JAKARTA, LaskarMaluku.com – Sosiolog dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana, Malang Dr. Yohanes I Wayan Marianta, SVD mengatakan, Gereja Katolik Indonesia kini menampilkan wajah yang semakin hidup, partisipatif, dan berpengharapan.

Demikian refleksi Dr. Yohanes I Wayan Marianta, SVD dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025, di Hotel Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta, Selasa (04/11/2025).

Dalam presentasinya yang berjudul “Kolaborasi Misioner”, Romo Wayan begitu dia biasa disapa mengajak umat untuk melihat kembali arah perjalanan Gereja Katolik Indonesia dalam terang Missio Dei – misi Allah sendiri. Ia menegaskan bahwa karakteristik Gereja Katolik Indonesia saat ini semakin mencerminkan semangat sinodalitas: Gereja yang mendengarkan, berjalan bersama, dan terbuka terhadap partisipasi umat.

“Sinodalitas bukan sekadar konsep struktural, melainkan cara hidup menggereja,” ujarnya. “Gereja kita terus berproses menjadi komunitas yang saling mendengarkan dan bergerak bersama dalam semangat perutusan.”

Ciri Khas Gereja Indonesia – Hidup, Tumbuh, dan Berbuah

Menurut Romo Wayan, Gereja Katolik Indonesia kini berada dalam masa berbuah, suatu fase ketika kehidupan menggereja menunjukkan kematangan dan dinamika baru.

Dari laporan sepuluh wilayah gerejawi di sesi sebelumnya, tampak bahwa Gereja Indonesia menampilkan wajah yang hidup, tumbuh, dan berbuah.

Salah satu tanda pertumbuhan ini adalah kemandirian pastoral dan finansial. Gereja Indonesia tidak hanya mampu menopang pelayanannya sendiri, tetapi juga mengirim misionaris ke luar negeri serta menyumbangkan pemimpin tarekat pada tingkat internasional.

“Kita bukan lagi Gereja yang tergantung pada misi luar. Sekarang kita yang menjadi pengutus dan mitra dalam karya misi global,” tegas Romo Wayan.

Ciri lain yang mencolok adalah keterlibatan umat yang meluas. Struktur Gereja yang sangat sistematis – dari keuskupan, paroki, stasi, wilayah, hingga komunitas basis gerejawi (KBG) – mencerminkan Gereja yang mendengarkan dan memberi ruang bagi partisipasi umat.

Menurut Romo Wayan, itulah bukti bahwa Gereja kita sungguh-sungguh sinodal.

Dalam banyak forum, seperti sinode keuskupan, musyawarah pastoral, dan pertemuan kategorial, umat berperan aktif memberi masukan dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Dibandingkan dengan Gereja di negara lain yang strukturnya berhenti di tingkat paroki, Gereja Katolik Indonesia justru berkembang sebagai model partisipatif yang unik. Lebih jauh, ia menyebut Gereja Indonesia menampilkan wajah Gaudium et Spes-Gereja yang bersukacita bersama dunia dan turut merasakan suka-duka bangsa.

“Kita kritis tetapi tidak konfrontatif,” ujarnya, mengingat peran Gereja yang selalu tanggap terhadap persoalan bangsa, dari masa 1965, Timor Timur, Papua, hingga Reformasi 1998. “Kita memberi catatan, tetapi selalu dalam semangat dialog dan solidaritas.”

Suasana SAGKI 2025 hari kedua

Misi Gereja : Dari Ekspansi Menuju Kolaborasi

Dalam kerangka misi, Romo Wayan menekankan pergeseran besar dari paradigma lama menuju pemahaman baru: misi sebagai kolaborasi dalam Missio Dei. Mengacu pada dokumen Ad Gentes, ia menjelaskan bahwa Gereja bukan pusat misi, melainkan rekan sekerja Allah dalam karya keselamatan.

Sebelum Konsili Vatikan II, misi sering dipahami sebagai kegiatan Gereja untuk memperluas wilayah dan memperbanyak jumlah umat. Namun kini, Gereja menyadari bahwa misi bersumber dari Allah Tritunggal sendiri. “Misi bukan milik Gereja, tetapi Gereja berpartisipasi di dalamnya,” tegasnya. “Seluruh umat Allah, imam, religius, maupun awam, dipanggil untuk terlibat.”

Sebagai contoh, ia menyinggung kolaborasi Yesus dengan para murid dan perempuan yang melayani-Nya (Luk 8:3), serta kerja sama Santo Paulus dengan pasangan misioner Priskila dan Akwila (Kis 18:1-3). Model ini menjadi teladan bagi Gereja Indonesia masa kini: misi yang dijalankan bersama, bukan sendiri.

Dalam konteks kekinian, lanjutnya, misi mencakup berbagai bentuk: kesaksian dan pewartaan, inkulturasi, dialog antaragama, keadilan sosial, rekonsiliasi, hingga kepedulian ekologis. Dengan kata lain, misi tidak lagi terbatas pada pewartaan verbal, melainkan hadir nyata dalam tindakan cinta kasih dan pembelaan martabat manusia.

Gereja di Tengah Tantangan Zaman

Meskipun menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan, Gereja Indonesia tetap menghadapi berbagai tantangan serius, baik internal maupun eksternal. Secara internal, masih ada pekerjaan rumah dalam pendalaman iman, regenerasi tenaga pastoral, serta penguatan partisipasi umat muda. Isu seperti klerikalisme, sinkretisme iman, dan manajemen aset Gereja juga membutuhkan perhatian. Sementara di sisi eksternal, Gereja berhadapan dengan pluralitas agama, arus sekularisme, kerusakan ekologis, dan budaya digital yang sarat disinformasi dan post-truth.

“Gereja tidak boleh kehilangan daya profetisnya,” kata Wayan. “Kita dipanggil untuk tetap menjadi saksi pengharapan di tengah dunia yang berubah cepat.”

Ia menegaskan, respons Gereja terhadap tantangan ini dilakukan melalui dua arah:

1.Missio ad intra – dengan memperkuat formasi iman, pendampingan keluarga, sinodalitas, dan tata kelola pastoral.

2.Missio ad extra – dengan memperluas keterlibatan sosial, dialog lintas iman, advokasi keadilan, serta partisipasi dalam gerakan ekologis dan sosial ekonomi.

Di bidang sosial, Gereja juga terus berupaya mendampingi masyarakat kecil melalui program pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta solidaritas kemanusiaan.

Paparan dari Regio

Empat Wajah Pengharapan Gereja Indonesia

Sebagai penutup pemaparannya, Romo Wayan merumuskan arah Gereja Katolik Indonesia sebagai komunitas pengharapan, yang diwujudkan dalam empat model:

  1. Pengharapan yang membumi – nyata dalam pelayanan sosial dan solidaritas terhadap masyarakat kecil.
  2. Pengharapan yang merangkul – membangun persaudaraan lintas iman, etnis, dan budaya.
  3. Pengharapan yang profetis – berani bersuara bagi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.
  4. Pengharapan yang sinodal – berjalan bersama sebagai satu tubuh Kristus yang hidup.

Empat wajah pengharapan ini, katanya, harus menjadi kompas Gereja Indonesia lima tahun ke depan. “Gereja yang berpengharapan bukanlah Gereja yang pasif, tetapi yang berani hadir, bersuara, dan bekerja sama dengan semua pihak demi kebaikan bersama.”

SAGKI 2025 menjadi momentum refleksi bagi seluruh umat Katolik Indonesia untuk memperbarui semangat perutusan. Melalui proses Remember, Rejoice, and Renew, Gereja diajak mengingat warisan para pendahulu, mensyukuri berkat masa kini, dan memperbarui diri bagi masa depan.

“Kita berdiri di atas bahu para raksasa,” ujar Romo Wayan mengutip Isaac Newton. “Kesulitan selalu ada, tapi justru karena mengatasinya, kita menjadi lebih kuat.”

Ia menutup dengan pengingat bahwa Gereja yang berpengharapan adalah Gereja yang hidup, tumbuh, dan berbuah di tengah dunia, bukan benteng tertutup, melainkan tenda yang terbuka bagi semua orang. (*/L02)