Penulis: Karel Martinus Siahaya
Dosen : Sekolah Tinggi Agama Kristen Teruna Bhakti Yogyakarta

Pendahuluan
Indonesia pada tahun 2025 menapaki usia 80 tahun kemerdekaan, sebuah usia yang menandai kedewasaan bangsa dalam menapaki perjalanan sejarahnya. Momentum ini bukan hanya mengingatkan kita pada perjuangan masa lalu, tetapi juga menantang kita untuk menatap ke depan, khususnya pada cita-cita Indonesia Emas 2045, ketika republik ini berusia 100 tahun. Dalam visi besar tersebut, pemerintah menekankan empat pilar utama: pembangunan manusia unggul dan penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta ketahanan nasional dan tata kelola yang baik (Bappenas, 2019). Dari keempat pilar ini, pendidikan menempati posisi yang sangat strategis, karena kualitas manusia akan menjadi fondasi bagi semua agenda pembangunan.
Pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, tetapi juga proses pembentukan karakter, etika, dan visi hidup. Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, pernah menyatakan bahwa pendidikan adalah “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya” (Dewantara, 1962).
Pandangan ini menunjukkan bahwa pendidikan selalu berhubungan dengan kebebasan manusia untuk berkembang secara utuh. Di titik inilah Pendidikan Kristen dapat memberi kontribusi penting. Ia bukan hanya bertujuan mencetak manusia berpengetahuan, tetapi juga membentuk pribadi yang merdeka dalam iman, berintegritas, dan siap memberi kontribusi bagi kehidupan bangsa.

Pendidikan Kristen sebagai Praksis Kemerdekaan
Pendidikan Kristen sejak awal telah berakar dalam visi membebaskan. Injil Yohanes 8:32 mencatat, “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Kemerdekaan dalam konteks ini bukan sekadar kebebasan politik, melainkan kebebasan batiniah: bebas dari kebodohan, penindasan, ketidakadilan, dan dosa. Dalam konteks pendidikan, kemerdekaan itu hadir sebagai upaya membentuk manusia yang sadar akan identitasnya sebagai gambar Allah (imago Dei), serta bertanggung jawab dalam kehidupan sosial dan kebangsaan.
Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan pendidikan sebagai praksis kebebasan (praxis of freedom). Menurut Freire, pendidikan sejati membebaskan manusia dari kesadaran tertindas menuju kesadaran kritis, sehingga ia mampu mengambil bagian dalam transformasi sosial. Pemikiran ini sejalan dengan visi pendidikan Kristen yang melihat manusia sebagai agen moral dan spiritual, yang dipanggil untuk berperan aktif membangun kehidupan yang adil dan bermartabat. Dalam kerangka ini, refleksi Driyarkara tentang “pendidikan yang memanusiakan manusia” sangat relevan. Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan manusia yang hidup bermartabat, moral, dan etis, yang melihat sesama sebagai sahabat, bukan sebagai alat atau lawan (homo homini socius).
Siahaya (2024) menegaskan bahwa gagasan ini sejalan dengan Pendidikan Kristen yang membentuk pribadi bukan hanya merdeka secara intelektual, tetapi juga merdeka dalam relasi—mampu membangun empati, solidaritas, dan martabat dalam komunitas bangsa. Selain itu, Rendi, Sinaga & Tapilaha (2024) dalam studi mereka menegaskan bahwa Pendidikan Kristen memainkan peran penting dalam pembentukan karakter dan etika berbasis nilai-nilai Kristiani. Nilai-nilai kasih, keadilan, dan kejujuran dipandang sebagai fondasi penting yang menuntun generasi muda menjadi pribadi yang merdeka secara moral dan siap berkontribusi bagi bangsa.
Generasi Merdeka dan Tantangan Masa Depan
Istilah “Generasi Merdeka” di sini tidak hanya berarti generasi yang lahir setelah kemerdekaan, tetapi generasi yang hidup dalam semangat kemerdekaan sejati. Generasi ini harus memiliki tiga kualitas utama:
- Merdeka secara intelektual – bebas dari kebodohan dan rendahnya literasi. Laporan PISA (Programme for International Student Assessment) 2022 menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam literasi membaca, matematika, dan sains dibandingkan negara lain (OECD, 2023). Pendidikan Kristen dapat berperan dalam meningkatkan literasi dengan menekankan budaya belajar kritis, reflektif, dan kontekstual.
- Merdeka secara moral – bebas dari mentalitas korupsi dan ketidakjujuran. Anies Baswedan (2016) pernah menekankan bahwa masalah terbesar pendidikan Indonesia bukan hanya rendahnya kualitas akademik, melainkan defisit integritas. Pendidikan Kristen, dengan basis nilai Alkitabiah seperti kasih, kebenaran, dan keadilan, dapat menanamkan etos moral yang kuat dalam diri peserta didik.
- Merdeka secara sosial – bebas dari intoleransi dan eksklusivitas. Generasi merdeka harus mampu membangun jembatan lintas agama, suku, dan budaya. Pendidikan Kristen dipanggil untuk menanamkan kesadaran bahwa iman kepada Kristus tidak boleh menjadi penghalang untuk mengasihi sesama, melainkan justru menjadi dorongan untuk menghormati keberagaman. Laia dkk. (2023) menegaskan bahwa Pendidikan Kristen memiliki kontribusi signifikan dalam membangun kehidupan harmonis di masyarakat majemuk, karena menanamkan nilai toleransi, cinta, dan keadilan.
Dalam kaitan dengan visi Indonesia Emas 2045, generasi merdeka inilah yang akan menopang keempat pilar pembangunan. Mereka akan menjadi manusia unggul, berintegritas, dan berdaya saing global. Lickona (1991) dalam Educating for Character menegaskan bahwa pendidikan harus mencakup moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral action (tindakan moral). Pendidikan Kristen dapat menjadi wadah untuk mengintegrasikan ketiganya dalam kerangka kebangsaan.
Pendidikan Kristen dan Kontribusi Kebangsaan
Kontribusi Pendidikan Kristen terhadap bangsa tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif hanya bagi komunitas gereja. Justru dalam semangat kemerdekaan, pendidikan Kristen dipanggil untuk menjadi terang dan garam bagi masyarakat luas (Matius 5:13–14). Hal ini berarti sekolah-sekolah Kristen harus membuka diri untuk menanamkan nilai universal: kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, dan kepedulian sosial. Lebih jauh, pendidikan Kristen dapat menolong membentuk kepemimpinan etis yang sangat dibutuhkan bangsa. Indonesia menghadapi tantangan serius berupa korupsi, ketidakadilan sosial, dan ketimpangan pembangunan. Bung Karno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah; perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Pernyataan ini relevan bagi generasi kini: musuh terbesar bukan lagi kolonialisme asing, melainkan sikap mental bangsa sendiri yang merusak kehidupan bersama.
Dalam konteks ini, Situmeang (2024) menunjukkan bahwa gereja melalui Pendidikan Kristen memiliki peran strategis dalam pengembangan kurikulum dan pelatihan guru, sehingga Pendidikan Kristen tidak hanya berorientasi pada internal gereja tetapi juga menjadi bagian dari pembangunan bangsa. Integrasi iman dan kebangsaan inilah yang akan menolong Indonesia mencapai cita-cita 2045.
Penutup: Menuju Kemerdekaan Sejati
Kemerdekaan Indonesia pada usia 80 tahun bukanlah tujuan akhir, melainkan tonggak menuju perjalanan yang lebih panjang. Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita bersama yang hanya akan tercapai jika bangsa ini memiliki sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter. Dalam konteks ini, Pendidikan Kristen dipanggil untuk turut membentuk Generasi Merdeka: generasi yang cerdas sekaligus berintegritas, mandiri sekaligus melayani, nasionalis sekaligus beriman.
Kemerdekaan sejati tidak hanya berarti bebas dari penjajahan politik, tetapi juga bebas dari segala bentuk ketidakadilan, korupsi, intoleransi, dan ketidakpedulian sosial. Yohanes 8:32 mengingatkan bahwa kebenaranlah yang memerdekakan. Maka, generasi merdeka adalah generasi yang hidup dalam kebenaran, menegakkan keadilan, dan mengasihi sesama. Pendidikan Kristen harus terus berkontribusi dalam menyalakan obor ini. Dengan demikian, pada saat bangsa ini merayakan 100 tahun kemerdekaan di tahun 2045, kita tidak hanya bersukacita karena menjadi bangsa yang besar, tetapi juga karena telah melahirkan generasi yang benar-benar merdeka lahir dan batin.
Daftar Pustaka
- Baswedan, A. (2016). Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Integritas dalam Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud.
- Bappenas. (2019). Visi Indonesia 2045: Menuju Negara Berpendapatan Tinggi yang Merata dan Berkelanjutan. Jakarta: Bappenas.
- Dewantara, K. H. (1962). Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
- Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
- Laia, D., Zebua, A., & Waruwu, J. (2023). Kontribusi Pendidikan Agama Kristen Terhadap Kehidupan Harmonis di Masyarakat Majemuk. Anugerah: Jurnal Pendidikan Kristiani dan Kateketik Katolik, 3(2), 95–110.
- Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
- OECD. (2023). PISA 2022 Results: Country Note Indonesia. Paris: OECD Publishing.
- Rendi, I., Sinaga, J., & Tapilaha, F. (2024). Peran Pendidikan Agama Kristen Dalam Pembentukan Karakter dan Etika Berbasis Nilai-Nilai Kristen. Jurnal Budi Pekerti Agama Kristen dan Katolik, 2(1), 45–60.
- Siahaya, K. M. (2024). Pendidikan yang Memanusiakan Manusia Menurut Driyarkara: Seuntai Refleksi bagi Pendidikan Kristen. Galeri Sumba.
- https://www.galerisumba.com/pendidikan/87613872776/pendidikan-yang-memanusiakan-manusia-menurut-driyarkara-seuntai-refleksi-bagi-pendidkan-kristen
Situmeang, T M. Kontribusi Gereja terhadap Pendidikan Kristen: Studi tentang Keterlibatan Gereja dalam Kurikulum dan Kegiatan Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen. dalam Pietas: Jurnal Studi Agama dan Lintas Budaya Vol. 2 No. 1 (2024)