AMBON, LaskarMaluku.com – Ketua Panitia Musyawarah Hetu Jazirah, Rauf Pellu, menegaskan bahwa tujuan utama kegiatan ini adalah menyatukan kepentingan masyarakat Jazirah sebagai kekuatan adat terbesar di Provinsi Maluku.

Menurut Pellu, Jazirah memiliki struktur adat yang luas dan strategis. “Jazirah itu 22 negeri adat, tiga kecamatan, dan 47 petuanan. Kita ini pemilih single majority, pemilih terbesar di Maluku,” ujarnya.

Ia juga menyebut bahwa jumlah masyarakat Jazirah lebih banyak dibanding sebagian besar kabupaten/kota di Maluku. “Jazirah lebih besar dari SBT, Buru, Buru Selatan, Kota Tual, Maluku Tenggara, Aru, MBD—kita ini banyak,” tegasnya.

Atas dasar itu, Majelis Latupati mengambil langkah menyatukan persepsi melalui pembentukan Hetu Jazirah, yang dalam bahasa adat berarti membangun Jazirah. Dengan tekline “Lawa Lete Mena – Hetu Jazirah Par Maluku Pung Bae”, wadah ini diharapkan menjadi ruang persatuan demi kepentingan bersama.

Pellu menegaskan bahwa musyawarah menjadi inti dari setiap organisasi adat. “Kalau bicara adat, ya harus musyawarah. Itu amanat undang-undang, dan kewenangan penuh ada pada Majelis Latupati sebagai pemilik adat dan masyarakat,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa Hetu Jazirah merupakan himpunan berbagai unsur—mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI, Polri, hingga para cendekiawan—yang disatukan berdasarkan kesepakatan 22 raja dalam Majelis Latupati.

Pellu juga mengingatkan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk memberi perhatian terhadap wilayah adat Jazirah. Ia mencontohkan sejumlah kawasan di Kota Ambon, seperti Waiheru, Durian Patah, Hunuth, Poka hingga Rumah Tiga, yang merupakan tanah adat Hitu meski berada dalam administrasi kota.

“Orang Jazirah di Kota Ambon itu sekitar dua puluh ribu. Jadi pemerintah harus lihat ini,” ujarnya.

Ia menutup dengan ajakan untuk memperkuat persatuan. “Ke depan, mari bersama-sama membangun Jazirah untuk masa depan Maluku,” katanya.(L06)