AMBON, LaskarMaluku.com – Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Maluku, Benhur George Watubun, ST menegaskan pentingnya pengelolaan yang adil dan berpihak terhadap masyarakat adat serta ekosistem pulau-pulau kecil di wilayah Maluku.
Penegasan ini disampaikan kepada awak media, terkait persiapan Dewan Pimpinan Daerah DPD PDIP Provinsi Maluku, menggelar Diskusi Publik dengan Tema ” Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Maluku, Antara Peluang dan Ancaman”
Diskusi Publik ini menghadirkan para Narasumber dari ;
- Greenpeace,
- AMAN
- Pakar Kelautan dan Perikanan.
- Pakar Ilmu Hukum.
Forum diskusi terbatas yang membahas ancaman terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di tengah derasnya proyek pembangunan nasional.
Dalam diskusi tersebut, Benhur menyampaikan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil bukan sekadar urusan administratif, melainkan menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat adat, ekosistem laut, dan kedaulatan negara atas sumber daya alam.
“Jadi kita bukan saja urus pulau Kei saja, tapi kita juga urus Ambalau, Nusalaut, pulau Ambon, Manipa, Kelang, Buano. Ini semua masuk dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ekosistem dan orang-orang di pulau ini harus kita jaga, karena ini amanat undang-undang,” kata Benhur Watubun.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjadi dasar hukum yang ditegaskan oleh Benhur dalam advokasinya.
Ia menilai bahwa penerapan undang-undang ini masih mengalami tantangan besar di lapangan akibat tumpang tindih regulasi, kepentingan ekonomi pusat, dan minimnya keterlibatan masyarakat adat.
Diskusi yang digelar secara terbatas ini turut menghadirkan wacana pentingnya kolaborasi antara lembaga daerah dengan pakar dan NGO internasional seperti Greenpeace, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Tujuannya adalah memperkuat dasar ilmiah dan advokasi berbasis hak masyarakat lokal.
“Kita harus diskusi untuk meminta dukungan dan kontribusi keahlian dari pakar, dari lembaga-lembaga internasional. Karena dalam penerapan undang-undang itu, tidak ada yang leks spesialis derogat lex generalis. Semua punya kedudukan sama,” tegas Benhur.
Benhur juga mengkritisi pendekatan pembangunan nasional yang menurutnya sering mengorbankan masyarakat lokal atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Ini dapat dilihat dari pengerukan material jenis galian C dari PT BBA dengan dalil untuk mendukung proyek strategis nasional (PSN) Food Estate di Papua Selatan.
PT BBA adalah milik konglomerat Haji Izam, kerabat dekat Prabowo Subianto.
Pengerukan bahan galian C ini, jika tidak dihentikan maka bisa berpotensi menimbulkan konflik jika tidak disesuaikan dengan kondisi sosial-ekologis daerah.
“Jangan karena PSN lalu mengorbankan rakyat. PSN ini barang yang ditetapkan pemerintah, kalau mau buat situasi daerah tidak menentu, silakan ubah dulu undang-undangnya. Kami berjuang ini berdasarkan hukum, bukan di hutan belantara tanpa kompas,” tegas Benhur.
Menurutnya, pemerintah pusat kerap memanfaatkan ketidakpastian regulasi sebagai alat “penjajahan kebijakan politik” atas sumber daya laut dan wilayah adat di Maluku. Ia menyebut bahwa laut di atas 12 mil yang berada di sekitar pulau-pulau Maluku merupakan milik negara, namun eksploitasinya tidak pernah memperhatikan aspirasi daerah.
Benhur menyerukan agar perjuangan terhadap hak masyarakat pesisir dan adat bukan hanya dibangun lewat keberanian politik, melainkan juga pendekatan yang bermartabat dan berbasis solusi.
“Berjuang untuk masyarakat kecil, masyarakat adat, membutuhkan bukan saja nyali, tapi cara berpikir, cara pandang, dan solusi-solusi bermartabat. Makanya kita lakukan diskusi ini untuk menerima saran dari para ahli,” kata Benhur.
Lebih jauh, ia meminta agar semua kebijakan yang akan diterapkan di Maluku dikaji ulang dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat adat sebagai subjek pembangunan, bukan objek eksploitasi.
Kekuasaan yang membuka pintu bagi kekuatan oligarki mengeruk sumberdaya mineral secara serakah tanpa menimbang aspek antroposentris dan ekologis yang saat ini telah dilaksanakan di Pulau Kei Besar tempatnya di Ohoi Nerong Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, provinsi Maluku.
Daerah yang mengandung material gamping, mulai dieksploitasi, dan kini menuai reaksi sejumlah pihak, mulai dari masyarakat adat, aktivis pro lingkungan hingga kalangan mayoritas politisi di DPRD Maluku menolak PT BBA melakukan aktivitas pengerukan material gamping yang telah mencapai 264.000 ton dari 44 kali pemuatan dengan rincian sekali muat enam ribu ton material, dalam kurun enam bulan terakhir.
Kondisi ini menimbulkan banyak tanya, apakah Pengusaha asal Kalimantan ini tengah membangun landasan pacu atau membangun pemukiman baru di Ohoi Nerong ..!? Ini diluar logika pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil yang diatur dalam UU No 1 Ta 2014, perubahan atas UU No 27 Ta 2017 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Undang-undang mendefinisikan Pulau Kecil berada pada luas daratan dan lautan 2000 kilo meter persegi dengan kesatuan ekosistem darat – laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.(Baca UU No 1 Tahun 2015; 1).
Perusahaan Bos Haji Isam, tak tersentuh. Meski, pembatasan pengelolaan melalui UU Pulau-pulau kecil secara eksplisit memerintahkan pengelolaan sumber daya dengan tidak merusak dan menimbulkan resiko kehancuran ekosistem, tetapi mesin-mesin eksavator terus menambang. Membuka lahan, merusak hutan dan menebar ancaman malapetaka akibat kerusakan lingkungan. Apalagi, PT. BBA kabarnya telah menyiapkan kontrak lanjutan ekstraksi material gamping di Kei Besar selama 15 tahun. Ini bukan waktu yang sedikit untuk daerah yang tergolong kecil dalam definisi negera dan masyarakat.
Jika tak diberikan batasan pengelolaan atau dihentikan, masyarakat bisa kena dampak. Habitat yang rusak tak bisa didiami masyarakat adat disana. Mungkin, skema pengelolaan lanjutan dengan merelokasi warga beberapa desa yang masuk wilayah konsensi eksploitasi batu gamping. Jika skenario ini benar-benar terjadi, tak ada lagi yang bisa dilawan, selain menyalahkan sikap diam yang membiarkan tanah adat yang diwariskan nenek moyak digerus oligarki dengan iming-iming pembangunan dan jaminan kesejahteraan.
Forum Internal PDI Perjuangan
Problem eksploitasi gamping di Kei Besar Selatan justeru menjadi isu sentral PDI Perjuangan. Partai politik yang memiliki fraksi gemuk di DPRD Maluku. Dalam berbagai informasi publik, PDI Perjuangan baik personal kader maupun Fraksi di DPRD menolak dengan keras aktivitas perusahaan H. Isam di Kei Besar Selatan. Dalilnya jelas, aturan dan UU No 1 tahun 2014 yang tak boleh diabaikan.
Seperti kebanyakan politisi, analisis sosial, pengarsiran masalah sampai proyeksi eksploitasi dibuat seperti roadmap. Ini menjadi ilustrasi yang memperkuat diskursus partai banteng secara internal. Terendus, jika PDI Perjuangan justeru membentuk kaukus khusus untuk membahas problem tambang gamping. Sejumlah narasumber kompetensi dan kapabel dihadirkan sebagai narasumber. Ini tentunya penting bagi kesehatan Maluku, terutama dalam menjaga tanah warisan adat.
Bisa saja kontruksi dialektis pada forum khusus membicarakan beberapa tesis baik formil-regulatif, maupun sosio-ekologis. Misalnya;
Pelaksanaan Tidak UU Pengelolaan PP terpenuhi atau tidak,bagaimana norma hukum berbicara, dan implikasi terhadap keadilan ekologis?
Sustainable atau Good Mining Practices (GMP) adalah keharusan yang wajib dilakukan pertambangan. Ini menjadi metode bagi kelangsungan alam dan masyarakat. Tetapi, kaidah ini ibarat api jauh dari panggangan.
Untuk kepentingan apa 264 ribu ton lebih material dibawa keluar Kei Besar? Sebab, izin PT. BBA untuk eksplorasi, bisa diartikan sebagai kondisi kerja perusahaan untuk riset dan pengecekan sample, bukan eksploitasi terhadap material tanpa izin prosedural.
Problem illegal biasanya menyimpan berbagai persoalan ketidakadilan baik pada aspek HAM atas lingkungan dan pengelolaan secara tradisonal dan konvensional, pelepasan hak ulayat adat dan pelibatan masyarakat dll.
Posisi pemerintah dalam menegakkan aturan. Satu mekanisme ketatanegaraan yang harus berdiri tegak tanpa pandang bulu. Jika benar PDI Perjuangan akan melakukan kontrol dan advokasi Parlementary terhadap PT. BBA, maka akan melahirkan dua hal penting dalam dinamika ke-Maluku-an kita.
PDI Perjuangan telah memainkan perannya sebagai partai politik dalam mengawasi kewenangan politik eksekutif atau checks and balances. Ini sangat sehat bagi demokrasi. Pelaksanaan sistem pemerintahan yang bertumpu pada trias political.
Advokasi pertambangan, harus memiliki kekuatan political pressure di parlemen. Hal ini penting, apalagi soal policy. Dengan kewenangan UU, DPRD berhak mengawasi kebijakan dan memberikan masukan terhadap kekuasaan baik sentralistik maupun desentralisasi. (L05)
