Share

 

Dr Sherlock Halmes Lekipiouw

LASKAR – Penegakkan disiplin dan penegakkan hukum sangat penting dalam protokol kesehatan. Dengan begitu upaya mencegah dan mengendalikan penyebaran Covid-19 bisa diminimalisir dan dihentikan.


Menurut pakar hukum tata negara Universitas Pattimura Ambon, Dr Sherlock Halmes Lekipiouw, dua hal ini sangat penting dengan munculnya fenomena-fenomena dimana ada arus kuat kelompok masyarakat yang mulai ragu dan menunjukan ketidakpercayaan soal bagaimana pemerintah mampu melakukan pengendalian pencegahan Covid-19.


“Ada juga kelompok masyarakat sangat fokus pada alur data statistik pergerakan angka Covid-19. Padahal itu harus diikuti dengan penjelasan dan pengetahuan khusus tentang arah pergerakan Covid-19,” kata Sherlock kepada LASKAR, Rabu (16/09/2020) di Ambon.


Menurutnya fenomena dimaksud bisa tergambar dari  politik hukum pemerintah pusat saat ini, dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakkan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.


Doktor lulusan Universitas Airlangga ini mengatakan, membaca nomenklatur Inpres Nomor 6 Tahun 2020, maka pertama-tama penggunaan penegakkan disiplin bukan penegakkan hukum.


Itu artinya bahwa penegakkan hukum sebagai konsekuensi membuat efek jerah terhadap pelanggar protokol Covid-19 menjadi pilihan kedua.


Pilihan utamanya, bagaimana membangun kedisiplinan masyarakat. Jika tingkat kedisiplinan masyarakat sudah baik, tentu hal mengenai ketahanan psikologi masyarakat pun semakin kuat.

BACA JUGA:  Uskup Mandagi : Jangan Sombong Dengan Kekuasaan


“Nah dengan sendirinya melumpuhkan argumentasi bahwa Covid-19 ini tidak ada. Pendapat-pendapat mengenai Covid-19 adalah parlente atau tipuan, dan lain-lainnya akan runtuh,” tegasnya.


Oleh karena itu,  instrumen Inpres Nomor 6 Tahun 2020 harus diikuti karena di dalamnya jelas ada perintah kepada semua kepala daerah, Bupati, Gubernur, Walikota menindaklanjutinya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau minimal peraturan kepala daerah.


Dengan instrumen penegakkan disiplin, urai Sherlock, bahwa kebijakan politik berkaitan dengan Covid-19 pada sisi yang sama para pihak harus mampu mengendalikan psikologi masyarakat untuk bisa berhadapan dengan situasi Covid-19 dengan pilarnya adalah penegakkan disiplin.


Sementara esensi penegakkan hukum memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum baik pemerintah dan masyarakat utamanya untuk proses stabilisasi ekonomi dan kebijakan ketahanan pangan.


Masih menurut Sherlock, politik hukum pemerintah pusat hari ini mestinya menjadi titik untuk kemudian bangkit, kendati hari ini tidak ada cukup referensi secara akademik maupun medis yang bisa menterjemahkan soal Covid-19.


“Tetapi dalam kehidupan nyata, kita berhadapan dengan sebuah situasi yang memang pada satu sisi akan mengganggu psikologi. Nah dalam kesadaran disiplin pasti akan menghubungkan terhadap penegakkan Inpres Nomor 6 Tahun 2020,” ungkapnya.

BACA JUGA:  Cegah Balap Liar Polresta Pulau Ambon dan PP Lease Patroli Blue Light


Alhasil, instrumen yang harus dikuatkan oleh pemerintah baik Provinsi Kabupaten/Kota adalah instrumen pengawasan. Pengawasan itu di dalamnya adalah peningkatan disiplin masyarakat bertumbuh dan berkembang. Sebab disiplin tidak bisa dipaksakan, berbeda dengan penegakkan hukum dipaksakan dengan instrumen negara.


Oleh karena itu, lanjut Sherlok, pilihan politik pemerintah pusat lewat Presiden Jokowi dengan instruksinya adalah penegakkan disiplin, harus difokuskan baru kemudian berbarengan dengan yang namanya penegakkan hukum karena nomenklaturnya menggunakan konjungsi “dan“ jadi penegakkan disipin dan penegakkan hukum.

Ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena berkaitan dengan konsep kesejahteraan.


“Jadi kalau kita baca substansi konstitusi Indonesia, kita menganut paham negara kesejahteraan di samping kita juga menganut paham negara hukum. Dalam konteks negara kesejahteraan ada tanggung jawab pemerintah negara untuk menjamin kepastian dan perlindungan terhadap hak–hak masyarakat dalam kondisi Covid-19,” ujarnya.


Lebih lanjut dikatakan, tentu ada kosekuensinya, dalam aspek ekonomi, bagaimana masyarakat bisa terpenuhi hak–hak dasarnya. Negara harus melakukan proteksi memberikan jaminan tetapi pada saat yang bersamaan juga negara harus berhati–hati dalam mengambil kebijakan,” terangnya.


Karena itu instrumen pengendalian oleh pemerintah wajib dilakukan dengan masyarakatnya tertib. Tertib untuk tujuan penegakkan disiplin dan nanti pada saat bersamaan tanggung jawab negara untuk menjamin kepastian masyarakat bisa mendapat ekonomi yang layak akan berjalan dengan sendirinya.

BACA JUGA:  Marinyo Pilkada di MBD Corong KPU untuk Masyarakat


Sherlock mengingatkan, dua hal ini tidak boleh dibenturkan lantaran ada satu kepentingan masyarakat harus ekonominya baik untuk hidupnya baik di tengah situasi Covid-19.


Tetapi lanjut Sherlok, di sisi lain juga masyarakat harus taat terhadap seluruh proses pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah termasuk di dalamnya pengawasan.


Terhadap berbagai pendapat miring yang sering terlontar, menurut Sherlock hal tersebut bisa dimaklumi dalam konteks psikologi masyarakat yang terdesak tetapi yang peerlu digarisbawahi adalah, jangan juga seenaknya menilai pemerintah tidak bekerja dan tidak sungguh-sungguh memperhatikan masyarakat.


“Covid-19, bagi yang terpapar kalau mau dilihat sebagai faktor eksternal, dari masyarakat. Pertanyaannya sejauh mana mematuhi protokol kesehatan? Ada rambu-rambunya, dan semua harus disiplin. Lalu dimana campur tangan, keterlibatan pemerintah sebagai faktor internal? Sederhananya bisa dilihat melalui penanganan para pasien Covid-19 dan bantuan sosial lainnya. Yang terpapar dan sembuh itu tidak datang dengan sendirinya tetapi dari pemerintah,” pungkas Ketua LBKH Fakultas Hukum Unpatti ini. (L01)