AMBON, LaskarMaluku.com – Aksi perkelahian antar pelajar di Kota Ambon, khususnya di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), semakin meresahkan masyarakat. Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah insiden tawuran terjadi di berbagai titik, mulai dari kawasan OSM hingga perempatan Bank Maluku dan Maluku Utara. Fenomena ini mengindikasikan adanya krisis pembinaan karakter di institusi pendidikan dan rumah tangga.
Insiden ini mendapat sorotan tajam dari akademisi, pemerintah, hingga lembaga legislatif.
Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura, Prof Patris Rahabav, menilai bahwa maraknya perkelahian antar pelajar adalah dampak dari minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga.
“Kecenderungan perkelahian anak ini kian nyata. Ini fenomena baru yang tidak boleh dibiarkan. Anak-anak perlu mendapat pengawasan ketat dari para orang tua. Kita tidak bisa membiarkan pendidikan karakter anak hanya pada sekolah,” kata Prof Patris Rahabav.
Ia mencontohkan peran orang tua Katolik dalam hal sederhana seperti membiasakan anak membuat tanda salib dengan benar atau berdoa bersama pada malam hari sebagai bentuk nyata pengawasan dan pembinaan nilai-nilai moral.
“Membangun karakter anak itu dimulai dari hal-hal sederhana bagaimana orang tua memperhatikan anaknya,” ujar Rahabav.
Fenomena serupa juga terjadi di wilayah lain seperti Kabupaten Maluku Tenggara, yang baru-baru ini digegerkan oleh bentrokan remaja menggunakan panah wayar.
“Penyelesaian perkelahian semacam ini bukan hanya tugas aparat atau pemerintah, tetapi orang tua dan tokoh agama juga harus ambil bagian,. Misalnya konflik antara pemuda Ohoijang dan Ohoi Wun sebagai salah satu contoh kegagalan pembinaan karakter,”kata Rahabav memberi contoh.
Di Kota Ambon sendiri, menurutnya, tawuran antara siswa SMP Negeri 4 dan SMP Negeri 6 menjadi salah satu bukti nyata bahwa ada kegagalan dalam sistem pembinaan yang komprehensif di sekolah.
Wali Kota Ambon Bodewin Wattimena pun menyatakan keprihatinannya dan menegaskan langkah tegas kepada para kepala sekolah.
“Kalau di kota ini masih ada SMP yang siswanya tawuran, maka kepala sekolahnya harus dicopot. Kepala sekolah tidak hanya bertugas mengatur proses belajar-mengajar, tapi juga bertanggung jawab atas pembinaan karakter anak-anak,” tegas Wali Kota.
Wattimena menambahkan, sekolah di jenjang SD dan SMP seharusnya menjadi tempat utama pembentukan karakter siswa. Ia menegaskan bahwa Pemerintah Kota Ambon tidak akan mentolerir perilaku kekerasan di kalangan pelajar.
“Sekolah harus jadi tempat pembentukan karakter. Kalau masih terjadi tawuran, berarti kepala sekolah tidak menjalankan fungsinya dengan baik,” pungkasnya.
Ketua DPRD Kota Ambon, Morits Tamaela, juga menyampaikan pernyataan senada. Ia menilai bahwa peran kepala sekolah dan guru harus lebih aktif dalam mencegah kekerasan serta menciptakan forum diskusi yang bisa menampung aspirasi siswa.
“Kepala sekolah harus lebih dari sekadar mengurus kurikulum. Mereka harus bertanggung jawab membentuk karakter siswa agar tidak terlibat dalam kekerasan,” tegas Tamaela.
Ia juga menyoroti penggunaan gawai dan media sosial sebagai pemicu konflik yang kerap terjadi di kalangan pelajar.
“Dari HP saja, anak-anak bisa saling mengejek, yang akhirnya memicu pertengkaran. Orang tua perlu membatasi penggunaan Android, terutama bagi anak-anak usia sekolah,” ujarnya.
Tamaela menambahkan bahwa pihak DPRD melalui Komisi II akan menindaklanjuti persoalan ini bersama dengan eksekutif dan instansi terkait.
“Ini akan menjadi catatan penting bagi kami. Kita dorong agar persoalan ini dibahas secara serius, dan menghasilkan kebijakan konkret,” kata Tamaela.
Dalam perspektif pendidikan, kondisi ini menyingkap apa yang disebut oleh Rahabav sebagai “dosa pendidikan”, yaitu ketika proses pengajaran hanya mengejar target kurikulum tanpa menyentuh ranah afeksi dan nilai moral.
“Capaian pembelajaran saat ini terlalu menekankan aspek kognitif dan mengabaikan nilai-nilai karakter. Akibatnya, pendidikan gagal menghasilkan anak yang berkarakter baik,” kata Rahabav dalam pemaparannya saat pelantikan pengurus Pemuda Katolik Komisariat Kota Ambon.
Sejumlah ahli pendidikan lain juga menekankan bahwa pendidikan karakter adalah proses holistik yang melibatkan hati, pikir, raga, rasa, dan karsa, seperti yang dikemukakan oleh Samani dan Hariyanto (2013), serta Thomas Lickona yang menyebut tiga unsur pendidikan karakter: mengetahui, mencintai, dan melakukan kebaikan.
Melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan, seluruh pihak—sekolah, keluarga, pemerintah, dan masyarakat—didorong untuk tidak hanya mengevaluasi sistem pendidikan, tetapi juga membangun kembali budaya pembinaan karakter sejak dini, baik di sekolah maupun di rumah. (L05)