Share
“Telur yang saya letakan berisi seekor babon, sedang yang ditetaskan Luther adalah seekor jago aduan”

BEGITULAH sepotong kalimat Erasmus Desiderius, salah satu humanis awal dan terbesar renaisans dari Utara. 
Goresan Erasmus tersebut tampak seperti upaya bela diri atas tuduhan murtad pula kepengecutannya, sikap cari aman.
Kala itu, Raja-raja mengangkat senjata, para pengamat menyalakan api. Eropa awal abad 16, publik dan para penguasa bergejolak lantaran seorang Marthin Luther. 
Dunia Kristen tengah retak. Luther mengutuk Gereja dan Paus, sebaliknya ia juga dikutuk oleh Gereja dan Paus. 
Erasmus seolah berputar-putar di tengah. Sosok yang dididik di Belanda, kemungkinan besar di Deventer dan memasuki ordo Agustian di Steyn, dekat Gouda, pada 1487. 
Ditahbiskan pada 1492, untuk waktu yang singkat, ia belajar teologi di Paris, namun perjalanan ke Inggris pada 1499 membuatnya berkenalan dengan pemikiran Thomas More dan para humanis lainnya. 
Sejak 1511, ia sudah termasyur oleh satirnya yang mengejek para rahib dan kemegahan Paus dan Marthin Luther termasuk yang membacanya.
Menjalani hidup sebagai cendekia keliling, Erasmus menerbitkan koleksinya atas kutipan-kutipan klasik In Praise of Folly pada 1516, edisi Perjanjian Baru bahasa Yunani yang baru dan lebih akurat. Dia pun jadi seorang yang dicurigai kedua belah pihak.
Dalam sebuah suratnya untuk Kardinal Campegio pada akhir 1520, Erasmus menuliskan inti keyakinannya yang terkenal, “Bila pendukung satu pihak disediakan anugerah, dan pendukung pihak yang lain disiapkan tali gantungan atau tiang pembakaran, kebenaran tak akan terdengar”.
Dalam kesedihan, Erasmus bersurat kepada Paus Adrianus VI di akhir 1522, “Satu pihak mengatakan saya menyetujui Luther karena saya tak menentangnya, sementara yang lain menyalahkan saya, karena saya menentangnya”.
Di luar satir-satirnya tentang praktik keagamaan dan kompleksitas teologi skolastik, bersama-sama minatnya akan keyakinan-keyakinan awal Gereja yang lebih sederhana, yang menjadikannya inspirasi bagi gerakan baru reformasi, Erasmus tidak begitu meyakini kalau kekuatan-kekuatan manusia yang tidak dibantu spiritualitas bakal sanggup menempa utopia baru. 
Ia mundur dari arena politik, dan pada tahun 1524, berpisah dari Luther lantaran karyanya De Libero Arbitrio (On Free Will). Sikap moderat dan skeptis Erasmus tidak memberinya tempat dalam perpecahan yang kian tajam di tubuh Gereja.
Ketika di Basel, saat bersiap-siap pulang ke Belanda, sosok yang digambarkan pendek, kecil, meninggal dunia. Namun, pendidikan klasik dan sikap-sikapnya tetap berpengaruh luas pada abad-abad sesudahnya. 
Anak seorang klerk kecil di dekat Kota Roterdam itu, tak berambisi jabatan resmi. Dia malah begitu jatuh cinta pada perpustakaan terutama karya-karya Yunani lama. 
Saat Luther berapi-api menyulut kemarahan Gereja, Erasmus justru menasehati Luther, “Tenang, jangan marah, jangan benci kepada siapapun”.
Tapi, Luther hanya memandangnya sebagai pendamai yang kecut, yang mengira bahwa semuanya dapat diperoleh dengan sikap yang sopan santun.
Luther telah memutuskan harapannya pada tokoh yang pernah dikaguminya. Tapi itu tak berarti di pihak sana, Gereja Katolik menerima Erasmus dengan senang hati. Memang, Paus Leo X bersikap baik padanya. 
Dalam diri Leo X bagaimanapun terdapat semangat humanis yang juga membentuk Erasmus, semangat yang membuka diri kepada keluasan berpikir. Tapi, Konsili Trente memusuhinya. Karya-karya Erasmus dilarang dibaca umat Katolik, dan sang humanis sendiri dicap murtad.
Ia sendiri hanya mengatakan, Saya tahan menanggungkan Gereja ini, sampai nanti ketika saya melihat sebuah Gereja yang lebih baik”
Dengan kata lain, ia bukan pemberontak, Ia hanya pengeritik. Seperti kalimat dalam sepucuk suratnya buat Luther. “Argumen yang perlahan mungkin lebih banyak hasilnya ketimbang pelaknatan habis-habisan”.
Kenyataan sejarah kemudian barangkali menunjukan Erasmus keliru. Setidaknya yang terbukti ialah, kata-kata keras, dan peperangan agama di Eropa, juga yang kemudian, lebih banyak hasilnya dalam mengubah Gereja. 
Apatah gerangan jika Luther meniru Erasmus dan cuma berbisik lembut ke seluruh struktur kekuasaan yang lamban berkutik?
Erasmus dapat dilihat dengan harga yang lain bahwa manusia hanya boneka Tuhan, segera sadar dan butuh keleluasaan proses mencari kebenaran. (Martin Langoday)