AMBON, LaskarMaluku.com – Panitia Khusus (Pansus) Pengelolaan Pasar Mardika DPRD Provinsi Maluku meminta dan mendesak Kejaksaan Tinggi Maluku (Kejati) untuk melakukan audit terhadap PT Bumi Perkasa Timur (BPT) atas dugaan ketidaktransparanan dalam pengelolaan aset Pemerintah Provinsi Maluku berupa 140 ruko yang ada di Kawasan Pasar Mardika. 

Desakan tersebut disampaikan Anggota Pansus DPRD Maluku, Amir Rumra, kepada wartawan usai menghadiri rapat kerja lanjutan guna membahas segala persoalan perjanjian kerjasama antara Pemprov Maluku dan PT. BPT, Selasa (31/10/2023).

“Jadi Pansus bisa saja membatalkan perjanjian kerja sama itu. Kalau tidak, kita tetap memproses dan menyerahkan kepada Seksi Tindak Pidana khusus (Pidsus) agar dilakukan audit khusus terkait dengan sewa-menyewa berdasarkan perjanjian kerjasama antar pemprov dan PT. BPT,” kata Rumra. 

Politisi senior PKS ini, turut  prihatin dengan penjelasan yang disampaikan pihak PT BPT sehari sebelum pertemuan ini dgelar. 

Nyatanya, hari ini mereka (PT BPT) menunjukan bahwa mereka bohong-bohongan terkait dengan data pembayaran sewa ruko yang dijanjikan akan disampaikan.

“Oleh karena itu semua catatan dari Pansus sejak awal sampai sekarang diharapkan adanya langkah maju. Kita melakukan langkah maju dan tetap berpihak pada masyarakat kecil.

“Masyarakat sementara menunggu kira-kira pansus punya rekomendasi seperti apa. Namun jangan sampai rekomendasi pansus lemah lagi ” ujarnya.

Dikatakan, ternyata mereka menjelaskan dua tahun hanya setor kurang lebih Rp 5 miliar ke Pemda Maluku. 

Padahal kalkulasi kalau dihitung-hitung angka tidak segitu, lebih dari angka tersebut sebenarnya.

Ketika audit khusus lanjutnya, pihaknya tahu jelas dan langsung melakukan pembatalan terhadap perjanjian kerjasama. 

Lantaran kalau dihitung-hitung tidak menguntungkan pemerintah dengan dana Rp 5 miliar yang diserahkan oleh PT. BPT.

“Barang tentu ada data-data yang dijelaskan oleh pemilik ruko bahwa tidak sesuai dengan penjelasan dari PT. BPT. Hari ini mereka tidak hadir artinya mereka tidak menghargai lembaga ini.  Kemungkinan besar kerjasama itu bisa dibatalkan yang penting kita bisa ikuti prosesnya yang ternyata semua tahapan yang dilakukan dengan Pemda ternyata mereka (PT. BPT) abaikan,” bebernya.

Dirinya menyayangkan sikap Pemda yang tidak pernah melakukan evaluasi terkait persoalan ini, padahal sangat penting karena berkaitan dengan aset daerah. 

Bila pansus mengeluarkan rekomendasi tegas dan kalau diserahkan ke proses hukum maka diminta secara jelas untuk diaudit khusus pasti banyak hal yang akan ditemukan. 

“Kemudian perjanjian itu kita minta untuk dibatalkan agar proses terus berlanjut karena masyarakat sudah menunggu cukup lama. Dari ahli hukum menjelaskan seperti itu. Padahal persoalan ini sudah cukup lama. Maka sudah pasti dokumen-dokumen terkait persoalan itu harusnya ada,” terangnya. 

Sementara itu, sebelumnya, Kepala Biro hukum Setda Maluku, J. J Pietersz turut membeberkan besaran nilai sewa ruko yang telah diserahkan PT. BPT ke Pemda Maluku. 

Keabsahan perjanjian yang telah dilakukan oleh Pemprov dan PT BPT. 

“Tahun pertama Rp 250 juta, tahun kedua Rp 4 miliar,” ucapnya. 

Selain itu dijelaskan pula, perihal perjanjian yang dilakukan Pemprov dengan PT BPT yang adalah perjanjian untuk pengelolaan aset milik negara dalam hal ini milik pemrov. Sehingga yang menjadi landasan perjanjian ini adalah Permendagri No 19 tahun 2016 terkait dengan pengelolaan aset.

“Memang kemarin disampaikan oleh Pansus bahwa pedoman perjanjian untuk Permendagri No 22, tetapi kami mendasari semua ini karena pengelolaan aset dan Setda sebagai pengelola aset kami mendasari seluruh perjanjian dengan Permendagri No 19 tahun 2019. Dengan demikian selama ini kami menganggap bahwa dasar ini menjadi sah karena di dalam Permendagri 19 tahun 2016 pasal 78 itu ada 4 poin,” paparnya.

Pada poin 4 tambah dia, bahwa pengelolaan barang dari negara ke daerah saat ini tanpa persetujuan dari DPRD. Sehingga proses perjanjian yang dilakukan sudah sesuai dengan aturan dan memang proses perjanjian ini didapatkan pada saat akhir masa perjanjian.

“Jadi tetap sebagai pimpinan biro hukum kami bertanggung jawab untuk seluruh proses perjanjian ini dilaksanakan dan semuanya sudah berjalan. Ketika ada persoalan-persoalan yang terjadi  saya kira ini efek dari perjanjian yang dibuat. Perlu kami tambahkan bahwa perjanjian ini hanya untuk 140 ruko. Jadi tidak ada bias,” ungjapnya.

Menurutnya, berdasarkan informasi kata Pietersz, atau perkembangan yang terjadi ada juga (retribusi) lapak, ada juga sampah dan ada juga yang lain tetapi isi perjanjian jika ditelusuri hanya untuk 140 ruko yang kita perjanjikan dengan PT BPT.

“Demikian seluruh perjanjian ini hanya memberikan amanat bahwa 140 ruko merupakan barang milik daerah yang diperjanjikan dengan PT BPT dalam luasan 6 hektar yang berada di Pasar Mardika,” pungkasnya. (L04)