AMBON, LaskarMaluku.com —
DPRD Provinsi dalam hal ini Komisi II DPRD Maluku menyoroti sejumlah
kebijakan pemerintah pusat yang dinilai merugikan daerah, khususnya di sektor kelautan dan perikanan. Yang diperhadapkan dengan beberapa regulasi yang dipersoalkan antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), serta Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alih Muat (Transhipment), yang diatur kembali
dalam PP Nomor 61 Tahun 2009 dan PP Nomor 24 Tahun 2021.
Hal tersebut saat Komisi II telah
menyampaikan aspirasi masyarakat Maluku kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Lotharia Latif pada pertemuan beberapa waktu lalu di Jakarta.
Demikian disampaikan, Ketua Komisi II DPRD Maluku Irawadi mengatakan kebijakan tersebut berdampak besar bagi Maluku yang memiliki tiga wilayah pengelolaan perikanan di WPP 714, WPP 715, dan WPP 718. Potensi ikan di ketiga wilayah itu mencapai 750 ribu ton per tahun, menjadikan Maluku sebagai salah satu lumbung ikan nasional.
Memurutnya, bahwa aturan alih muat di laut membuat pendapatan asli daerah (PAD) Maluku anjlok drastis. Kata Irawadi, sebelumnya, pelabuhan perikanan di Samlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Maluku mampu menghasilkan sekitar Rp200 miliar per tahun.
“Sekarang tinggal sekitar Rp2 miliar. Karena alih muatnya kini dilakukan di laut, bukan lagi di pelabuhan. Akibatnya, daerah tidak memperoleh retribusi apa pun,” ujar Irawadi kepada wartawan diruang komisi DPRD Maluku, Karang panjang (Karpan) Ambon, Selasa (4/11/2025).
Lebih lanjut, ia menyatakan, semua hasil tangkapan kini bisa langsung dialihkan di tengah laut dan dibawa ke pelabuhan lain di luar Maluku seperti Makassar, Bitung, Bali, atau Jakarta tanpa proses bongkar di pelabuhan perikanan daerah.
“Untuk itu, kalau hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan Maluku dan dikenakan retribusi sebesar Rp20 ribu per kilogram, potensi penerimaan kita bisa mencapai Rp17 triliun per tahun. Tapi semua itu hilang karena aturan ini. Jadi kita tidak butuh dana transfer dari pusat jika pendapatan sektor kelautan ini bisa dikelola penuh oleh daerah,” pungkasnya.
Selain itu, komisi II juga menyoroti terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang membatasi kewenangan daerah untuk menarik pajak dan retribusi di sektor perikanan.
“Jadi perlu diketahui PAD kita jatuh, APBD tertekan. Ini akan menjadi bom waktu bagi pemerintah pusat karena daerah semakin kehilangan sumber pendapatan, banyak fasilitas perikanan yang dibangun pemerintah kini tidak berfungsi optimal karena alih muatnya tidak lagi di darat,” sambungnya.
Irawadi menambahkan, Oleh karena itu, dengan tegas, dirinya meminta pemerintah pusat segera mencabut Permenhub Nomor 28 Tahun 2022 dan mengembalikan sistem alih muat seperti sebelumnya, di mana hasil tangkapan wajib didaratkan di pelabuhan perikanan daerah.
“Kalau ini tidak segera dicabut, maka pemerintah pusat harus siap menghadapi dampak ekonomi besar di daerah. Dan Maluku akan semakin sulit membiayai pelayanan publik dan pembangunan di daerah,” tegasnya.
Ia mengaku menanggapi aspirasi yang disampaikan, pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Perikanan Tangkap, Lotharia Latif, menyampaikan bahwa peraturan tersebut diterbitkan atas usulan dari wilayah timur. Menanggapi hal itu, ia menegaskan Maluku tidak pernah mengusulkan kebijakan itu karena mengetahui konsekuensi yang akan timbul terhadap Daerah nanti.
“Jadi yangjelas, alasan mereka soal ikan cepat membusuk jika didaratkan,juga tidak masuk akal. Sebab teknologi perikanan kita sudah maju. Ikan bisa diawetkan tanpa rusak. Sekali lagi, jadi alasan itu hanya pembenaran yang menguntungkan pengusaha yang ada,” tandasnya.
Menurut Irawadi, ia menilai kebijakan alih muat di laut justru lebih menguntungkan pengusaha besar dan merugikan masyarakat serta pemerintah daerah. Kemudian aturan ini dibuat untuk kepentingan pengusaha, bukan rakyat.
“Dan kami tegas menyampaikan itu ke Kementerian. Maluku dirugikan besar. Oleh sebab itu,kami minta dievaluasi dan segera dicabut, dan kembali seperti dulu. Tegas Irawadi. (L04).
