AMBON, LaskarMaluku.com – Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Data dan Informasi Bawaslu Provinsi Maluku Astuti Usman akhirnya angkat bicara terkait dugaan money politic yang dilakukan tim pasangan calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar nomor urut 3 Ricky Jawerissa dan Juliana Ratuanak, yang tertangkap tangan di kamar 105 Hotel Galaxy Saumlaki, Selasa (26/11/2024)

Kepada media ini, Astuti menegaskan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Bawaslu Kabupaten Kepulauan Tanimbar untuk menindaklanjuti penanganan sesuai dengan peraturan Bawaslu nomor 8 tahun 2020 perubahan terakhir tahun 2024.

“Proses akan kita kawal. Saya sudah koordinasi dengan Bawaslu Kepulauan Tanimbar segera menindaklanjuti sesuai Perbawaslu nomor 8 tahun 2020 dengan perubahan terakhir tahun 2024,”tandas Astuti.

Pernyataan Astuti Usman ini secara tidak langsung menjawab pesan hoax yang beredar di grup-grup whatsapp kalau hasil pemeriksaan Sentra Gakumdu Kabupaten Kepulauan Tanimbar paslon nomor urut 3 tidak terbukti melakukan praktek money politic dan ketiga orang terduga sudah dilepaskan.

Informasi yang dihimpun media ini, tiga orang dari tim paslon Ricky Jawerissa dan Juliana Ratuanak yang sementara menjalani pemeriksaan di posko Gakumdu yakni Andi Samangun, Cepi Dasfamudi dan Nyong Samangun dengan barang bukti berupa uang dalam tas sebanyak Rp 90 juta lebih, uang dalam amplop putih masih segel. 1 unit laptop, daftar nama penerima uang serta sejumlah buku tulis berisi nama-nama penerima.

Menyikapi itu, pimpinan Bawaslu Provinsi Maluku, Astuti Usman menegaskan, politik uang merupakan praktik yang melanggar hukum, karena berupaya mempengaruhi hak pilih seseorang dengan memberikan uang atau materi lainnya.

Biasanya, sambung Tuti,  hal ini dapat dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pasangan calon, tim sukses, Aparatur Sipil Negara (ASN), badan ad hoc, hingga simpatisan atau pendukung.

“Praktik politik uang selama pemilihan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Walikota diatur secara tegas lewat Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016. Dalam pasal 73 disebutkan, pasangan calon, tim kampanye, partai politik, serta pihak lain dilarang memberikan atau menjanjikan uang maupun materi kepada penyelenggara dan pemilih,”jelas Astuti.

Dirinya menjelaskan bunyi pasalnya :

1. Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.

2. Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

3. Tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Selain calon atau pasangan calon, anggota partai politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain dilarang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang maupun materi lainnya sebagai imbalan secara langsung atau tidak langsung untuk:

Mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah.

Menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah

Mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu. Politik uang itu bisa kita ilustrasikan sebagai racun bagi kehidupan demokrasi kita. Kalau sebagai racun, maka politik uang ini bisa membunuh kehidupan demokrasi,” katanya Politik uang merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum dan korupsi. Hal ini membuat praktik politik uang dilarang secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

Pelaku politik uang baik penerima dan pemberi, bisa dikenai sanksi berdasarkan peraturan yang berlaku. Adapun sanksi bagi pelaku politik uang dalam pilkada tercantum dalam 187A ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016.

Berdasarkan pasal tersebut, pihak yang terlibat politik uang, yaitu penerima dan pemberi, terancam pidana penjara minimal 36 bulan (3 tahun) hingga 72 bulan (6 tahun) serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

“Hukuman pidana dan denda tersebut berlaku baik bagi penerima maupun pemberi politik uang,”ujarnya. (L02)