LASKAR – Komisi II DPRD Maluku dalam waktu dekat akan menyurati Kapolda Maluku untuk segera menindak para pelaku yang bermain dalam aktivitas penambangan illegal di Gunung Botak, Kabupaten Buru.

“Pencemaran lingkungan yang terjadi disepanjang Sungai Anahoni sudah termasuk dalam tindak pidana karena melanggar UU No 32 Tahun 2009 pasal 60 dan pasal 104 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh sebab itu Komisi akan menyurati Kapolda untuk segera menindak para pelaku yang berativitas di Gunung Botak, “tandas Ketua Komisi II DPRD Maluku John Lewerissa kepada wartawan di Baeleo Karang Panjang (Karpan) Ambon, Selasa (9/8/2022).

Menurutnya penggunaan zat B3 yakni CN, Carbon Kostik, Kapur dan jenis zat lainnya berupa mercury merupakan unsur kesengajaan dari para pelaku. Akibat penggunaan zat-zat berbahaya ini berdampak pada pencemaran lingkungan dan efek yang dirasakan adalah ancaman kepada kesehatan dan keselamatan manusia dan habitat lainnya.

Oleh sebab itu, Komisi II DPRD Provinsi Maluku juga akan memanggil Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku. Kedua dinas ini memiliki keterkaitan erat dengan proses aktivitas penambang emas illegal yang marak terjadi serta penggunaan bahan beracun berbahaya B3, CN serta zat berbahaya lainnya.

Aktivitas tambang jenis bak rendaman ini berjejar sepanjang “Sungai Anahoni” hingga gunung Botak, Kabupaten Buru ibukota Namlea yang mengakibatkan aliran air sungai berubah warna menjadi biru langit.

Sungai di kawasan Gunung Botak yang sudah tercemari bahan-bahan kimia

Kondisi demikian, tentunya bagi Komisi II berencana mendengar penjelasan dari kedua dinas teknis ini sebagai bahan masukan bagi Ketua dan Anggota Komisi II DPRD Provinsi Maluku untuk selanjutnya berproses.

Birunya air sepanjangg sungai Anahoni menunjukan telah terjadi pencemaran berat terhadap air akibat zat beracun yang dipakai untuk operasional bak rendaman karena memakai zat B3 yakni CN Carbon Kostik, Kapur dan jenis zat lainnya berupa mercury.

Sebelumnya, Senin (8/8/2022) kemarin Lewerissa menegaskan kalau sikap Komisi II sangat jelas, bahwa dalam waktu dekat pihaknya akan menyurati unsur-unsur terkait untuk dimintai keterangan seputar penambangan illegal dan pengunaan zat berbahaya berupa B3, CN dan Karbon Kostik kapur dan lain-lain.

Ketika ditanya soal kemungkinan dibentuknya Tim Pansus DPRD Maluku terkait dengan maraknya aktivitas penambang dan pengunaan zat-zat berbahaya ini, Lewerissa berpandangan bahwa, persoalan ini tentu akan dibicarakan dulu dengan unsur pimpinan dan jika disetujui maka kemungkinan dibentuk pansus DPRD.

“Kebetulan kita ketua-ketua komisi akan melangsungkan rapat terbatas dengan Ketua DPRD dan dalam pertemuan ini saya akan laporkan masalah ini dan jika disepakati unsur pimpinan maka ini akan dibahas secara serius,”ungkap Johan Lewerissa yang mendapat kepercayaan Fraksi Gerindra menduduki Ketua Komisi II DPRD Maluku menggantikan ibu Saoda Tethool melalui Alat Kelengkapan Dewan belum lama ini.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Maluku dari Partai Gerindra, Eky Sardekut mengemukakan, apabila tindakan penggunaan zat-zat berbahaya ini jika benar adanya maka harus ada langkah nyata dari pemerintah daerah dan DPRD Maluku.

“Kalau itu betul maka harus ada tindakan yang dilakukan pemerintah daerah dan DPRD, entah siapa yang lakukan yang terpenting harus ada tindakan; kalau itu betul karena itu bisa merusak apalagi Gunung Botak saat ini dalam tahap recovery, “tandas Sairdekut.

Penggunaan bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat energy dan atau komponen lain yang karena sifat konsentrasi dan atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya berdasarkan UU no. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dan pada pasal 28 dan pasal 29 Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2001 pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai tanggungjawab yang sama dalam melakukan pengawasan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Sehingga diperlukan sebuah mekanisme untuk dapat menjadi pedoman untuk menentukan bahwa suatu bahan kimia harus dibatasi atau tidak terkait dengan produksi, impor dan peredarannya di Indonesia.

Terlepas dari rencana dengar pendapat dengan dinas Bapedalda dan Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Komisi II juga harus memintai keterangan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku soal adanya pembangunan tiga Bendungan (tempat penampungan Air) sejenis embung yang dibangun oleh pihak terkait. Konon katanya tiga bendungan ini dibangun tanpa persetujuan atau ijin prinsip yang dikeluarkan instansi teknis dari pemerintah. Kendati begitu, tiga bendungan itu, telah beroperasi sejak tahun 2018 silam.

Bendungan parmenan milik pengusaha provinsi Gorong Talo berinisal LS ini, terletak di kepala Sungai Wambulale dan dua lainnya terdapat pada masing – masing anak sungai Wambulale. Ketiga Bendungan ini telah beroperasi di tahun 2018 lalu.

Dan manfaat dari bendungan dimaksud adalah untuk kegiatan illegal tambang yakni untuk mengaliri kegiatan usaha tambang maupun bisnis usaha tambak larut dan dompeng milik pengusaha lainnya disekitar area pertambangan.

Dan harga sewa dari penggunaan air Bendungan ini, nilainya cukup fantastis. Padahal tiga bendungan ini tidak punya amdal dan ijin pendukung lainnya dari Kementrian Lingkungan Hidup maupun ijin dari Dinas Kehutanan.

Kendati tidak punya ijin tapi ketiga bendungan ini tetap beroparasi liar. Kesuksesan dibalik semua pengoperasian bendungan ini, maupun beroperasinya tambang secara liar, karena ada indikasi backingan dari oknum-oknum TNI-Polri.

Mencermati penggunaan sebuah lahan untuk pembuatan bendungan baru misalnya; pertama-tama pengusaha dan atau pihak swasta harus memenuhi beberapa persyaratan teknis: pertama adanya rekomendasi dinas kabupaten/kota yang tentunya mendapat pesetujuan bupati.

Sebelum mendapat persetujuan bupati, Bapedalda Provinsi harus melakukan peninjauan lapangan untuk mengetahui secara detail lahan dimaksudnya layak atau tidak dengan dikeluarkannya dokumen hasil pemantauan lingkungan (UPL) atau upaya kelolah lingkungan (UKL). Jika itu sudah terlaksana maka dinas mengeluarkan rekomendasi untuk kemudian diteruskan kepada gubernur. Selanjutnya gubernur menerbitkan ijin prinsip terkait dengan tujuan penggunaan lahan. Dari ijin prinsip tersebut, selanjutnya diteruskan ke Kementerian Kehutanan guna mendapatkan ijin penggunaan lokasi. Apabila ijin penggunaan lokasi telah dikeluarkan kementerian Kehutanan maka pengusaha dan atau pihak swasta baru bisa melakukan penggunaan lahan. 

Maraknya kegiatan aktivitas jenis bak rendaman yang telah memakai bahan beracun berbahaya mulai dari gunung botak hingga bentaran sungai Anahoni, bisa berdampak kepada kelangsungan kehidupan manusia maupun habitat lainnya. Dan kegiatan illegal semacam ini jika terus dibiarkan maka berdampak efek negetif kepada kelangsungan mahkluk hidup di kabupaten Buru maupun Kabupaten Namrole.

Kegiatan aktivitas tambang jenis Tromol mulai dari Desa Wabsait, Desa Dava, Desa Deboway, Desa Perbulu, Desa Unit S, Desa Grandeng. Bahkan aktivitas jenis tong mulai dari Desa Wabsaid, Desa Tanah Merah Unit 10 dan Desa Grandeng pemiliknya adalah seorang pengusaha berinisial B beralamat di Desa Wabsaid. Pengusaha ini pernah ditangkap pihak Polres Pulau Buru tahun 2021 lalu, tetapi kemudian dilepas.

Di Tahun 2018 lalu, Mabes Polri pernah menahan dan menangkap beberapa pengusaha di Kota Namlea dan sekitarnya terkait dengan kepemiliki zat – zat berbahaya, serta menyegel sebuah perusahaan yang diduga menyalahi perijinan yakni PT PPIP.

Perusahaan ini beralamat di Jalur H Desa Wabsaid Kecamatan Waelata Kabupaten Buru. Kala itu perusahaan PT PPIP dikendalikan oleh ( J ) dengan jenis usaha berupa bak rendaman yang cukup besar. Perusahaan ini diberi garis tanda larangan (Police line) lantaran tidak punya tempat penampungan hasil sisa olahan (limbah) berupa zat B3. (L05)