AMBON, LaskarMaluku.com – Panitia khusus (Pansus) pasar Mardika DPRD Provinsi Maluku meminta dan mendesak pihak Kepolisian dan Kejaksaan tinggi (Kejati) Maluku untuk segera mengusut kasus Dugaan Indikasi korupsi di PT. Bumi Perkasa Timur (BPT) yang merugikan daerah.

Pansus DPRD juga akan membawa kasus ini ke ranah hukum dengan melaporkan ke pihak Kepolisian, karena telah merugikan daerah dan mengintimidasi para penyewa Ruko yang ada di Pasar Mardika tersebut.

Penegasan disampaikan Wakil ketua Pansus Pasar Mardika DPRD Maluku, Jantje Wenno, kepada wartawan di kantor DPRD Maluku, Karang Panjang (Karpan) Ambon, usai menghadiri rapat bersama dengan pengelolah Ruko dan Pemprov Maluku, di lantai 2 ruang paripurna, Senin (6/11/2023).

Wenno mengatakan, Pansus untuk Pasar Mardika Ambon telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) baik dengan Pemerintah  Provinsi  Maluku maupun pemilik ruko dan  PT.BPT akan tetapi undang beberapa kali tidak hadir untuk rapat.

“Jadi dari hasil rapat pansus  tersebut ternyata Pansus  mendapat penjelasan dari penyewa ruko itu berbeda dengan penjelasan dari BPT yang mengatakan bahwa kurang lebih ada 10 ruko yang sudah membayar, tapi fakta yang kita dapat tidak sama,” ujar Politisi Perindo ini.

Lebih lanjut, Wenno menambahkan sementara ditemukan lebih dari 10 ruko yang sudah membayar kontrak, diantara yang sudah membayar adalah PT Bank Mandiri.

Bank Mandiri itu sudah bayar sewa kepada BPT kurang lebih Rp 14 Miliar  untuk jangka waktu 10 tahun.

Menurutnya, kemudian PT Bank Central Asia (BCA) sudah membayar Rp. 3 Miliar untuk jangka waktu 15 tahun, termasuk penyewa ruko yang sudah membayar antara Rp 100 hingga Rp 400 juta.

“Nah perlu diketahui bahwa Pansus berkesimpulan bahwa mereka yang sudah menyetor ke PT.BPT jumlahnya itu sebesar kurang lebih Rp 18 Miliar,” tandasnya.

Menurut Wenno, sementara dari hasil konfirmasi dengan Pemerintah  Provinsi  Maluku lewat Kepala Badan Pengelola Keuangan  Daerah dan ternyata bahwa PT.BPT  hanya menyetor ke kas Daerah kurang lebih hanya sebesar Rp 5 Miliar, dan sementara  sisanya masih Rp 13 Miliar yang ada pada mereka.

“Olehnya itu Pansus berkesimpulan bahwa perjanjian kerjasama antara Pemerintah  Provinsi Maluku dengan PT BPT adalah perjanjian yang tak lain sengaja dibuat untuk menguntungkan pihak tertentu dibalik itu,” cetusnya.

Dikatakan, kami juga telah meminta pendapat dari para ahli hukum perdata di Fakultas Hukum Unpatti bahwa perjanjian kerjasama itu tidak memenuhi syarat formal maupun syarat material karena hanya menguntungkan satu pihak.

Menurutnya, hal itu patut di duga mengandung unsur kolusi dan korupsi untuk memperkaya orang-orang tertentu dengan memanfaatkan melalui isi perjanjian tersebut.

“Dan bagaimana mungkin Pemerintah Provinsi Maluku sebagai pemilik aset hanya menerima kurang lebih 25 sampI 30 persen, nah sementara sisa 75 atau 80 persen itu dinikmati PT.BPT,” ujarnya.

Menurutnya, kalau dulu di masa Pemerintahan sebelumnya itu para pedagang sangat merasa cukup ideal dalam sewa-menyewa dan itu ringan, jika dibandingkan dengan yang sekarang perbedaannya sangat jauh seperti yang kita ketahui bersama.

“Oleh karena itu sebagai anggota pansus yang merupakan representasi rakyat Maluku secara tegas akan meminta dan mendesak pihak aparat Kepolisian untuk sesegera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap masalah ini,” tegasny. (L04)