JAKARTA, LaskarMaluku.com – Pakar Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Wina Armada Sukardi, menegaskan, kewajiban pendaftaran pers bukanlah merupakan syarat sebuah badan hukum untuk dinyatakan sebagai lembaga pers atau bukan.

Dikatakan, bahkan kewajiban pendaftar bagi pers dilarang lantaran dianggap bertentangan dengan UU Pers dan kemerdekaan pers. Memang  tidak ada satu pun pasal dalam UU Pers yang mewajibkan pendaftaran badan usaha pers kepada Dewan Pers, atau kepada pihak manapun. Bagaimana mungkin UU Pers mewajibkan adanya pendaftaran ke Dewan Pers, kalau filosofinya dan konstruksi berpikir para perancang UU Pers, pendaftatan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan kemerdekaan pers.

Menurutnya,  pendaftaran badan usaha pers ke Dewan Pers bukanlah menjadi syarat agar pemberitaan dinilai sebagai produk pers, bahkan pendaftaran pers ke Dewan Pers haruslah dipandang sebagai pelanggaran terhadap UU Pers. Jika Dewan Pers melakukan kewajiban pendaftaran, sekali lagi, Dewan Pers sendiri yang melanggar UU Pers dan harus segera dikoreksi oleh para konstituennya.

“Kendati pendaftaran badan usaha pers dilarang, tetapi ini tidak berarti Dewan Pers tidak dapat mengetahui dan mempunyai data mengenai pers Indonesia.  Pasal 15 ayat (2) huruf “g” memberikan fungsi kepada Dewan Pers  untuk “mendata perusahaan pers.”  Namun perlu ditekankan pendataan perusahaan pers ini bukanlah syarat sebuah badan usaha menjadi pers atau bukan,” tulisnya dalam Rilis, Selasa (21/2/2023).

Sementara itu, mantan Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun, Rabu (22/2/2023) mengaku dia  tidak ingin berpolemik dengan Wina Armada Sukardi, pakar hukum pers yang dua periode menjadi anggota Dewan Pers dan pernah menjabat Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, terkait artikelnya “Tidak Ada Kewajiban Perusahaan Pers Mendaftar di Dewan Pers”.

Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, saya sudah selesai bertugas di Dewan Pers setelah menjadi anggota dua kali dan terakhir menjabat sebagai Wakil Ketua. Kedua, pandangan seperti itu pun pernah disampaikan ahli pers Kamsul Hasan yang juga lama menjadi pengurus PWI.

Persoalan yang kini menghangat umumnya adalah terkait verifikasi ini, Henry mengatakan, sifatnya sukarela tetapi menjadi seperti wajib bagi media, karena selain sebagai wujud profesionalisme media, juga ada kaitan ekonomis, sejumlah lembaga di pusat dan daerah, mensyaratkan status terverifikasi untuk dapat menjadi mitra kerja terkait pencitraan lembaga. Bahasa kasarnya, untuk bisa memperoleh jatah iklan.

Ada empat pemerintah provinsi yang mewajibkan status terverifikasi ini yakni Sumbar, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Riau, tetapi hanya Sumbar dan Kepri menjalankan dengan konsisten.

Babel kata Henry masih menunda karena banyaknya protes dari kalangan media, Riau meski sudah didukung penuh organisasi perusahaan pers konsituen Dewan Pers, informasi terakhir belum menjalankan 100%.

Di kabupaten dan kota pun sudah banyak yang menerapkan, ada menjalankan dengan ketat, dan masih ada yang longgar karena berbagai alasan, seperti untuk keadilan bagi media yang sudah menjalankan sebagian peraturan Dewan Pers.

Soal verikasi ini menurutnya, ramai diangkat media saat berlangsung Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin. Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menegaskan, Dewan Pers tidak pernah meminta pemerintah daerah untuk mensyaratkan status terverifikasi untuk menjalin kemitraan.

“Saya sendiri dalam berbagai kesempatan juga menyatakan hal yang sama. Bagi saya, cukup bahwa perusahaan pers itu berbadan hukum Indonesia sebagaimana ditetapkan Dewan Pers, memiliki Pemred dan Penanggungjawab bersertifikat Wartawan Utama sebagaimana diatur Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan, dan mencantumkan dengan jelas alamat redaksi sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat,” ujarnya.

Begitu pula kalau ada kasus hukum atau masih di tingkat pengaduan ke kepolisian atas sebuah produk jurnalistik, Dewan Pers selalu menjadikan tiga hal di atas sebagai dasar untuk pembelaan terhadap media. Bukan harus terverifikasi baru dibela dan dilindungi eksistensinya.

Hal ini juga disebabkan kesadaran dari sisi Dewan Pers bahwa proses verifikasi media secara administratif apalagi faktual, memerlukan proses yang lama. (L02)