AMBON, LaskarMaluku.com – Geolog dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon Dr Robert Hutagalung menegaskan pentingnya pengajaran pengetahuan mitigasi bencana alam di sekolah-sekolah sebagai langkah strategis membangun budaya tanggap bencana sejak usia dini di Provinsi Maluku.
“Kita harus bersahabat dengan alam. Di Maluku ini gempa bumi atau tanah longsor berisiko terjadi karena siklusnya berulang. Oleh sebab itu, pelajaran tentang mitigasi bencana harus diterapkan di sekolah-sekolah, dimulai dari SD,” ujar Robert di Ambon, Senin (23/6/2025).
Menurut dia, pengajaran mitigasi bencana sejak usia dini penting untuk meminimalkan risiko yang ditimbulkan saat terjadi bencana seperti longsor atau gempa bumi, mengingat wilayah Maluku merupakan kawasan rawan gempa karena berada di jalur cincin api Pasifik.
Robert mencontohkan kejadian gempa bumi pada tahun 2019 di Maluku yang mengakibatkan korban jiwa, sebagian di antaranya karena kepanikan akibat kurangnya pengetahuan tentang cara menyelamatkan diri saat gempa terjadi.
“Waktu gempa 2019, kita lihat sampai ada yang meninggal karena panik melompat dari gedung atau terinjak-injak saat berlarian. Itu terjadi karena mereka tidak tahu bagaimana mitigasi bencana. Itu yang menurut saya harus mulai diajarkan kepada anak-anak kita di Maluku,” katanya.
Ia menjelaskan, siswa sekolah dapat dibekali dengan langkah-langkah penyelamatan sederhana, misalnya bagaimana bertindak saat terjadi gempa ketika sedang berada di dalam ruangan.
“Pertama, kalau ada meja, sembunyilah di bawah meja. Sebisa mungkin lindungi kepala menggunakan benda-benda di sekitar,” ujarnya.
Selain mitigasi gempa bumi, kata dia, mitigasi bencana longsor juga penting sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak dari kejadian tanah longsor. Langkah-langkah mitigasi ini mencakup tindakan sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi.
Pada tahap prabencana, fokus utama adalah pencegahan, seperti pemetaan wilayah rawan longsor, penanaman vegetasi berakar kuat untuk memperkuat struktur tanah, pembangunan terasering di lahan miring, serta pengelolaan tata ruang yang mencegah aktivitas manusia di area berisiko tinggi.
Edukasi dan pelatihan kepada masyarakat dan siswa sekolah di daerah rawan juga menjadi bagian penting untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan.
Saat bencana terjadi, mitigasi difokuskan pada tanggap darurat, seperti mengenali tanda-tanda longsor misalnya retakan tanah, kemiringan pohon, suara gemuruh, atau air keruh mengalir dari lereng dan segera melakukan evakuasi ke tempat aman.
“Dengan bekal pengetahuan yang cukup mengenai mitigasi bencana, warga diharapkan mampu mengambil keputusan cepat dan tepat untuk menyelamatkan diri sendiri maupun orang lain saat terjadi bencana, sehingga potensi korban dapat ditekan semaksimal mungkin,” katanya. (*/L05)