Oleh : Fransina M B. Rahaor, SH., MH (Akademisi, FKIP Prodi PGSD Unpatti)

Kepulauan Kei, dengan keindahan alam dan kekayaan sumber daya alamnya, semakin menjadi sasaran investasi di sektor pertambangan dan agribisnis. Namun, masuknya investasi ini sering kali membawa dampak signifikan terhadap masyarakat adat, khususnya perempuan Kei. Peran perempuan dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Kei sangat sentral, bukan hanya sebagai penyedia pangan, tetapi juga sebagai penjaga pengetahuan lokal dan tradisi.

Peran Perempuan Kei dalam Pengelolaan Sumber Daya
Secara tradisional, perempuan Kei memiliki ikatan erat dengan tanah dan laut. Mereka terlibat aktif dalam pertanian subsisten, mengumpulkan hasil hutan non-kayu, mencari biota laut di pesisir, dan mengelola air. Pengetahuan mereka tentang siklus alam, jenis tanaman obat, dan lokasi sumber daya esensial sangat krusial bagi keberlanjutan hidup komunitas. Hak atas tanah sering kali diwariskan secara komunal atau melalui garis kekerabatan yang melibatkan perempuan, meskipun dalam beberapa konteks adat, laki-laki mungkin memegang peran formal yang lebih dominan dalam pengambilan keputusan.

Dampak Kebijakan Pertambangan dan Agribisnis
Kebijakan yang mendukung ekspansi pertambangan (misalnya, nikel, bauksit) dan agribisnis (misalnya, kelapa sawit, perkebunan skala besar) sering kali mengabaikan hak-hak komunal dan tradisional masyarakat adat.
Penggusuran dan Kehilangan Akses Tanah: Proyek-proyek besar ini memerlukan lahan yang luas, sering kali mengakibatkan penggusuran paksa atau hilangnya akses masyarakat terhadap tanah ulayat mereka.
Bagi perempuan Kei, ini berarti kehilangan ladang, kebun, atau area tempat mereka mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Kehilangan tanah juga berarti hilangnya identitas budaya dan spiritual yang melekat pada tanah leluhur.

Kerusakan Lingkungan dan Kelangkaan Sumber Daya: Aktivitas pertambangan dapat menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan degradasi tanah, yang secara langsung memengaruhi ketersediaan air bersih, ikan, dan hasil hutan yang vital bagi perempuan. Perkebunan monokultur skala besar juga dapat mengurangi keanekaragaman hayati dan menguras kesuburan tanah.
Perubahan Struktur Sosial dan Peningkatan Beban Kerja: Ketika sumber daya alam tradisional menurun, perempuan sering kali harus mencari alternatif yang lebih jauh atau beralih ke pekerjaan informal yang tidak stabil, meningkatkan beban kerja mereka.

Selain itu, masuknya pekerja migran ke daerah proyek dapat menimbulkan masalah sosial baru dan meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender.

Minimnya Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan: Proses persetujuan proyek sering kali mengabaikan suara perempuan. Keputusan terkait alih fungsi lahan lebih sering didominasi oleh tokoh adat laki-laki atau pemerintah setempat, sehingga hak-hak perempuan untuk memberikan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (PADI/FPIC) sering terabaikan.

Regulasi dan Tantangannya Indonesia memiliki beberapa kerangka hukum yang relevan, meskipun implementasinya masih menjadi tantangan:
UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3): Menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Namun, interpretasi pasal ini sering kali membenarkan penguasaan negara atas sumber daya tanpa mempertimbangkan hak-hak adat secara memadai.

UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA): Mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat, namun dalam praktiknya, pengakuan ini seringkali bersyarat dan sulit diimplementasikan, terutama di hadapan kepentingan investasi.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Menekankan pentingnya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai prasyarat bagi kegiatan usaha yang berdampak besar. Namun, partisipasi perempuan dalam proses AMDAL seringkali minim, dan rekomendasi AMDAL tidak selalu dipatuhi.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa: Memberikan kewenangan lebih besar kepada desa dalam pengelolaan wilayahnya, termasuk sumber daya alam. Ini berpotensi menjadi celah untuk memperkuat hak-hak masyarakat adat, termasuk perempuan, asalkan implementasinya didukung oleh regulasi turunan yang kuat.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat: Peraturan ini adalah langkah maju dalam pengakuan hak ulayat, tetapi prosesnya panjang dan kompleks, sering kali menjadi hambatan bagi masyarakat adat, termasuk perempuan, untuk mendapatkan pengakuan resmi.

Tantangan utama adalah inkonsistensi antar regulasi, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya mekanisme partisipasi yang bermakna bagi perempuan dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan pertambangan dan agribisnis.

Kebijakan pertambangan dan agribisnis di Kepulauan Kei berpotensi mengancam hak tanah dan sumber daya perempuan Kei, memperburuk ketidakadilan gender dan merusak warisan budaya mereka. Meskipun ada kerangka regulasi, implementasi yang lemah dan minimnya partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan memperparah dampak negatifnya. Penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan pengakuan yang kuat terhadap hak-hak adat perempuan, memperkuat mekanisme partisipasi bermakna, dan menegakkan hukum guna melindungi hak-hak mereka di tengah tekanan pembangunan ekonomi. (*)

SaveKeiBesar

SuaraHatiPerempuanKei

F_R