JAKARTA, LaskarMaluku.com – Merasa dirugikan karena masa jabatan dipangkas, Gubernur Maluku Murad Ismail bersama 6 kepala daerah mengajukan gugatan terkait Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Enam kepala daerah yang ikut mengajukan gugatan bersama Murad Ismail yakni, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak dan Wali Kota Bogor Bima Arya. Berikut, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa dan Wali Kota Tarakan Khairul.

Para pemohon merasa dirugikan karena masa jabatannya akan terpotong, yaitu berakhir pada tahun 2023, padahal pemohon belum genap 5 tahun menjabat sejak dilantik.

Sidang tersebut digelar di MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Rabu (15/11/2023).

Pemohon menguji Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Pemohon merasa dirugikan dengan Pasal 201 ayat 5 UU Pilkada tersebut, karena pasal tersebut mengatur masa jabatan hasil Pilkada tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023, padahal para pemohon mengaku dilantik pada 2019, sehingga terdapat masa jabatan yang terpotong mulai dari 2 bulan hingga 6 bulan.

Berikut ini bunyi Pasal 201 ayat 5 UU No 10/2016 tentang Pilkada:

“Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.”

Para pemohon menilai mestinya memegang masa jabatan 5 tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 162 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 10 Tahun 2016. Para pemohon menilai mestinya masa jabatan kepala daerah tersebut terhitung dari tanggal pelantikan para pemohon.

“Ketentuan UU a quo telah melanggar hak konstitusional para pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum. Para pemohon sebagai kepala daerah, harusnya mendapatkan kepastian, bahwa sebagai kepala daerah, mestinya memegang masa jabatan lima tahun sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016, yang dimulai dari tanggal pelantikan para pemohon, sesuai dengan Keputusan Pengangkatan para pemohon sebagai kepala daerah,” kata kuasa hukum pemohon dari Visi Law Office, Donal Faris membacakan permohonan di MK yang disiarkan di YouTube MK, Rabu (15/11/2023).

Oleh karenanya para pemohon meminta MK menafsirkan tentang akhir masa jabatan kepala daerah yang dipilih pada Tahun 2018, namun baru dilantik pada tahun 2019. Sebab sekalipun para pemohon terpilih pada Pilkada 2018, namun harus menunggu pelantikan pada tahun 2019 dengan jadwal pelantikan yang berbeda-beda. Hal ini terkait penyesuaian akhir masa jabatan para kepala daerah periode sebelumnya yang harus menjabat selama 5 tahun.

Pemohon mendalilkan, bagi kepala daerah yang telah habis masa jabatannya, maka pemerintah akan menunjuk penjabat kepala daerah dalam rentang waktu tertentu untuk mengisi kekosongan kepala daerah.

Menurut pemohon, pengisian penjabat adalah sesuatu yang sah dilakukan di dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi pemohon meminta agar ada kepastian hukum terkait masa jabatan kepala daerah yang belum habis 5 tahun terhitung sejak pelantikan, dan belum melewati bulan November 2024 sebagai jadwal Pilkada serentak.

“Padahal akhir masa jabatan para pemohon sama sekali tidak mengganggu jadwal pemungutan suara serentak nasional yang diselenggarakan bulan November 2024 mendatang,” katanya.

Oleh karenanya, Donald Faris menilai jika dicermati ada ‘kekosongan norma’ antara Pasal 201 ayat (4) dan ayat (5) UU Pilkada, yang belum mengatur tentang akhir masa jabatan kepala daerah yang dipilih pada tahun 2018, namun baru dilantik di tahun 2019.

Berikut ini bunyi petitum pemohon:

Dalam Provisi:

  1. Mengabulkan permohonan Provisi para pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menjadikan Permohonan a quo yang dimohonkan oleh para pemohon sebagai prioritas pemeriksaan di Mahkamah untuk memberikan perlindungan hak konstitusional Pemohon dan meminimalisir kerugian konstitusional para pemohon akan terjadi;
  3. Memerintah Pemerintah dan/atau Kementerian Dalam Negeri untuk menunda pemberhentian para pemohon pada akhir Tahun 2023 dan menunda Pengusulan, Pembahasan dan Pelantikan Penjabat terhadap daerah yang dipimpin oleh para pemohon sampai Mahkamah menjatuhkan Putusan;

Dalam Pokok Perkara:

  1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan ketentuan di dalam Pasal 201 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” bertentangan dengan ketentuan di dalam UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang dilantik tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati pemungutan suara serentak nasional tahun 2024”;
  3. Memerintahkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini untuk dimuat dalam berita negara.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra memberi masukan terkait gugatan terkait masa jabatan kepala daerah yang diajukan para pemohon.

Ia meminta agar para pemohon menguraikan lagi dasar hukum yang lebih kuat dibandingkan gugatan sebelumnya terkait masa jabatan kepala daerah yang telah ditolak.

“Yang lain-lain sih sebetulnya tidak ada ya kalau mau dilakukan penajaman cuma berkait dengan soal bahwa masa jabatan seseorang itu kan dihitung dari pelantikan. Oleh karena itu coba dibaca lagi putusan yang terakhir itu yang sebetulnya memiliki kemiripan dengan apa yang di kemukakan di sini, tapi kan mahkamah menolak permohonannya,” kata Saldi Isra.

“Kalau Anda ingin ditolak juga ya ndak tahu kita ini, tapi kalu ingin mengubah itu, tolong kami dicarikan dasar hukum atau dasar pemikiran yang jauh lebih kuat sehingga kalau diadu dengan putusan sebelumnya itu yang Saudara sampaikan ke kami itu bisa mengalahkannya. Nah itu yang belum kelihatan di permohonan ini,” ujar Saldi Isra.

Pengurangan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah seiring Pilkada Serentak pada November 2024.

Hal tersebut berakibat pada terjadinya kekosongan jabatan kepala daerah di banyak wilayah. Pasalnya, sebanyak 101 kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022, terdiri dari 7 gubernur, 18 wali kota, dan 76 bupati.

Ada pula 170 kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2023, terdiri dari 17 gubernur, 38 wali kota, dan 115 bupati.

Mengisi kekosongan kepemimpinan sebagai konsekuensi dari keputusan pemerintah meniadakan Pilkada tahun 2022 dan 2023, pemerintah menunjuk penjabat kepala daerah. Masa transisi yang lebih dari dua tahun menjadi krusial bagi jalannya pemerintahan di daerah hingga digelarnya Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024

“Akan tetapi karena pemberlakuan Pasal a quo, kepastian untuk memegang masa jabatan selama lima tahun sebagai kepala daerah menjadi tidak lagi bisa diwujudkan. Karena ketentuan di dalam UU a quo sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhatikan waktu pelantikan para pemohon sebagai kepala daerah, dan tidak pula mengaitkannya dengan batas waktu penyelenggaraan pemungutan suara serentak nasional yang diselenggarakan bulan November 2024,” lanjutnya melansir detik.com.

Pemohon I, Gubernur Maluku Murad Ismail dilantik pada 24 April 2019, jika memegang masa jabatan 5 tahun, maka akan berakhir sampai 24 April 2024. Pemohon menilai dengan akan berakhirnya masa jabatan pada tahun 2023 sebagai akibat ketentuan Pasal 201 ayat 5 UU No. 10 tahun 2016 itu, maka masa jabatannya akan terpotong selama kurang lebih 4 bulan.

Sedangkan Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak dilantik pada 13 Februari 2019, jika memegang masa jabatan 5 tahun, maka akan berakhir sampai 13 Februari 2024. Emil Dardak menilai dengan berlakunya Pasal 201 ayat 5 UU No. 10 tahun 2016 yang mengakibatkan berakhirnya masa jabatannya pada tahun 2023, menyebabkan masa jabatannya terpotong selama kurang lebih 2 bulan.

Sementara Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bogor, Bima Arya dan Dedie A Rachim, dilantik pada 20 April 2019, jika memegang masa jabatan 5 tahun, maka akan berakhir sampai 20 April 2024.

Namun dengan berlakunya Pasal 201 ayat 5 UU No. 10 tahun 2016, mengakibatkan berakhirnya masa jabatan Bima Arya dan Dedie pada tahun 2023, sehingga menyebabkan masa jabatannya terpotong selama kurang lebih 4 bulan. (*/L02)