AMBON Laskar Maluku.com – Koalisi Masyarakat Sipil terus berupaya memperjuangkan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat.

Undangan-Undang masyarakat adat, sejak tahun 2010 telah digagas sampai memasuki akhir tahun 2025 masih terus diperjuangkan. Ini artinya sudah 15 tahun perjuangan rancangan undang-undang Masyarakat Adat, yang sudah masuk pada tahap program legislasi DPR RI tetapi belum juga disetujui.

Meski demikian, keinginan para wakil rakyat itu setidaknya mendapat masukan dari daerah dan atau provinsi yang selama ini masi memegang penuh dan atau mewarisi pranata adat sosial berdasarkan tata cara pemerintahan seorang raja. Dan di kawasan timur Indonesia, provinsi Maluku dipilih untuk diselenggarakannya kegiatan Sosialisasi dan konsolidasi Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat ini.

Kondisi ini menjadikan Maluku sebagai contoh yang relevan untuk memperkuat substansi
dan konsolidasi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Kegiatan Konsolidasi

Diskusi Publik RUU Masyarakat Adat Region Maluku bertujuan untuk membangun ruang partisipasi yang penuh dan efektif bagi Tokoh-Tokoh Masyarakat Adat, Pemuda Adat,
Perempuan adat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, Perwakilan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Maluku, dan berbagai pihak lainnya untuk memberikan
masukan-masukan konstruktif terkait dengan Kampanye RUU Masyarakat Adat dan proses legislasinya di DPR RI.
Secara khusus, momentum kegiatan ini juga bertepatan dengan rangkaian 16 HAKTP, sehingga menjadi kesempatan strategis untuk menegaskan peran dan suara Perempuan Adat dalam advokasi RUU Masyarakat
Adat.

Penguatan perlindungan terhadap Perempuan Adat, termasuk pencegahan kekerasan berbasis gender, pengakuan kepemimpinan mereka dalam tata kelola adat, dan perlindungan terhadap pengetahuan serta
ruang hidup mereka, menjadi bagian penting dari pembahasan substansi RUU Masyarakat Adat

Benar bahwa ketentuan kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya telah diakomodir dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berisi pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. Namun, pengakuan ini bersyarat sepanjang masih hidup, sesuai perkembangan masyarakat, sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan diatur dalam undang-undang. Pengakuan dan penghormatan: Negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional mereka, seperti hak atas tanah, hutan, dan sumber daya alam yang diwariskan secara turun-temurun.

Syarat pengakuan: Pengakuan tersebut berlaku jika masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip-prinsip dasar negara.
Pasal ini bertujuan untuk melestarikan dan melindungi keberagaman budaya Indonesia, dengan hukum adat dapat berjalan harmonis dengan hukum nasional selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar negara.

Ini belum termasuk undang-undang pokok Agraria tahun 1960 (UUPA).
Rancangan undang-undang (RUU) Masyarakat Adat sedang dalam proses pembahasan di DPR RI dengan pengesahan pada tahun 2026 untuk memperkuat perlindungan hak-hak mereka (masyarakat adat-red) yang mengacu pada pasal 18 B ayat (2).

Sementara itu Akademisi Fakultas Hukum Unpatti, Dr J.J Piterz, mengemukakan, RUU MA yang saat ini diajukan oleh Koalisi masyarakat Adat, tentu berpihak pada masyarakat hukum adat. Dan dalam hal ini masyarakat hukum adat akan memiliki legitimasi akan memiliki status hukum baik sebagai warga negara Indonesia maupun sebagai warga negara Indonesia dalam status sebagai masyarakat hukum adat, yang memiliki hak adat, karena itu RUU ini sangat melindungi.

“Bagi kita di Maluku, pengakuan terhadap pesisir, pengakuan terhadap pulau, pengakuan terhadap tanah, masyarakat hukum adat tentu akan terlindungi maka setidaknya masyarakat hukum adat akan memiliki legitimasi hukum akan memiliki legal standing sebagai masyarakat adat yang dapat berpihak dalam proses pembangunan. Karena itu, masyarakat akan ikut menentukan proses pembangunan yang terjadi di wilayah mereka, “Kata Dr JJ.Piterz, Akademisi Fakultas Hukum Unpatti, kepada LaskarMaluku.com di lantai 6 kantor gubernur Maluku, usai menjadi salah satu narasumber pada kegiatan Konsolidasi dan Diskusi Publik Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, Selasa (2/12/25) siang

Ia mengakui selagi draf rancangan undang-undang ini apalagi masi menggunakan pasal 33 UUD 1945 maka wilayah hukum adat dikuasai oleh negara.

“Kalau RUU MA masi menggunakan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai cantolannya maka setidaknya mengakui wilayah adat itu sebagai wilayah adat itu di kuasai oleh negara. Padahal pasca Keputusan Mahkamah Agung (MA) No 35 tahun 2012, Hutan Adat bukan lagi Hutan negara

“Jadi hutan adat dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat hukum adat jadi ni suatu catatan yang mesti melemahkan masyarakat hukum adat. Disisi lain RUU MA ini harus mengakomodir soal budaya pesisir dari masyarakat hukum adat pesisir di wilayah kepulauan Maluku karena kita dominannya pesisir, maka setidaknya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat pesisir, “kata Dr J. J Piterz, SH, MH

Poin penting dari Putusan MK No. 35/2012:
Pengakuan Hutan Adat: Putusan ini mengubah definisi hutan adat dari yang sebelumnya merupakan bagian dari hutan negara menjadi hutan hak yang keberadaannya melekat pada masyarakat hukum adat.
Hal ini memberikan kedaulatan dan hak yang lebih kuat bagi masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan dan sumber daya alam di dalamnya secara mandiri. Putusan ini menjadi dasar hukum penting bagi pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat mereka di seluruh Indonesia.

Jemmy Piterz berharap agar konsolidasi dan diskusi publik koalisi kawal RUU MA ini pada tahun 2026, menjadi perhatian serius dan menjadi prioritas pihak DPRD RI. (L05)