AMBON, LaskarMaluku.com – Penanggung jawab Teknis Pelaksanaan Seluruh Pembangunan Keuskupan Amboina di Desa Airlow, Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon, RD Agus Ulahayanan mendesak pihak kejaksaan turun tangan untuk mengusut dugaan penyimpangan proyek pembangunan seminari di Air Louw.
Pasalnya, proyek pembangunan seminari yang dikerjakan PT Nailaka Indah milik Mansyur ini amburadul dan tidak sesuai dengan spek, bahkan banyak item yang dihilangkan.
Kepada media ini di lokasi proyek Airlow, Senin (21/7/2025) Pastor Agus menyampaikan kekecewaan, karena kualitas pekerjaan, perubahan perencanaan tanpa persetujuan, hingga indikasi pemborosan anggaran yang signifikan.
Proyek ini dibangun di atas lahan milik Keuskupan Amboina, dan proses perencanaannya telah melibatkan berbagai pihak sejak awal. Namun, realisasi di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian yang mencolok dengan rencana awal.
Pastor Agus menuturkan, mulai dari bahan bangunan yang dinilai sangat buruk, hilangnya beberapa fasilitas utama seperti kamar untuk pembina dan pembantu, hingga sistem air dan sanitasi yang disebut tidak layak, menjadi sederet persoalan yang kini tengah dipersoalkan.
“Saya ikuti rapat perencanaan sampai di Jakarta. Tapi yang terjadi di lapangan ini sudah beda bumi dan langit,”sesal RD Agus Ulahayanan.
Dirinya menegaskan bahwa bahan-bahan bangunan seperti pintu, jendela, hingga seng atap sangat tidak layak. Bahkan beberapa material sudah rusak sebelum digunakan.
Pastor Agus juga mempertanyakan penghapusan sejumlah item penting dari rencana awal dengan alasan pemangkasan anggaran.
“Belum dipakai saja, bahan-bahan ini sudah rusak. Sekarang pelaksana mulai pusing karena pihak pengawas sudah datang, ambil foto, mungkin akan menyurati mereka. Pemasangan air saja bermasalah, jalur air tidak rata, kualitas kerja paling buruk,” sesal Romo Agus lagi.
Dalam catatannya, proposal awal yang diajukan oleh tim perencanaan Keuskupan hanya sebesar Rp 6 miliar. Namun, setelah perjuangan panjang, nilai anggaran naik menjadi Rp 16 miliar. Sayangnya, hanya Rp 14 miliar yang direalisasikan, dan itu pun dengan banyak item yang dihilangkan.
Pihak Keuskupan juga keberatan atas perubahan struktur bangunan dari semula direncanakan satu lantai per unit menjadi dua lantai yang dipadatkan. Padahal, menurutnya, kebutuhan pendidikan seminari memiliki spesifikasi yang berbeda dari sekolah umum, seperti kebutuhan akan kamar mandi dalam setiap kamar, ruang pembina, ruang doa, dapur, dan aula.

“Kamar pembina dan kamar pembantu tidak dibuat. Itu berdampak langsung ke pengelolaan asrama karena mereka (para pembina) seharusnya tinggal di dalam untuk mendampingi anak-anak,” tambahnya.
Salah satu keputusan teknis yang sangat disesalkan adalah pemindahan bak penampungan air. Dalam perencanaan awal, bak ditempatkan di dataran tinggi agar aliran air mengandalkan gravitasi. Namun dalam pelaksanaan, bak dipindahkan ke dataran rendah dan menggunakan pompa besar yang dinilai tidak efisien dan berisiko menyiksa pengguna dalam jangka panjang.
“Pompa besar itu bukan solusi, itu siksa pengguna. Padahal konsep gravitasi lebih alami dan murah. Itu semua tidak pernah dibahas dalam perencanaan awal,” ungkap Romo Agus lagi.
Ia juga menyayangkan ketidakterlibatan pihak Keuskupan dalam perubahan desain dan teknis di tengah jalan. Menurutnya, sebagai pemohon dan penerima manfaat, Keuskupan memiliki hak untuk dilibatkan secara menyeluruh dalam proses pelaksanaan proyek.
“Saya sudah tegas, kalau tidak sesuai tata ruang dan kesepakatan awal, saya tidak izinkan lahan dipakai. Ini tanah kita, proyek ini hadir karena permintaan kita, tapi kenapa dalam pelaksanaan suara kita diabaikan?” tanya Romo Agus.
Lantaran itu, Pastor meminta pihak kejaksaan segera turun untuk mengusut dugaan penyimpangan, sebab proyek-proyek infrastruktur berbasis pelayanan pendidikan keagamaan ini patut diperketat demi memastikan anggaran negara digunakan secara tepat dan hasilnya bermanfaat maksimal. (L05)