri.
Mengambil dan memperjuangkan keputusan yang berpihak pada seluruh rakyat, bukan sebagian ataupun segelintir kelompok kepentingan. Salam.!! (Penulis adalah Anggota DPRD KKT)