AMBON, LaskarMaluku.com – Lembaga Rumah Generasi bekerjasama dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan sejumlah aktivis Perempuan di Kota Ambon untuk melakukan pemetaan gerekan perempuan demi perdamaian di Maluku.

FGD dilaksanakan, di kantor Lembaga Rumah Generasi Karang Panjang Ambon, Minggu (25/8/2024), yang dipandu langsung Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Arifah Rahmawati.

Usai FGD, Arifah menjelaskan, kegiatan hari ini merupakan konsultasi lokal kepada para teman-teman aktivis perempuan penggiat perdamaian di Maluku, khususnya di Ambon ini.

Menurut Arifah, setelah perdamaian atau pasca konflik di Ambon, orang banyak yang berasumsi bahwa situasi menjadi lebih baik, tapi fakta menunjukkan seringkali pasca perdamaian justru persoalan-persoalan baru muncul.

Suasana FGD di kantor Lembaga Rumah Generasi

“Nah, oleh karena itu kami perlu memahami apa sebenarnya persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para perempuan di Maluku, khususnya setelah perdamaian itu ada, atau perjanjian yang muncul,”jelasnya.

Selain itu juga, Arifah Rahmawati, yang juga Dosen Kajian Budaya dan Media Pasca Sarjana UGM ini menambahkan, bagaimana kendala-kendala yang dihadapi teman-teman aktivitas dalam melaksanakan aktivitas mereka.

“Dalam FGD ini juga kami melihat bagaimana teman-teman perempuan ini melakukan aktivitasnya, hambatan-hambatan apa saja yang mereka alami, tantangan-tantangan apa saja yang mereka hadapi, sekaligus belajar dari mereka bagaimana mereka mengatasi persoalan-persoalan dan tantangan tersebut,”ungkapnya Arifah seraya menambahkan, ternyata memang hampir semua aktivis perempuan di wilayah Ambon, problem dan tantangannya sama seperti dengan yang dihadapi di teman-teman aktivis perempuan di Jogja dan Aceh.

Anggota ASEAN Women Peace and Reconciliation ini mengatakan, dari FGD ini tergambar bahwa semakin menyempitnya ruang untuk beraktivitas perdamaian, sebab kuatnya praktek dan budaya patriarkis yang ada di masyarakat.

Belum lagi semakin banyaknya kasus-kasus yang harus mereka hadapi, dinamika masyarakat yang kemudian mempengaruhi kerja-kerja mereka.

“Jadi saya kira tujuan FGD ini adalah betul-betul untuk mendengarkan apa yang dialami teman-teman aktivis perempuan di masyarakat dan bagaimana mereka menangani persoalan-persoalan tersebut, terutama yang berkaitan dengan kekerasan dan juga isu-isu potensi konflik,”kata Arifah.

Foto bersama usai FGD

Arifah menambahkan, masih banyak masalah yang muncul, selain juga masalah-masalah awal yang menyebabkan konflik belum sepenuhnya tertangani dengan baik, seperti masalah kemiskinan, soal bagaimana patriarki itu mendorong munculnya kekerasan, melegitimasi terjadinya kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak.

“Jadi memang ini FGD hari ini kita melakukan pemetaan, dan kami berharap hasilnya adalah sebuah peta aktivisme perempuan di dalam membangun perdamaian,”ungkapnya.

Dirinya menambahkan, riset ini tidak hanya level lokal Ambon, tapi lokal nasional di Indonesia dan sekaligus level regional di ASEAN.

“Dan ini tentu saja akan kita bawa ke dalam forum-forum, baik itu di tingkat nasional maupun regional. Kami berharap ada keperpihakan terhadap problem-problem khusus yang dihadapi oleh aktivis perempuan termasuk juga problem-problem baru yang muncul di masyarakat pasca perdamaian,”harapnya.

Masih menurut Arifah, yang paling penting juga adalah bagaimana kita mengingatkan kembali semua pemangku kepentingan termasuk negara, bahwa perdamaian itu meskipun dikatakan sudah pasca konflik, tapi perdamaian itu belum muncul sepenuhnya di masyarakat.

“Masyarakat sebenarnya belum merasakan perdamaian. Jadi jangan beranggapan kalau sudah ada penandatanganan perjanjian damai kemudian situasi sudah damai. Tidak. Justru dinamika masyarakat itu sedemikian kuat dan itu menimbulkan problem-problem baru yang memiliki potensi untuk menjadikan konflik ke depan,”tegas Arifah.

Dirinya mencontohkan, dalam FGD terungkap, bagaimana terjadi perebutan sumber daya alam yang memicu adanya konflik antara penduduk lokal dengan penduduk adat misalnya.

Selain itu, ada kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada kekuasaan, yang pada akhirnya memicu pertentangan dengan masyarakat setempat.

“Jadi ada banyak sekali potensi-potensi konflik yang bahkan horizontal terjadi ketika kemudian itu berhubungan dengan tradisi, dengan adat sepperti ahli waris dan lain sebagainya. Ini semua menjadi potensi konflik dikemudian hari. Jadi potensi konflik akan selalu ada di masyarakat, meskipun dikatakan sudah damai,”tutup Arifah seraya berharap kedepan kerja-kerja aktivias perempuan dapat mengurangi dampak konflik dengan dukungan dari semua pemangku kepentingan, tidak hanya pemerintah, tidak hanya negara, tapi juga pihak-pihak di luar itu, seperti para pengusaha. (L02)