oleh: Ridolf Masela

Banyak dari kita melihat pajak sebagai beban. Setiap tanggal jatuh tempo, ia hadir sebagai potongan untuk mengurangi pundipundi hasil jerih payah.

Persepsi ini wajar, sebab manfaatnya tidak selalu terasa langsung di kantong. Namun, saatnya kita mengubah cara pandang tersebut secara radikal.

Pajak bukanlah kewajiban yang memberatkan, melainkan investasi kolektif yang kita tanamkan pada sebuah entitas terbesar dan terpenting dalam hidup kita: Negara. Bayangkanlah negara sebagai sebuah perusahaan raksasa. Perusahaan ini tidak berorientasi pada keuntungan finansial, melainkan pada kesejahteraan dan keadilan sosial.

Tujuan utamanya adalah memastikan semua “pemegang saham”—yaitu seluruh warga negara—mendapatkan kualitas hidup yang layak. Pajak yang kita bayarkan adalah modal yang kita setorkan untuk menjalankan perusahaan bernama “Negara” ini. Produk dan layanan yang dihasilkan “perusahaan raksasa” sangat beragam.

Ini bukan barang dagangan, melainkan layanan publik yang esensial. Sebut saja infrastruktur jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan yang menghubungkan seluruh wilayah. Ini adalah “produk” yang kita gunakan setiap hari, mempermudah mobilitas dan pergerakan ekonomi.

LaskarMaluku

Pajak kita juga menjadi modal untuk membangun sekolah-sekolah dan rumah sakit. Itu adalah investasi untuk pendidikan generasi mendatang dan kesehatan masyarakat.

Subsidi energi, layanan keamanan (TNI dan Polri), hingga layanan administrasi kependudukan juga merupakan bagian dari “layanan” perusahaan yang didanai oleh modal kita.

Dalam perusahaan swasta, pemegang saham punya hak untuk menuntut transparansi dari dewan direksi. Mereka berhak tahu bagaimana modal digunakan, laporan keuangan harus terbuka.

Logika yang sama harus diterapkan pada perusahaan bernama “negara”. Kita, sebagai warga negara, adalah pemegang saham yang punya hak untuk mengawasi dan menuntut akuntabilitas.

Sayangnya, seringkali kita melihat adanya penyalahgunaan modal. Korupsi adalah bentuk penggelapan modal yang paling merusak. Ketika dana publik diselewengkan, itu sama saja dengan seorang manajer perusahaan yang mencuri uang investasi para pemegang sahamnya.

Akibatnya, “perusahaan” menjadi tidak efisien dan dividen (layanan publik) yang kita terima menjadi tidak maksimal. Selain korupsi, masalah inefisiensi juga sering terjadi.

Anggaran yang salah sasaran, proyek yang mangkrak, atau birokrasi yang berbelit-belit. Di era digital ini, ada harapan besar. Dengan digitalisasi, kita bisa menciptakan sistem yang lebih transparan. Penggunaan e-budgeting, sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik, serta platform pelaporan masyarakat bisa menjadi alat untuk memastikan modal kita digunakan secara efektif.

Untuk memastikan “perusahaan” negara berjalan dengan baik, kita tidak bisa hanya menjadi pemegang saham pasif. Kita harus aktif. Partisipasi publik dalam forum diskusi, pengawasan media, hingga partisipasi dalam pemilihan umum adalah cara kita memastikan “direksi” (pemerintah) yang kita pilih benar-benar kompeten dan berintegritas.

Untuk mengatasi masalah pengawasan, kita perlu memperkuat lembaga-lembaga pengawas seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mereka harus diberi wewenang yang lebih kuat dan independen agar bisa bekerja maksimal. Edukasi publik juga krusial. Sekolah dan universitas harus mengajarkan bukan hanya cara menghitung pajak, tapi juga filosofi di baliknya.

Kita harus menanamkan kesadaran bahwa pajak adalah alat untuk mencapai tujuan bersama, bukan sekadar kewajiban tanpa makna. Pemerintah harus menyediakan platform digital yang mudah diakses oleh masyarakat.

Di sana, warga bisa melihat secara rinci alokasi dan penggunaan setiap rupiah dari pajak mereka. Ini adalah bentuk akuntabilitas yang paling mendasar. Harapan terbesar kita adalah terjadinya perubahan mentalitas kolektif.

Dari mentalitas “rakyat” yang pasrah dan pemerintah yang berkuasa, menjadi mentalitas “investor” yang menuntut dan “manajemen” yang melayani. Dengan perubahan ini, kita bisa berharap “perusahaan” negara akan menjadi lebih efisien, adil, dan transparan.

Layanan publik akan meningkat, korupsi berkurang, dan masyarakat akan merasa lebih memiliki negara ini. Mulai saat ini, mari kita ubah cara pandang. Setiap kali kita membayar pajak, tanamkan dalam pikiran bahwa kita sedang berinvestasi untuk masa depan.

Masa depan jalan yang lebih mulus, pendidikan yang lebih baik, dan pelayanan kesehatan yang lebih prima. Pajak adalah wujud nyata dari kontribusi kita.

Itu adalah bukti bahwa kita peduli. Jangan lagi melihatnya sebagai beban, melainkan sebagai tiket kepemilikan kita atas bangsa ini, sebuah tiket yang memberi kita hak untuk menuntut yang terbaik.

Jadilah pemegang saham yang aktif, kritis, dan peduli. Tuntut akuntabilitas dari para “direktur” yang kita pilih dan pastikan bahwa investasi kita benar-benar memberikan dividen terbaik: sebuah bangsa yang lebih maju, adil, dan sejahtera untuk kita semua.

(Penulis Aktif di Komunitas Penulis Maluku)

LaskarMaluku