AMBON, LaskarMaluku.com – Anggota Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP RI di Maluku Bin Raudha Arif Hanoeboen, SE.ME mengajak masyarakat Maluku untuk menolak politik uang menjelang hari pencoblosan tanggal 27 November 2024 mendatang.

Karena menurutnya, baik pemberi maupun penerima akan sama-sama mendapat sanksi pidana sesuai dengan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.

Demikian disampaikan Raudha Hanoeboen saat menjadi narasumber dalam diskusi public yang digelar Bawaslu Provinsi Maluku dengan tema, “Perempuan Maluku Tolak Politik Uang dan Serangan Fajar” yang dilaksanakan di Kamari Hotel, Ambon, Minggu (24/11/2024).

Menurutnya, bukan saja pemberi dan penerima politik uang yang kena sanksi pidana, tetapi calon yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota (Pasal 73 point 2 UU Nomor 10 Tahun 2016)

“Tim kampanye juga yang terbukti melakukan pelanggaran dan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,”jelasnya.

Anggota Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP RI di Maluku Bin Raudha Arif Hanoeboen, SE.ME saat membawa materi

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura ini menjelaskan sanksi bagi pelanggaran politik uang sebagaimana tertuang dalam Pasal 187A UU Nomor 10 Tahun 2016 yakni dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 36 bulan dan paling lama 72 bulan dengan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Tolak Politisasi Sara

Pada kesempatan itu, Raudha Hanoeboen juga mengajak masyarakat Maluku untuk menolak politik sara.

Fenomena ini, sambung Raudha mencerminkan degradasi dalam wacana politik yang seharusnya positif, menggantikan argumen rasional dengan sentimen emosional yang dapat memecah belah masyarakat.

 “Politisasi SARA dalam pilkada adalah praktik penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan untuk kepentingan politik, yang sering kali bertujuan untuk meningkatkan elektabilitas calon atau merugikan lawan,”jelasnya.

Dirinya mencontohkan penggunaan Simbol Agama atau Etnis, yakni, kampanye yang menonjolkan simbol-simbol agama atau etnis untuk menarik dukungan atau mendiskreditkan lawan.

“Adanya pernyataan yang merendahkan kelompok tertentu berdasarkan suku, agama, atau ras, baik secara langsung maupun tidak langsung,”jelasnya seraya menambahkan, informasi palsu yang mengaitkan calon dengan isu SARA untuk mempengaruhi opini publik dan menciptakan ketegangan juga bagian dari politisasi sara.

Selain itu juga munculnya konten yang mengandung ujaran kebencian atau provokasi berbasis identitas di platform digital, serta terjadinya pembelahan dalam masyarakat berdasarkan identitas SARA, yang dapat terlihat dari reaksi kelompok terhadap calon tertentu.

Lantaran itu, Raudha mengatakan, pendidikan pemilih penting sebab tidak hanya terpaku pada soal teknis pilkada saja, tapi juga memberikan pencerahan agar pemilih menjadi cerdas dalam menganalisa dan menentukan pilihannya.

“Tujuannya agar pemimpin yang dipilih tersebut betul-betul orang yang kredibel dalam menjalankan kedaulatan rakyat,”ujarnya seraya mengakui pendidikan politik sangat penting untuk mengedukasi diri dan orang lain tentang pentingnya memilih berdasarkan visi dan misi, bukan latar belakang SARA. (L02)