AMBON, LaskarMaluku.com – Komisi II DPRD Provinsi Maluku secara kelembagaan telah membicarakan tentang pengoperasian PT Batulicin, yang saat ini beroperasi Ohoi (Desa Nerong Kei Besar. Meski begitu rapat internal itu membahas berbagai berbagai hal salah satunya termasuk PT Batulicin yang diduga belum memiliki ijin AMDAL tetapi lebih lebih awal melakukan pengerukan material di Ohoi Nerong Kei Besar dari PT Batulicin milik Haji Isam.

Ketua Komisi II DPRD Provinsi Maluku, Irawadi menggemukakan, Komisi dalam waktu dekat akan segerah melakukan pertemuan terbatas dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas ESDM provinsi Maluku.

“Komisi akan menggelar pertemuan dengan Dinas-dinas ini, termasuk OPD terkait, guna membicarakan soal pengoperasian PT Batulicin karena dari informasi yang kita dengar PT ini lebih duluan beroperasi sebelum mengurus ijin AMDAL dan isin lainnya, “Ungkap Irawadi yang juga Ketua Fraksi Nasdem DPRD provinsi Maluku ini.

Terkait dengan beroperasinya PT Batulicin di Ohoi Nerong, Anos Yeremias, S.Sos enggan untuk berkomentar. Namun anggota Fraksi Partai Golkar ini menegaskan kalau, bakal ada penderitaan berkepanjangan dari masyarakat Kei Besar.

Pemilik Tambang yang kelolah Sumber Daya Alam Kaya Tujuh Turunan, Masyarakat pemilik Lahan bakal menderita Tujuh Turunan., “kata Anos Yeremias anggota Komisi II DPRD Provinsi Maluku dari Dapil Tujuh (7) Kabupaten Maluku Barat Daya dan Kabupaten Kepulauan Tanimbar KKT ini.

Komisi II DPRD Provinsi Maluku secara tegas menyatakan penolakan terhadap aktivitas pertambangan yang dilakukan PT Batu Licin di Ohoi Nerong, Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara. Penolakan ini dilontarkan menyusul hasil pengawasan langsung ke lokasi serta temuan bahwa perusahaan tersebut belum memiliki dokumen penting seperti AMDAL dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Anggota Komisi II DPRD Maluku dari daerah pemilihan VI, Solemen Letsoin, menegaskan bahwa aktivitas PT Batu Licin tidak hanya ilegal, tetapi juga berpotensi merusak masa depan Pulau Kei Besar.

“Kita menolak keberadaan PT Batu Licin Aspal yang sedang beraktivitas di Kei Besar dengan beberapa alasan, terutama karena perusahaan ini belum memiliki AMDAL dan IUP,” kata anggota Komisi II DPRD Maluku, Solemen Letsoin.

Penolakan tersebut disampaikan dalam rapat terbatas Komisi II DPRD Provinsi Maluku pada Rabu, 11 Juni 2025, di Gedung DPRD Maluku, Ambon. Solemen menyatakan bahwa Komisi II telah melakukan inspeksi lapangan dan tidak menemukan adanya dokumen legal yang sah terkait kegiatan pertambangan.

“Kami sudah melakukan pengawasan langsung di lokasi. Pihak perusahaan pun mengakui bahwa mereka belum mengantongi izin-izin utama seperti IUP dan AMDAL,” kata Letsoin.

Menurutnya, perusahaan tersebut mengklaim memiliki kontrak selama 15 tahun dengan masyarakat lokal. Namun, DPRD khawatir eksploitasi jangka panjang tanpa kajian ilmiah yang matang akan merusak lingkungan secara permanen.

“Kami sangat khawatir dengan masa depan Pulau Kei Besar. Lihat saja kasus di Negara Nauru, yang hancur karena eksploitasi berlebihan. Ini bisa terjadi di sini jika kita tidak bertindak,” ujarnya.

Solemen juga menyangsikan tujuan distribusi hasil tambang dari Kei Besar. Pihak perusahaan menyebutkan bahwa material batu akan digunakan untuk mendukung program food estate di Papua Selatan, tetapi tidak ada bukti konkret yang disampaikan.

“Sampai saat ini tidak ada data faktual bahwa batuan dari Kei Besar benar-benar digunakan untuk program strategis nasional di Papua Selatan. Ini semua masih asumsi,” tegas Letsoin.

Lebih lanjut, ia mendesak keterlibatan akademisi dalam mengkaji kandungan sumber daya alam di wilayah tersebut. Menurutnya, kajian menyeluruh harus dilakukan sebelum ada keputusan eksploitasi sumber daya yang bisa berdampak jangka panjang terhadap ekosistem.

“Apakah hanya batuan biasa atau ada kandungan lain? Ini butuh kajian dari para akademisi dan ahli lingkungan. Kita tidak bisa bersikap gegabah,” katanya.

Letsoin menekankan bahwa sekalipun terdapat potensi tambang yang lain, namun apabila aktivitasnya tidak ramah lingkungan, maka operasinya tetap harus dihentikan. Kepulauan Kei, menurutnya, terlalu berharga untuk dipertaruhkan demi kepentingan sesaat.

“Selama aktivitas pertambangan tidak menjaga kelestarian lingkungan, saya nyatakan itu harus dihentikan. Kita tidak bisa korbankan pulau kita demi keuntungan jangka pendek,” ujar Letsoin.

Komisi II berencana untuk menindaklanjuti sikap ini dalam rapat dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas ESDM Provinsi Maluku. DPRD akan mendalami data dari perusahaan dan merumuskan langkah-langkah pengawasan lanjutan.

“Kami akan lanjutkan pertemuan dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas ESDM Maluku untuk mendalami data serta memastikan aktivitas ini dihentikan secara hukum,” tegas Solemen.

DPRD Provinsi Maluku juga berencana menyampaikan hasil pengawasan dan sikap resmi Komisi II kepada Komisi VII DPR RI sebagai bagian dari upaya pengawasan nasional terhadap industri pertambangan.

“Saya akan menyampaikan langsung kepada Komisi VII DPR RI. Kami tidak ingin Pulau Kei Besar hancur hanya karena kelalaian birokrasi dan kerakusan investasi,” katanya.

DPRD menegaskan bahwa penolakan ini bukan semata-mata untuk menghambat investasi, tetapi sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah kepulauan (Andi Sagat)