Oleh: F. M. B. Rahaor, (Akademisi Universitas Pattimura dan Aktivis Ormas Pemuda Katolik Komisariat Daerah Maluku)

Awal September 2025, publik Maluku dikejutkan oleh gelombang kasus keracunan massal akibat konsumsi makanan MBG. Peristiwa ini mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah daerah.

Di Ambon, belasan siswa SD Inpres 35 Passo harus dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap makanan MBG pada 19 September. Beberapa hari sebelumnya, 30 siswa SMP dan SMA di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) juga mengalami hal serupa pada 11 September. Tak lama berselang, giliran 17 siswa SD Negeri 19 Tual masuk rumah sakit akibat keracunan pada 18 September.

Rangkaian kasus ini memperlihatkan pola yang serius. Bukan kebetulan, melainkan darurat kemanusiaan yang menunjukkan lemahnya pengawasan pangan serta lambannya respons negara. Pertanyaannya, negara ke mana ketika anak-anak menjadi korban?

Hingga kini, publik hanya mendengar pernyataan resmi tanpa langkah nyata. Kepolisian belum mengumumkan hasil penyelidikan yang jelas, sementara Pemerintah Provinsi Maluku terkesan lebih sibuk menjaga citra dibanding memastikan keselamatan warga. Padahal, dalam situasi krisis, rakyat tidak membutuhkan retorika, melainkan tindakan.

Ada tiga langkah mendesak yang harus segera dilakukan. Pertama, Polisi Daerah Maluku wajib mengusut kasus ini secara tuntas, transparan, dan tanpa pandang bulu. Masyarakat berhak tahu penyebab utama dan siapa yang harus bertanggung jawab. Kedua, Pemprov Maluku harus membentuk tim khusus darurat kesehatan. Posko medis harus segera hadir di wilayah terdampak, dan korban dijamin mendapat layanan maksimal serta kompensasi yang layak. Ketiga, unsur independen perlu dilibatkan. Akademisi, tokoh masyarakat, dan organisasi sipil harus ikut mengawal agar proses ini berjalan transparan dan akuntabel.

Tragedi keracunan MBG ini bukan hanya soal kesehatan, melainkan menyangkut hak dasar manusia untuk hidup sehat dan aman. Jika aparat dan pemerintah terus lamban, itu sama artinya dengan membiarkan rakyat mati perlahan. Diam dalam kasus ini adalah bentuk pembiaran.

Sebagai akademisi Universitas Pattimura sekaligus Aktivis Ormas Pemuda Katolik Komisariat Daerah Maluku, saya menegaskan: nyawa rakyat Maluku bukan angka statistik. Mereka adalah martabat manusia yang wajib dijaga. Gelombang keracunan ini harus menjadi peringatan keras: negara wajib hadir bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata. (*)