Hasil Pengawasan Komisi II DPRD Maluku Banyak Temuan di Enam Dinas
AMBON, LaskarMaluku.com — Komisi II DPRD Provinsi Maluku telah menemukan banyak masalah dan kejanggalan didalam kinerja enam dinas vital di Maluku yang tentu menjadi mitra Komisi II. Temuan teknis di lapangan yang dipaparkan dalam rapat evaluasi terkait dengan hasil Pengawasan Komisi II DPRD Maluku beberapa waktu lalu.
Rapat tersebut berlansung diruang komisi II DPRD Maluku dan dihadiri enam dinas terkait, dipimpin ketua Komisi II DPRD Maluku, Irwadi, Senin (30/6/2025).
Ketua komisi II DPRD Provinsi Maluku, Irawadi, SH, mengatakan, temuan teknis di lapangan yang dipaparkan Komisi II bukan sekadar catatan administratif, melainkan potret buram tentang bagaimana proyek-proyek yang didanai rakyat melalui pemerintah berjalan serampangan.
“Mulai izin lingkungan diabaikan, hingga praktik kelenturan regulasi yang memberi celah bagi perusak lingkungan. Ini adalah alarm keras bagi Gubernur Maluku untuk mengevaluasi menyeluruh birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat, bukan fasilitator masalah,” pungkasnya.
Menurutnya, sementara, Dinas Kehutanan: Bibit Fiktif dan Dana Rakyat yang Menguap, sektor Kehutanan menjadi sorotan tajam dengan temuan mencengangkan di aplikasi Hutan Raya.

“Komisi II menemukan adanya ketidaksesuaian label pada bibit yang ditanam. Label tertulis “Bibit Tahun 2025” namun bibit itu ternyata ditanam di tahun 2024, bahkan pembibitannya diduga berasal dari tahun 2023. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi sepele,” tandas Irawadi.
Lebih lanjut, Irawadi mengungkapkan, dugaan ini mengarah pada praktik manipulasi data anggaran dan pengadaan bibit. Jika bibit yang ditanam sudah lebih tua dari tahun anggaran yang tertera, atau bahkan sudah ada sebelum proyek dimulai.
“Ini bisa menjadi indikasi adanya mark-up anggaran atau pengadaan fiktif. Terlebih lagi, informasi bahwa sumber bibit bukan dari pembagian resmi melainkan dari tanah masyarakat semakin memperkuat dugaan adanya penyimpangan dalam mata rantai pengadaan dan distribusi, ini mengancam kredibilitas program reboisasi dan efektivitas penggunaan dana publik yang ada,” ibunya.
Sedangkan, dinas Kelautan dan Perikanan, manyangkut dengan Balai bibit yang mangkrak yang terkesan buang-buang uang Rakyat. Jadi temuan di DKP tidak kalah memprihatinkan.
Pasalnya, Balai Bibit Laut di Arum, yang merupakan aset Pemda Kepulauan Aru, diketahui mangkrak dan tidak difungsikan secara optimal sejak tahun 2016. Bertahun-tahun lamanya, fasilitas ini disinyalir menjadi beban anggaran tanpa memberikan dampak nyata bagi masyarakat nelayan.
“Delapan tahun kemandekan operasional Balai Bibit Laut ini menunjukkan kegagalan perencanaan dan pengawasan program. Anggaran yang dialokasikan untuk pemeliharaan atau operasional balai tersebut selama ini, patut dipertanyakan peruntukannya,” jelas Irawadi.
Menurutnya, rekomendasi Komisi II, untuk menutup atau mengalihfungsikan balai ini, meski terlambat, adalah langkah yang tepat untuk menghentikan pemborosan anggaran pada program yang tidak efektif.
“Usulan Kepala Dinas untuk mengalihfungsikan menjadi balai bibit rumput laut harus dipastikan benar-benar berbasis kajian kebutuhan masyarakat dan potensi keberlanjutan, bukan sekadar ganti baju atau pakaian tanpa perbaikan esensial,” tuturnya.
Selanjutnya, Energi dan Kelistrikan: Subsidi Listrik, ia menilai, setengah Hati, Rakyat Miskin Tercekik. Disektor Energi dan Kelistrikan, ada catatan positif berupa bantuan solar panel dan pemasangan meteran listrik baru bagi masyarakat miskin yang ditanggung Pemda. Namun, Komisi II menyoroti masalah klasik: biaya pendaftaran listrik yang masih memberatkan masyarakat.
Program subsidi yang ada, meski patut diapresiasi, terkesan setengah hati. Jika biaya pendaftaran masih menjadi tembok tinggi bagi masyarakat miskin untuk mengakses listrik, maka esensi program subsidi belum tercapai sepenuhnya.
Saran Komisi II untuk menambah dan memperluas cakupan subsidi pendaftaran listrik harus segera direspon. Ini menunjukkan bahwa program bantuan tidak boleh hanya melihat dari sisi pengadaan barang, tetapi juga harus memastikan kemudahan akses dan keberlanjutan bagi masyarakat penerima,” ujarnya.
Kemudian, Pertambangan dan PT Batu Licin terkait dengan izin Lingkungan Cacat, pasalnya, Tambang Ilegal berjalan Mulus.
Puncak kegelisahan terletak pada sektor Pertambangan, dengan kasus PT Batu Licin yang telah beroperasi di Pulau Kei Besar meski belum memiliki Izin Amdal.
Perusahaan ini baru mengajukan UKL-UPL, dan itupun belum terbit! Ini adalah bukti nyata dari kelenturan regulasi yang membahayakan lingkungan. Meskipun PT Batu Licin berdalih mengajukan UKL-UPL karena kapasitas di bawah 500.000 ton/tahun, faktanya adalah aktivitas operasional telah berjalan tanpa izin lingkungan yang sah.
“Teguran Gubernur menunjukkan adanya kesadaran akan pelanggaran, namun fakta di lapangan bahwa operasi tetap berlangsung adalah preseden buruk,” sambungnya.
Dia juga menjelaskan, klaim bahwa UU Pertambangan memiliki pasal “fleksibel” yang memberi ruang eksplorasi walau belum lengkap izinnya adalah tamparan bagi penegakan hukum lingkungan. Pasal-pasal “fleksibel” ini justru menjadi celah bagi perusahaan nakal untuk melakukan perusakan lingkungan dengan dalih “proses”.
“Tim DPLH yang baru melakukan peninjauan lapangan setelah perusahaan beroperasi menunjukkan reaksi lambat dari Dinas Lingkungan Hidup,” ungkapnya.
Menurut Irawadi, dua opsi keputusan (layak dilanjutkan atau dihentikan) setelah tambang sudah berjalan adalah mekanisme yang cacat. Seharusnya, kajian lingkungan dan penerbitan izin menjadi prasyarat mutlak sebelum kegiatan operasional dimulai.
“Jika terbukti tidak layak, kerugian lingkungan sudah terjadi dan biaya restorasi akan jauh lebih besar. Ini menguatkan dugaan yang sebelumnya mencuat bahwa dokumen lingkungan hanya menjadi formalitas semata, bukan instrumen pencegahan dan pengendalian yang efektif,” tandas Politisi Nasdem ini.
Dikatakan, desakan keras reformasi Birokrasi dan Penegakan Hukum Segera!
Rangkuman temuan komisi II, ini adalah bukti bahwa dibutuhkan reformasi birokrasi yang mendesak dan menyeluruh di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku.
Gubernur Maluku harus segera memerintahkan audit investigatif terhadap dinas-dinas yang terindikasi bermasalah, khususnya Kehutanan dan Pertambangan, untuk mengusut tuntas dugaan penyimpangan anggaran dan manipulasi data.
“Dinas LH harus lebih proaktif dan tegas dalam penegakan hukum lingkungan, tidak hanya reaktif. Sebab perusahaan yang belum memiliki izin lingkungan yang sah harus segera dihentikan operasionalnya, tanpa toleransi,” tegasnya.
Menurutnya, DPRD Maluku harus terus memperketat fungsi pengawasan dan memastikan setiap rekomendasi ditindaklanjuti secara konkret, bukan hanya menjadi catatan rapat belaka.
Jika borok-borok ini dibiarkan, maka kekayaan alam Maluku akan terus dieksploitasi dan dirusak tanpa pertanggungjawaban, sementara dana rakyat menguap pada proyek-proyek yang tidak jelas manfaatnya.
“Jadi ini saatnya bagi pemerintah daerah untuk menunjukkan komitmen nyata dalam melindungi lingkungan dan melayani masyarakat, ini yang perlu diperjuangkan, dan terpenting harus di evaluasi,” tandas Irawadi. (L04).om — Komisi II DPRD Provinsi Maluku telah menemukan banyak masalah dan kejanggalan didalam kinerja enam dinas vital di Maluku yang tentu menjadi mitra Komisi II. Temuan teknis di lapangan yang dipaparkan dalam rapat evaluasi terkait dengan hasil Pengawasan Komisi II DPRD Maluku beberapa waktu lalu.
Rapat tersebut berlansung diruang komisi II DPRD Maluku dan dihadiri enam dinas terkait, dipimpin ketua Komisi II DPRD Maluku, Irwadi, Senin (30/6/2025).
Ketua komisi II DPRD Provinsi Maluku, Irawadi, SH, mengatakan, temuan teknis di lapangan yang dipaparkan Komisi II bukan sekadar catatan administratif, melainkan potret buram tentang bagaimana proyek-proyek yang didanai rakyat melalui pemerintah berjalan serampangan.
“Mulai izin lingkungan diabaikan, hingga praktik kelenturan regulasi yang memberi celah bagi perusak lingkungan. Ini adalah alarm keras bagi Gubernur Maluku untuk mengevaluasi menyeluruh birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat, bukan fasilitator masalah,” pungkasnya.
Menurutnya, sementara, Dinas Kehutanan: Bibit Fiktif dan Dana Rakyat yang Menguap, sektor Kehutanan menjadi sorotan tajam dengan temuan mencengangkan di aplikasi Hutan Raya.
“Komisi II menemukan adanya ketidaksesuaian label pada bibit yang ditanam. Label tertulis “Bibit Tahun 2025” namun bibit itu ternyata ditanam di tahun 2024, bahkan pembibitannya diduga berasal dari tahun 2023. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi sepele,” tandas Irawadi.
Lebih lanjut, Irawadi mengungkapkan, dugaan ini mengarah pada praktik manipulasi data anggaran dan pengadaan bibit. Jika bibit yang ditanam sudah lebih tua dari tahun anggaran yang tertera, atau bahkan sudah ada sebelum proyek dimulai.
“Ini bisa menjadi indikasi adanya mark-up anggaran atau pengadaan fiktif. Terlebih lagi, informasi bahwa sumber bibit bukan dari pembagian resmi melainkan dari tanah masyarakat semakin memperkuat dugaan adanya penyimpangan dalam mata rantai pengadaan dan distribusi, ini mengancam kredibilitas program reboisasi dan efektivitas penggunaan dana publik yang ada,” ibunya.
Sedangkan, dinas Kelautan dan Perikanan, manyangkut dengan Balai bibit yang mangkrak yang terkesan buang-buang uang Rakyat. Jadi temuan di DKP tidak kalah memprihatinkan.
Pasalnya, Balai Bibit Laut di Arum, yang merupakan aset Pemda Kepulauan Aru, diketahui mangkrak dan tidak difungsikan secara optimal sejak tahun 2016. Bertahun-tahun lamanya, fasilitas ini disinyalir menjadi beban anggaran tanpa memberikan dampak nyata bagi masyarakat nelayan.
“Delapan tahun kemandekan operasional Balai Bibit Laut ini menunjukkan kegagalan perencanaan dan pengawasan program. Anggaran yang dialokasikan untuk pemeliharaan atau operasional balai tersebut selama ini, patut dipertanyakan peruntukannya,” jelas Irawadi.
Menurutnya, rekomendasi Komisi II, untuk menutup atau mengalihfungsikan balai ini, meski terlambat, adalah langkah yang tepat untuk menghentikan pemborosan anggaran pada program yang tidak efektif.
“Usulan Kepala Dinas untuk mengalihfungsikan menjadi balai bibit rumput laut harus dipastikan benar-benar berbasis kajian kebutuhan masyarakat dan potensi keberlanjutan, bukan sekadar ganti baju atau pakaian tanpa perbaikan esensial,” tuturnya.
Selanjutnya, Energi dan Kelistrikan: Subsidi Listrik, ia menilai, setengah Hati, Rakyat Miskin Tercekik. Disektor Energi dan Kelistrikan, ada catatan positif berupa bantuan solar panel dan pemasangan meteran listrik baru bagi masyarakat miskin yang ditanggung Pemda. Namun, Komisi II menyoroti masalah klasik: biaya pendaftaran listrik yang masih memberatkan masyarakat.
Program subsidi yang ada, meski patut diapresiasi, terkesan setengah hati. Jika biaya pendaftaran masih menjadi tembok tinggi bagi masyarakat miskin untuk mengakses listrik, maka esensi program subsidi belum tercapai sepenuhnya.
Saran Komisi II untuk menambah dan memperluas cakupan subsidi pendaftaran listrik harus segera direspon. Ini menunjukkan bahwa program bantuan tidak boleh hanya melihat dari sisi pengadaan barang, tetapi juga harus memastikan kemudahan akses dan keberlanjutan bagi masyarakat penerima,” ujarnya.
Kemudian, Pertambangan dan PT Batu Licin terkait dengan izin Lingkungan Cacat, pasalnya, Tambang Ilegal berjalan Mulus.
Puncak kegelisahan terletak pada sektor Pertambangan, dengan kasus PT Batu Licin yang telah beroperasi di Pulau Kei Besar meski belum memiliki Izin Amdal.
Perusahaan ini baru mengajukan UKL-UPL, dan itupun belum terbit! Ini adalah bukti nyata dari kelenturan regulasi yang membahayakan lingkungan. Meskipun PT Batu Licin berdalih mengajukan UKL-UPL karena kapasitas di bawah 500.000 ton/tahun, faktanya adalah aktivitas operasional telah berjalan tanpa izin lingkungan yang sah.
“Teguran Gubernur menunjukkan adanya kesadaran akan pelanggaran, namun fakta di lapangan bahwa operasi tetap berlangsung adalah preseden buruk,” sambungnya.
Dia juga menjelaskan, klaim bahwa UU Pertambangan memiliki pasal “fleksibel” yang memberi ruang eksplorasi walau belum lengkap izinnya adalah tamparan bagi penegakan hukum lingkungan. Pasal-pasal “fleksibel” ini justru menjadi celah bagi perusahaan nakal untuk melakukan perusakan lingkungan dengan dalih “proses”.
“Tim DPLH yang baru melakukan peninjauan lapangan setelah perusahaan beroperasi menunjukkan reaksi lambat dari Dinas Lingkungan Hidup,” ungkapnya.
Menurut Irawadi, dua opsi keputusan (layak dilanjutkan atau dihentikan) setelah tambang sudah berjalan adalah mekanisme yang cacat. Seharusnya, kajian lingkungan dan penerbitan izin menjadi prasyarat mutlak sebelum kegiatan operasional dimulai.
“Jika terbukti tidak layak, kerugian lingkungan sudah terjadi dan biaya restorasi akan jauh lebih besar. Ini menguatkan dugaan yang sebelumnya mencuat bahwa dokumen lingkungan hanya menjadi formalitas semata, bukan instrumen pencegahan dan pengendalian yang efektif,” tandas Politisi Nasdem ini.
Dikatakan, desakan keras reformasi Birokrasi dan Penegakan Hukum Segera!
Rangkuman temuan komisi II, ini adalah bukti bahwa dibutuhkan reformasi birokrasi yang mendesak dan menyeluruh di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku.
Gubernur Maluku harus segera memerintahkan audit investigatif terhadap dinas-dinas yang terindikasi bermasalah, khususnya Kehutanan dan Pertambangan, untuk mengusut tuntas dugaan penyimpangan anggaran dan manipulasi data.
“Dinas LH harus lebih proaktif dan tegas dalam penegakan hukum lingkungan, tidak hanya reaktif. Sebab perusahaan yang belum memiliki izin lingkungan yang sah harus segera dihentikan operasionalnya, tanpa toleransi,” tegasnya.
Menurutnya, DPRD Maluku harus terus memperketat fungsi pengawasan dan memastikan setiap rekomendasi ditindaklanjuti secara konkret, bukan hanya menjadi catatan rapat belaka.
Jika borok-borok ini dibiarkan, maka kekayaan alam Maluku akan terus dieksploitasi dan dirusak tanpa pertanggungjawaban, sementara dana rakyat menguap pada proyek-proyek yang tidak jelas manfaatnya.
“Jadi ini saatnya bagi pemerintah daerah untuk menunjukkan komitmen nyata dalam melindungi lingkungan dan melayani masyarakat, ini yang perlu diperjuangkan, dan terpenting harus di evaluasi,” tandas Irawadi. (L04).
