AMBON, LaskarMaluku.com – Tanggal 29 Juli memiliki makna mendalam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Hari ini diperingati sebagai Hari Bhakti TNI Angkatan Udara, sebuah penghormatan atas keberanian, pengorbanan, dan dedikasi para pahlawan udara yang berjuang mempertahankan kedaulatan Indonesia dari agresi militer Belanda pada masa Revolusi.
Tepat pada 29 Juli 1947, dua peristiwa besar terjadi dalam waktu bersamaan. Pagi hari itu, Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara (TRI-AU, cikal bakal TNI AU) meluncurkan serangan udara pertamanya terhadap posisi-posisi militer Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang. Tiga kadet penerbang yakni Sutardjo Sigit, Mulyono, dan Suharnoko Harbani, menerbangkan dua pesawat tua peninggalan Jepang, Cureng dan Guntei, dari pangkalan udara Maguwo (sekarang Lanud Adisutjipto).
Dengan keberanian yang luar biasa, mereka menjatuhkan bom rakitan ke pos-pos Belanda dalam sebuah misi berani yang mencetak sejarah sebagai operasi udara pertama oleh TNI AU. Serangan ini tidak hanya menjadi simbol kekuatan militer Indonesia yang sedang bangkit, tapi juga mempertegas bahwa Republik yang baru lahir memiliki kemampuan mempertahankan langitnya.
Namun, kebanggaan itu dibarengi duka mendalam. Di hari yang sama, sebuah pesawat Dakota VT-CLA milik Palang Merah Hindia Belanda, yang sedang membawa bantuan medis dari Palang Merah Malaya, ditembak jatuh oleh dua pesawat tempur Belanda saat akan mendarat di lapangan udara Maguwo. Pesawat itu sebenarnya telah mendapatkan izin terbang sebagai misi kemanusiaan dan membawa penumpang penting. Serangan brutal tersebut menewaskan tiga tokoh kunci Indonesia: Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto, salah satu pendiri dan penggerak pendidikan penerbangan nasional; dr. Abdulrahman Saleh, pendiri Radio Republik Indonesia (RRI) dan tokoh pendidikan kedokteran; serta Opsir Muda Udara Adisumarmo, teknisi pesawat andalan Indonesia.
Ketiganya gugur sebagai martir dalam perjalanan memperkuat lini udara dan komunikasi Indonesia. Sebagai bentuk penghormatan, nama mereka diabadikan sebagai nama pangkalan udara: Lanud Adisutjipto di Yogyakarta, Lanud Abdulrahman Saleh di Malang, dan Lanud Adisumarmo di Solo.
Sejak tahun 1962, tanggal 29 Juli diperingati sebagai Hari Bhakti TNI AU, bukan hanya untuk mengenang peristiwa heroik dan tragis tersebut, tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya menjaga kedaulatan dan keamanan udara bangsa. Hari ini menjadi momen reflektif tentang pengorbanan dan semangat bhakti prajurit udara yang tak pernah padam.

“Kota Ambon”
Di hari Bakti TNI AU yang ke-78, Pangkalan TNI AU (Lanud) Pattimura, menggelar kerja bakti sosial di gereja Bethesda, jemaat Gereja Protestan (GPM) Kayeli, Dusun Airlow, Negeri Nusaniwe, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.
Kerja bakti itu ikut dihadiri Oleh Danlanud Pattimura, Kolonel Pnb, Sugeng Sugiharto, dan kerja bakti tersebut, dilangsungkan selama dua hari dan melibatkan kekuatan personil Lanud.
Selain kerja bakti, dalam rangka memperingati hari Bakti TNI AU yang ke-78, Lanud Pattimura menindaklanjutinya dengan berbagi aksi kegiatan sosial berupa pembagian sembako, pengobatan gratis, bazar murah yang digelar pada Sabtu 26/7/2025 di lapangan Bola kaki Air Louw.
Turut hadir dalam kegiatan amal itu, Kadispers Lanud Pattimura, Letkol Adm, Dana S, KasiFasint, Letda Sus, Yeri Wattimena, dan para tokoh masyarakat setempat
Karya bakti merupakan. Sebuah kegiatan dalam menyambut peringatan atas Keberanian, Pengorbanan, dan
Dedikasi para Pahlawan Udara yang Berjuang Mempertahankan kedaulatan Indonesia.
“MALUKU”
Kiprah anak-anak Maluku di jajaran satuan-satuan TNI AU sangat cemerlang.
Bahkan ada figur yang jadi penerbang andalan legendaris, lulusan Akademi Militer (Akmil) terbaik angkatannya yang meraih penghargaan Adhi Makayasa dan komandan pasukan elit TNI AU, Paskhas hampir semuanya adalah penerbang hebat jet tempur. Mulai dari pesawat jenis Mustang, Skyhawk, MIG-21 maupun F-5 Tiger dan lainnya.
Yang uniknya. Sepanjang sejarah TNI AU sejak awal kemerdekaan Indonesia, ada tiga orang atau trio yang satu marga (fam) sukses mencapai pangkat jenderal bintang dua atau Marsekal Muda (Marsda), maupun putra Maluku keturunan Tionghoa yang berpangkat jenderal bintang satu atau Marsekal Pertama (Marsma) dan lainnya.
Siapakah mereka ?
Tiga jenderal satu marga yaitu almarhum Marsda TNI Purn Leonardus Willem Johanes Wattimena atau lebih dikenal sebagai komodor Leo Wattimena. Berikutnya Marsda TNI Purn Pieter L.D. Wattimena serta Marsda TNI Purn Adrian Wattimena. Namun tempat kelahiran mereka berbeda yaitu Pontianak, Pematang Siantar Sumut dan Ambon.
Selain trio jenderal Wattimena, juga ada penerbang yang pensiun jenderal bintang dua yakni Marsda TNI Purn Lambert Silooy. Serta purnawirawan jenderal bintang satu keturunan Tionghoa pertama yang menjadi penerbang jet tempur di Indonesia, yaitu Marsma TNI Purn Rudi Taran.
Terkini ada pula jenderal bintang satu yang masih menjabat Kepala Keuangan Mabes TNI AU, Marsma TNI Gladly Mailoa dan beberapa perwira lainnya. Mailoa juga sempat menduduki posisi Kepala Pusat Keuangan Mabes TNI.
Selain nama-nama tersebut. Tercatat pula dalam sejarah perwira andalan TNI AU asal Maluku, namun karier mereka berakhir atau meninggal sebelum capai pangkat perwira tinggi semisal Edward Tenlima, Luhukay, Lambertus Manuhua, Dominicus Dumatubun dan lainnya.
Dari sekian banyak nama di atas, beberapa diantaranya nama mereka diabadikan pada pangkalan dan fasilitas milik TNI AU. Misalnya saja Pangkalan TNI AU (Lanud) Leo Wattimena di Morotai Maluku Utara, Lanud Manuhua di Biak Papua, Lanud Dumatubun di Langgur Maluku Tenggara dan Gedung Serbaguna Luhukay di Lanud Pattimura Ambon.
Pilot atau penerbang asal Maluku yang punya reputasi dan prestasi hebat pada jaman orde lama maupun orde baru adalah Marsda TNI Leonardus Willem Johanes Wattimena atau lebih dikenal sebagai komodor Leo Wattimena. Ia adalah perwira penerbang legendaris di matra udara TNI. Sayangnya, beliau meninggal di usia masih muda 48 tahun.
Leo Wattimena adalah rekan Roesmin Nuryadin mantan Menteri Perhubungan era Soeharto. Keduanya dikenal sebagai komodor udara Indonesia. Rekan-rekan Leo beberapa diantaranya menjadi Kepala Staf TNI AU dengan pangkat jenderal penuh atau bintang empat.
Ia merupakan salah satu kadet penerbang yang dikirim pada awal Indonesia merdeka untuk ikut pendidikan Sekolah Penerbang selama satu tahun di California, Amerika Serikat pada 1950. Sekitar 60 kadet yang dikirim pemerintah Indonesia untuk mengikuti pendidikan penerbang “Trans Ocean Airlines Oakland Airport” (TALOA).
Selama mengikuti pendidikan di Taloa, Leo Wattimena menjadi lulusan terbaik dari 45 kadet yang menjadi penerbang, dan selebihnya menjadi navigator. Dari hasil yang sangat membanggakan itu membuat dirinya dapat kesempatan bersama 18 rekannya untuk melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TOLOA.
Pada 1955, Leo dikirim ke Inggris untuk mengikuti pendidikan instruktur di Royal Air Force (RAF). Lagi-lagi, Leo menjadi lulusan terbaik. Oleh beberapa teman penerbang dari India, Leo dijuluki G-maniac karena kegemarannya melakukan berbagai manuver di udara. G-maniac diambil dari kata G-lock, yaitu kondisi kehilangan kesadaran ketika sedang melakukan akrobatik di udara.
Leo juga dijuluki “Si Gila” ketika bermanuver dan beraksi dengan jet tempur Mustang nya. Ia pernah menerbangkan jet tempurnya di bawah kolong jembatan Ampera Palembang serta merupakan penerbang AURI pertama yang mendarat di wilayah Irian Barat (Papua).
Tetapi perjalanan karier hebat Leo Wattimena di TNI AU kandas oleh persoalan politik. Yakni tensi politik yang terjadi tahun 1965-1966 ketika peralihan kepemimpinan orde lama ke penguasa orde baru. Waktu itu, dalam berbagai referensi disebut Soeharto yang saat itu jadi Pangkostrad merasa “diancam” oleh Leo Wattimena via pesan telegram.
Akhirnya saat Soeharto naik menjadi Presiden gantikan Soekarno. Maka reputasi cemerlang Leo Wattimena sebagai penerbang jet tempur dan perwira TNI AU pun “terkunci”. Bahkan di usia karier yang masih lama karena baru berumur 42 tahun, Soeharto putuskan untuk “karyakan” Leo Wattimena sebagai Duta Besar RI di Italia. Itu membuatnya frustasi dan bersikap undur diri dari dinas aktif.
Padahal sederet prestasi dan jabatan srategis dijabat Leo Wattimena. Bahkan sempat menjadi wakil komandan nya Soeharto dalam Operasi Komando Mandala untuk Irian Barat.
Padahal sederet prestasi dan jabatan srategis dijabat Leo Wattimena. Bahkan sempat menjadi wakil komandan nya Soeharto dalam Operasi Komando Mandala untuk Irian Barat.
Jabatan-jabatan yang pernah dijabat Leo Wattimena adalah Pimpinan Armada Vampire Skadron Udara 11 Lanud Kemayoran (1957-1961), Instruktur Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) Kalijati (1958), Wakil II Panglima Komando Mandala/Panglima AU Mandala (1958).
Kemudian juga Panglima Komando Operasi AURI (1963), Panglima Komando Pertahanan Udara (1966), Anggota MPRS (1966), Deputi Operasi Menteri/Panglima AU, Duta besar RI di Italia (1969) dan Staf Ahli KSAU.
Kebanyakan rekan-rekan Leo saat sekolah penerbang di Amerika dan Inggris, kemudian menjadi menteri dan jenderal penuh di jaman orde baru dengan menjabat Kepala Staf TNI AU (Kasau).
Leo Wattimena berpangkat dua bintang atau Marsda, justru ketika ia meninggal dunia tahun 1976 di usianya baru 48 tahun. Untuk mengenang penerbang legendaris itu, nama Leo Wattimena diabadikan sebagai nama Pangkalan Udara di Pulau Morotai, Maluku Utara dan juga nama jalan di kawasan Passo Ambon.
PILOT JET TEMPUR PERTAMA KETURUNAN TIONGHOA
Selain Leo Wattimena, salah satu penerbang jet tempur legendaris TNI AU adalah Marsma TNI Pur Rudi Taran. Ia lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 1963 yang tercatat sebagai pilot jet tempur keturunan Tionghoa pertama di Indonesia.
Figurnya dikenang di TNI AU lantaran merupakan salah satu penerbang jet tempur MIG-21, saat awal pesawat canggih di era itu dimiliki Indonesia. Untuk itu, ia ikuti pendidikan penerbang di Cekoslowakia. Rudi Taran pun tercatat sebagai penerbang tertua ketika berlatih membawa jet tempur F-5 Tiger. Waktu itu dia sudah berpangkat Kolonel.
Siapa Rudi Taran? Apa hubungannya dengan Maluku?
Rudi Taran memiliki hubungan emosional dan sejarah dengan Maluku. Lantaran ia lahir di Piru, Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku pada 6 Juni 1937 dan kini umur 84 tahun. Ia juga menyelesaikan pendidikan SMA nya di Ambon tahun 1959, barulah kemudian merantau ke Jakarta untuk capai niatnya menjadi penerbang AURI.
Kisah awal ingin jadi penerbang AURI jaman itu juga unik dan menarik. Rudi yang di masa kecil dan remaja miliki nama panggilan “Rudi Tjong”, punya keinginan jadi pilot pesawat tempur pada tahun 1958 saat dirinya kelas II SMA di Ambon. Ia melihat pesawat tempur P-51 Mustang milik AURI mendarat di Kota Ambon. Bersama teman-temannya mereka menonton pesawat itu. Dari situlah Rudi Taran kagum dan bertekad menjadi penerbang pesawat tempur.
Kariernya sebagai penerbang pesawat tempur TNI AU sangat diakui. Ia mantan penerbang MiG-21 Fishbed, pelaku operasi “Ganyang Malaysia” dan operasi Trikora ini punya nama kode penerbang atau nickname “Tarantula”.
Jabatan selama dinas militernya selain penerbang jet tempur TNI AU. Rudi Taran pernah menjabat Komandan Wing 300 Buru Sergap Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) dan jabatan terakhir yang diembannya adalah Kepala Dinas Komunikasi dan Elektronika TNI AU.
LULUSAN TERBAIK AAU 1970
Anak Maluku yang juga berkarier cemerlang dan penerbang yang dihormati di TNI AU adalah Marsekal Muda (Marsda) TNI Purn Lambert F. Silooy.
Jenderal bintang dua purnawirawan ini merupakan lulusan terbaik Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 1970 sehingga memperoleh penghargaan Adi Makayasa. Pendidikannya dilanjutkan di Sekolah Penerbang TNI AU dan lulus tahun 1972 sebagai penerbang tempur dengan call sign “Taurus”.
Pesawat pertama yang dipegangnya adalah pesawat latih Lockheed T-33 T-bird, lalu F-86 Sabre. Saat mengawaki Sabre ini Lambert ikut menjadi anggota tim aerobatik pertama TNI AU, Spirit 78. Ia juga mahir menerbangkan pesawat tempur F-5 Tiger II Skadron Udara 14 yang berpangkalan di Pangkalan Udara Iswahyudi, Magetan.
Silooy sempat juga dipilih ikut pendidikan dan latihan pesawat tempur jet supersonik F-5E Tiger II di Amerika Serikat. Ada tiga pilot dan teknisi yang dikirim TNI AU untuk menguasai jet tempur canggih itu tahun 1979-1980.
Ketika itu, TNI-AU membeli 16 unit Tiger untuk Skadron 14 Wing Udara 300, melanjutkan tradisi supersonik yang sebelumnya pada era Orde Lama mengoperasikan Mikoyan Gurevich MiG-21 “Fishbed” buatan Uni Soviet, sekaligus siap memensiunkan Avro Sabre hibah dari Australia.
Sayangnya, saat ikut pendidikan di Amerika Serikat, Silooy yang merupakan pilot senior berpangkat Kapten Pnb jatuh sakit dan agar program terus berjalan, TNI-AU lantas menggantikannya dengan Kapten Pnb Zeky Ambadar. Ketiga rekannya itu kemudian diberi kode Eagle 01, Eagle 02, Eagle 03 dan Silooy disebut Eagle 04.
Beberapa jabatan penting di kariernya sampai pensiun yaitu Komandan Skadron Udara 14 (1986-1988), Kepala Dinas Operasi Pangkalan Udara Iswahjudi, Wakil Komandan Pangkalan Udara Iswahjudi, Komandan Pangkalan Udara Adisucipto 1995-1997), Wakil Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI AU (1997-1998), Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI AU (1998-1999), Asisten Perencanaan KASAU, Asisten Personil KASAU dan Direktorat Jenderal (Dirjen) Kekuatan Pertahanan Dephankam.
KOMANDAN PASUKAN ELIT TNI AU
Bila senior-senior sesama anak Maluku kebanyakan di satuan penerbang, maka Marsda TNI Purn Adrian Wattimena punya karier di satuan pasukan elit TNI AU, Korps Pasukan Khas (Paskhas) alias baret oranye.
Alumni Akademi Angkatan Udara (AAU) 1983 ini berasal dari Negeri Kariuw Pulau Haruku, Maluku Tengah. Sejak lulus AAU, ia sudah langsung bertugas di satuan pasukan Kopasgat dan Paskhas TNI AU.
Kariernya sejak berpangkat Letnan Dua hingga purnawirawan jenderal bintang dua banyak dihabiskan di komando pasukan elit tersebut. Namun pada tahun 1995, Adrian Wattimena sempat bertugas di New York AS sebagai Wakil Penasihat Militer di Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di PBB New York.
Saat berpangkat Kolonel, ia menduduki beberapa jabatan penting yaitu Kadispenpas Puspen Mabes TNI (2003), Kadisproddok Puspen Mabes TNI (2004), Komandan Wing (Danwing) I Paskhas (2006) dan Asren Korpaskhas (2008).
Tiga tahun kemudian, pangkat Marsekal Pertama (Marsma) diperoleh Adrian Wattimena saat menjabat Direktur Asia Deputi Kepala BIN Bidang Luar Negeri (2011), Direktur Kerja sama Internasional Deputi-I BIN (2012), dan Direktur Rendalgiat Ops Deputi-V BIN (2013).
Puncak karier militernya di TNI AU, digapai saat memperoleh pangkat bintang dua atau Marsekal Muda (Marsda) tahun 2015 dan menjadi Komandan Korps Pasukan Khas (Dankorpaskhas). Ia menjabat sejak 30 Maret 2015 sampai 15 November 2016, setelah itu ia pensiun dari militer.
Dilansir dari berbagai Sumber Lain. (Andi Sagat)
