LASKAR – DPD Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (FPPI) Provinsi Maluku dan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Cabang Katedral Ambon menggelar Sosialisasi UU Tindak Pidana Kekerasan Perempuan (TPKS) dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Ambon, Senin (5/12/2022) yang dipusatkan di lantai 3 Pastoran Katedral Ambon.

Sosialisasi yang menghadirkan sejumlah organisasi perempuan dan LSM yang intens memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi dan Kota Ambon, dibuka langsung oleh Ketua Komnas Perempuan RI Andy Yentriyani, dilanjutkan dengan paparan materi dari Wakil Ketua Komnas Perempuan RI Dra Olivia Ch Latuconsina,MP yang juga sebagai Dewan Pertimbangan Daerah FPPI Maluku.

Ketua Komnas Perempuan RI Andy Yentriyani

Semua Elemen Kawal UU TPKS

Andy Yentriyani dalam sambutannya mengajak semua elemen perempuan perlu memastikan agar mengawal Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bukan saja pada penanganan tapi juga pada upaya-upaya  hukum.

Menurutnya, dalam UU TPKS ada 9 bentuk kekerasan sosial yang diperkenalkan. Tetapi UU ini juga diberlakukan pada  semua tindak kekerasan seksual yang diatur di dalam UU yang lain termasuk di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan RI Olivia Latuconsina dalam Sosialisasi tersebut menggambarkan kerja-kerja Komnas Perempuan selanjutnya menyampaikan gambaran umum UU TPKS.

Wakil Ketua Komnas Perempuan RI Dra Olivia Latuconsina

Wakil Wali Kota periode 2006 – 2011 ini mengatakan, Komnas perempuan mengembangkan dan menguatkan jaringan kerja di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. Komnas perempuan tidak memiliki mandat secara langsung untuk melakukan pendampingan kasus secara langsung.

Disebutkan, Komnas Perempuan RI membangun mekanisme rujukan dan mekanisme dukungan advokasi dalam menyikapi pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Mekanisme penyikapan yang diterima Komnas perempuan tahun 2021 sebanyak 2.036.

Latuconsina juga menjelaskan alasan dilakukan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang berlangsung dari tanggal 25 November hingga tanggal 10 Desember.

“Rentang waktu tersebut dipilih karena secara simbolik menghubungkan antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM yang menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk pelanggaran HAM,” ujarnya.

25 November, Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempua, 29 November, Hari Internasional Perempuan Pembela HAM, 1 Desember, Hari AIDS Sedunia, 2 Desember, Hari Internasional Penghapusan Perbudakan, 3 Desember, Hari Disabilitas Internasional, 5 Desember, Hari Internasional bagi Sukarelawan, 6 Desember, Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan, 9 Desember, Hari Anti Korupsi Sedunia, dan 10 Desember, Hari HAM Internasional.

Dirinya menambahkan, tingkat kekerasan terhadap perempuan sejak tahun 2012-2019 katanya mengalami kenaikan, namun di tahun 2020 turun karena Covid-19, tetapi di tahun 2021 naik dari sebelum Covid. Tahun 2021 jumlah meningkat 50% dibanding tahun 2020 bahkan lebih tinggi dari sebelum masa pandemi di tahun 2019.

“Ini menunjukkan perangkat akses laporan secara online sudah mulai dikenal dan adanya kesadaran dalam melaporkan kasus,” ujarnya.

Latuconsina sempat menyinggung soal gadget yang harus diawasi oleh orang tua, karena akibat Covid orang tidak kemana-mana semua serba online hal ini menyebabkan jika tidak melakukan kontrol terhadap penggunaan gadget kepada anak-anak bisa sangat berbahaya.

Menurutnya, sejak tahun 2012, Komnas Perempuan mengamati bahwa angka pelaporan kekerasan seksual terus meningkat dengan kasus yang semakin kompleks.

Pada tahun 2021, terdapat 2.204 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan langsung kepada Komnas Perempuan, dimana 1.149 kasus terjadi di ranah personal, 1.051 kasus di ranah publik dan 4 kasus di ranah negara. Dibandingkan dengan tahun 2020, jumlah ini meningkat 72%.

Sosialisasi di sore hari tersebut mendapat respon dari ibu-ibu dan perempuan-perempuan hebat yang mengikuti Sosialisasi UU TPKS ini. Termasuk di dalamnya ketika Ketua WKRI Cabang Katedral mempertanyakan tentang masalah kekerasan perspektif wilayah kepulauan.

Menurut Latuconsina, Komnas Perempuan merasa penting melihat wilayah perspektif kepulauan dalam menangani berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan.

“Wilayah-wilayah kepulauan itu jangkauan korban akan sulit karena pengaduannya harus ke kabupaten atau ke ibukota kabupaten maupun provinsi. Geografis kepulauan itu yang membuat korban tidak berani melaporkan kasusnya karena rentan kendali yang jauh. Sasaran Komnas Perempuan adalah minimnya akses pada desa-desa terpencil itulah yang membuat tingkat kekerasan terus meningkat karena untuk melaporkan saja butuh biaya besar. Akses untuk mendapatkan perlindungan korban, agak susah jika berada di pulau-pulau,”jelasnya.

Karena itu Komnas Perempuan bekerjasama dengan pemerintah khususnya lembaga-lembaga layanan jaringan masyarakat sipil, yang melakukan pendampingan terhadap korban dan pendataan, teman-teman jaringan masyarakat sipil, untuk mengungkap berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan dikoordinasikan dengan Komnas Perempuan.

Menutup Sosialisasi di sore hari itu, Latuconsina berharap setelah adanya UU TPKS ini segera dibuat Peraturan Pemerintah (PP) agar turunan dari UU TPKS ini pemerintah daerah bisa segera membuat peraturan agar korban tidak kesulitan.

Pendiri Rumah Generasi Poppy Siahaya saat menjelaskan program Kota Ambon menuju Kota Inklusif

Ambon Menuju Kota Inklusif

Sementara itu di sela-sela kegiatan Sosialisasi ini, Pendiri Rumah Generasi Poppy Siahaya menyempatkan diri mengisi waktu dengan memperkenalkan Rumah Generasi yang merupakan mitra lokal BaKTI di Kota Ambon dalam program Kota Ambon menuju kota yang inklusif kepada ibu-ibu dan perempuan.

Siahaya menjelaskan tentang inklusi serta tujuan program inklusi yang adalah untuk menjangkau masyarakat yang rentan dan marjinal, yang selama ini tereksklusi dalam aktivitas pembangunan. Dalam mencapai tujuan itu, tambahnya, perlu peran media.

Diharapkan, Ambon bisa menuju masyarakat Inklusif sebagai upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan dan minoritas demi pembangunan yang inklusif.

Menurutnya, Kota Ambon termasuk salah satu dari enam kabupaten/kota di Indonesia timur yang angka kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup tinggi.

Menuju Kota Ambon yang Inklusi, selain pada kelompok disabilitas, perempuan dan anak pemerintah perlu membuka layanan Inklusi terhadap kelompok rentan lain yang selama ini mungkin termarginal.

Rumah Generasi juga telah membangun kerjasama dengan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama/MOU dengan Pemerintah Kota Ambon dan DPRD Kota Ambon, tentang Pelaksanaan Program Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif atau Program INKLUSI. Penandatanganan Perjanjian Kerjasama tersebut menandai dimulainya Program INKLUSI di Kota Ambon.

Ade Ohelo dari P2TP2A Provinsi

Di tempat yang sama Ade Ohelo yang merupakan salah satu pendamping dari P2TP2A Provinsi Maluku menjelaskan tentang kerja-kerja P2TP2A Provinsi Maluku selama ini yang telah turun sosialisasi di sekolah-sekolah, desa-desa dan berbagai elemen masyarakat.

Eta Purba dari P2TP2A Kota Ambon

Sementara P2TP2A Kota Ambon Eta Purba membagi informasi kepada ibu-ibu dan undangan agar bisa melaporkan jika ada kasus-kasus kekerasan yang terjadi, serta membagikan nomor kontak yang dapat dihubungi langsung. (L02)