AMBON, LaskarMaluku.com – Kinerja Polsek Wahai dan Polres Maluku Tengah dinilai lambat dalam mengungkapkan aktor pembakaran rumah masyarakat Negeri Adat Masihulan, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, tanggal 3 April 2025 lalu.

Pasalnya, hingga saat ini belum ada satu pun yang ditetapkan sebagai tersangka dari insiden tersebut, padahal kasus ini sudah dilaporkan, namun proses penangannya tidak transparan dan belum tuntas.  

“Keamanan dan ketertiban maupun sosial kemasyarakatan adalah yang menjadi tuntutan kami masyarakat negeri adat Masihulan. Kami juga mendesak aparat keamanan mempercepat proses hukum kepada mereka-mereka yang terlibat dalam aksi tersebut, apalagi proses pemusnahan dan membumi hanguskan pemukiman kami, masih berada dalam suasana hari raya Lebaran,” ingat Butce Benewane, Tokoh masyarakat Rumaholat, di Ambon usai pihaknya bertemu pemerintah daerah dan pihak DPRD provinsi Maluku, Rabu 28 Mei 2025.

Butce Benewane juga meminta agar mempercepat proses pembangunan, rumah warga adat Masihulan sehingga masyarakat juga merasa nyaman di rumahnya sendiri.

“Masyarakat adat negeri Masihulan adalah warga negara Republik Indonesia yang perlu hidup nyaman di tanah kelahirannya, Masihulan, Rumaholat, Oping dan negeri adat lainnya yang bermukim disana bukan warga negara lain tetapi anak manusia memiliki indentitas Kartu Tanda Penduduk Maluku, warga negara Republik Indonesia,”sesalnya.

Lantaran itu, dirinya meminta aparat penegak hukum untuk mengambil langkah-langkah hukum kepada pihak-pihak yang terlibat dalam aksi pembakaran 3 April 2025, tetapi juga sejalan dengan proses-proses rekonsiliasi.

“Proses penegakan hukum harus ditempuh supaya menjadi efek jerah bagi siapapun, tapi jika penegakan hukum tidak dilaksanakan maka akan muncul peristiwa serupa,” kata Butce mengingatkan.

Dia menegaskan, dalam upaya menciptakan rekonsiliasi disana, telah disepakati bahwa akses jalan yang menuju negeri Masihulan dan Rumaholat untuk sementara ini tidak bisa dilalui oleh masyarakat desa Sawai dan Negeri Olang.

Dirinya menampik wacana jika masyaakat adat Masihulan tutup jalan.

“Itu tidak benar! Dari civil society ada aparat keamanan TNI-POLRI ada disana. Kewenangan TNI dan Polri itu lebih tinggi dari masyarakat. Jadi jalan itu bebas cuma karena kesepakatan itu dibuat, yakni antara Pak Dandim, Pak Kapolsek dengan Raja-raja termasuk raja Sawai, Bahwa dalam kesepakatan itu, Negeri Olong dan Sawai ikut laut dan Masihulan dan Rumaholat ikut darat, tujuannya hanya satu menjaga stabilitas keamanan kawasan supaya jangan terjadi lagi,”bebernya.

Oleh sebab itu, dirinya meminta APH bertindak sesuai standar operasional prosedur (SOP) baik dari sisi penegakan hukum di pihak kepolisian maupun dari pemerintah mempercepat proses hukum dan proses pembangunan rumah warga Masihulan yang dibakar.

Dikesempatan itu dirinya berharap pemerintah kabupaten Maluku Tengah, dan pemerintah provinsi Maluku perlu merumuskan langkah-langkah menerbitkan Perda yang mengatur soal pengakuan terhadap masyarakat negeri adat sebagai mana diamanatkan dalam PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 52 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT.

“Ini mesti dipikirkan oleh kedua pemerintah kita yakni pemerintah Malteng dan provinsi Maluku, sebab jika tidak akan menimbulkan bom waktu bagi sebuah peradaban anak manusia yang berada pada sistem petuanan dari sebuah desa. Lantaran Negari adat Masihulan, Rumaholat, Oping dan lainnya adalah negeri-negeri adat yang telah memiliki status sebelum terbentuknya aturan soal desa administratif,”sarannya seraya menambahkan, dari sebuah pandangan prespektif beta memandang bahwa kalau proses hukum tidak jalan, maka recovery tidak akan seutuhnya berjalan dengan lancar.

Untuk diketahui dalam waktu dekat pemerintah akan membangun 70 rumah bagi masyarakat adat Masihulan. (L05)