AMBON, LaskarMaluku.com – Peringatan Dies Natalis ke-64 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pattimura menjadi ajang penting untuk merumuskan masa depan pendidikan kepulauan di Maluku. Acara yang dilangsungkan pada Kamis (5/6/2025) itu menghadirkan berbagai pemangku kepentingan yang menyatukan tekad dalam menciptakan sistem pendidikan yang merata dan berkualitas.
Dialog interaktif menjadi sesi paling krusial. Rektor Unpatti, Fredy Leiwakabessy, menegaskan pentingnya sinergi antara institusi pendidikan tinggi dan pemerintah daerah dalam mengatasi ketimpangan pendidikan di daerah kepulauan.
“Masalah distribusi guru, infrastruktur, hingga kualitas SDM harus kita pecahkan bersama. FKIP tidak bisa sendiri, dan pemerintah tidak bisa lepas tangan,” kata Fredy Leiwakabessy.
Dekan FKIP, Izak Wenno, juga menekankan pentingnya menjadikan FKIP sebagai motor penghasil guru-guru berkualitas, terutama untuk menjangkau sekolah-sekolah di wilayah terluar dan terpencil di Maluku.
“Kami ingin setiap lulusan FKIP menjadi agen perubahan di wilayahnya masing-masing. Akreditasi unggul bukan sekadar target administratif, tapi komitmen mutu,” ujarnya.
Data menunjukkan bahwa rasio guru dan siswa di Maluku sudah hampir seimbang. Namun, kualitas guru, penyebaran wilayah tugas, serta pelatihan berkelanjutan masih menjadi persoalan utama.
Kabid GTK Dinas Pendidikan Maluku, Yuspi Tuarita, menyatakan bahwa pihaknya terus mencari pola kerja sama baru dengan perguruan tinggi untuk menjembatani tantangan ini.
“Kami terbuka untuk berkolaborasi dengan FKIP, karena banyak masalah yang butuh solusi lintas lembaga,” kata Yuspi.
Program Kampus Merdeka yang sudah diterapkan Unpatti melalui skema Kampus Mengajar dan Asistensi Mengajar terbukti efektif dalam membantu pengajaran di sekolah-sekolah, meski belum merata di semua kabupaten/kota.
Ronny Lopies dari Ambon Of Musik turut menggarisbawahi bahwa pendidikan juga perlu integrasi dengan budaya lokal sebagai nilai tambah karakter siswa Maluku.
“Pendidikan kepulauan harus berbasis kontekstual budaya agar siswa merasa dekat dengan proses belajarnya,” tegas Lopies.
Namun di balik komitmen besar ini, tantangan terbesar adalah political will dari para kepala daerah dalam mereformasi sektor pendidikan di wilayah masing-masing.
“Kalau kepala dinasnya ditunjuk karena alasan politik, bukan karena kompetensi, maka sulit pendidikan kita akan maju,” tutup Leiwakabessy.
Peringatan Dies Natalis FKIP kali ini bukan sekadar seremonial, tetapi menjadi momentum untuk membangun roadmap pendidikan yang adaptif, responsif, dan menjangkau semua anak-anak Maluku di seluruh pulau. (Andi Sagat)