Share

 

DHINO PATTISAHUSIWA


“Kemampuan manusia untuk mewujudkan keadilan membuat demokrasi mungkin, tetapi kecenderungan manusia untuk bertindak tidak adil membuat demokrasi mutlak dibutuhkan” (Reinhold Niebuhr).

 Sebentar lagi kita akan dihadapkan dengan sebuah dinamika yang telah digambarkan oleh seorang teolog Protestan asal Amerika Serikat, Reinhold Niebuhr ini. Publik Maluku akan kembali dihadapkan dengan sebuah “oase” di pesta demokrasi lima tahunan di daerah ini.
Tampilnya pasangan calon Independen. Demikian tema yang kini mulai digulirkan di ruang-ruang publik. Lalu apa itu calon Independen? Sebenarnya sejarah demokrasi di Negara ini sedang mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Pemilih di Indonesia mulai dihadapkan dengan pilihan-pilihan lain yang tentunya cukup menggembirakan. Inilah kemajuan dalam berdemokrasi. Ada calon kepala daerah yang maju mengikuti pemilihan kepala daerah tanpa dukungan dari partai politik (parpol) dan mengandalkan dukungan masyarakat secara langsung.
Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum, pemilihan kepala daerah yang diwarnai hadirnya calon independen diawali pada 2007 di Provinsi Aceh. Saat itu pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar memenangi pilkada.
Jejak pasangan itu juga diikuti oleh pasangan Ramli MS dan Fuadri yang memenangi pilkada Kabupaten Aceh Barat 2007 serta pasangan Nurdin Abdul Rahman dan Busmadar Ismail dalam pilkada Kabupaten Bireun, Aceh juga tahun 2007.
Peluang calon independen hadir dalam pemilihan kepala daerah kemudian dibuka melalui ditetapkannya Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua terhadap Undang-undang Nomor 32 tahun 2004.
Para calon independen itu cukup mendapatkan dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan fotocopy kartu tanda penduduk dengan jumlah tertentu. Dalam UU nomor 12 tahun 2008 tersebut dinyatakan untuk pasangan calon yang akan melaju melalu jalur perseorangan provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 persen dari jumlah penduduk.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5 persen. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 sampai dengan 12.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4 persen dan provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3 persen.
Pada 2008, data dari KPU, pasangan Oka Arya Zulkarnain dan Gong Martua Siregar memenangi pilkada Kabupaten Batubara di Sumatera Utara, kemudian di tahun yang sama, pasangan Christian Nehema Dillak dan Zachrias P Manafe di Kabupaten Rote Ndao Nusa Tenggara Timur dan kemudian pasangan Aceng Fikri dan Dicky Chandra di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Di tahun 2010, pasangan Haris Najamudin dan Hamim Pou di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, pasangan Suherman dan Slamet Diyono di Kabupaten Rejang Lebong , Bengkulu serta pasangan Satono dan Erwin Arifin di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.
Sepanjang 2010 tersebut, menurut analisis media, pasangan yang melaju melalui jalur independen atau perseorangan tercatat di 71 pilkada yang tersebar di 17 provinsi dengan 10 diantaranya memenangi pilkada tersebut.
Dalam pelaksanaan pilkada serentak yang pertama kali pada 2015, menurut anggota KPU Ferry Kurnia Rizkiansyah, kepada media massa mengatakan setidaknya tercatat 187 pasangan calon yang menggunakan jalur independen untuk mengikuti pilkada yang dilangsungkan di 8 Provinsi, 170 Kabupaten dan 26 Kota.
Kini tampilnya pasangan calon Independen tentunya bukan lagi hal baru di Indonesia. Pilkada serentak di Maluku tahun 2018 akan menjadi sebuah catatan sejarah bagi pemilih di daerah ini, setelah ada pasangan calon Independen yang menyatakan niatnya untuk tampil dengan menggunakan dukungan langsung dari masyarakat.
Herman Adrian Koedoebon dan Abdullah Vanath (HEBAT), pasangan ini akhirnya harus “banting setir” dan kini mencoba jalur Independen sebagai solusi terakhir dari proses panjang yang telah dilalui itu. Berbekal segudang kemampuan yang dimiliki, tentunya pasangan ini bukan hanya menjadi momok bagi pesaingnya di Pilkada Maluku mendatang.
Tapi lebih dari itu, pasangan HEBAT akan tampil dan membawa dampak luas terhadap kemajuan demokrasi di daerah ini. Satu yang paling “menakutkan” adalah terbangunnya sebuah “stigma negatif” pemilih di Maluku terhadap kemampuan parpol-parpol dalam melakukan rekrutmen calon kepala daerah dengan mengusung sejumlah figur mumpuni yang menepaki karir politiknya selama ini.
Kenapa demikian? Parpol adalah wadah bernaungnya para kader terbaik yang tentunya telah melalui proses panjang kaderisasi. Mereka yang sudah lama ditempa dalam parpol, harapannya akan diberikan ruang yang cukup besar pada setiap event demokrasi yang dihelat dan menjadi domain parpol dalam mengusung para kadernya.
Sungguh ironis, bekal para kaders dalam menepaki karir politik di sebuah parpol, tidak serta merta akan menjadi garansi untuk bisa tampil di moment pilkada. Lagi-lagi isu “bandrol” yang harus ditebus para kaders ke pimpinan parpol tak bisa dielahkan.
Seperti itulah dinamika yang bisa diterka dimasa mendatang. Tidak lagi menjadi sebuah hal yang rahasia, proses pentahapan yang dilakukan parpol juga tidak bisa dianggap sebuah kepastian.
Penyampaian visi misi, survey dan sebagainya hanyalah “gula-gula” yang disuguhkan parpol. Pengamat Politik Universitas Nasional Muhammad Hailuki di Jakarta, mengatakan keputusan untuk maju melalui jalur perseorangan seharusnya tidak diartikan kegagalan proses kaderisasi parpol.
Proses kaderisasi di partai politik sudah menunjukkan adanya figur-figur yang menjanjikan untuk menempati posisi politis yang strategis. “Berdasarkan itu maka tidak bijaksana jika kita menuding parpol tidak mampu melakukan kaderisasi politik. Dengan demikian apabila ada pernyataan yang mengatakan bahwa parpol tidak mempunyai kader yang layak untuk diusung jadi cagub atau cawagub, maka pernyataan tersebut bisa dikatakan tidak berdasar dan sarat kepentingan, yaitu kepentingan untuk melakukan deparpolisasi,” tegasnya.
Menurut peneliti Centre for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS) itu, tolak ukur kematangan demokrasi bisa dilihat dari kualitas dan peran partai politik yang semakin baik.
“Apabila parpol mampu melakukan rekrutmen politik secara baik, maka kondisi akan menjadi terbalik, tidak diperlukan lagi jalur independen untuk menjadi kepala daerah di level manapun. Parpol akan lebih terhormat tidak bisa terdikte oleh kepentingan figur kandidat kuat atau permainan dukungan elite massa,” paparnya.
Seperti itulah kira-kira yang menjadi sebuah alasan munculnya pasangan calon Independen. Pasangan HEBAT kemudian berani mengambil langkah seribu, untuk mendesain sebuah terobosan dengan melibatkan rakyat sebegai penentu kemenangan.
Calon Independen adalah opsi tepat untuk melawan hegomoni parpol yang dinilai kurang berpihak ini. Pasangan yang mengawinkan kedua mantan bupati ini tentunya tidak bisa dianggap reme. Herman Adrian Koedoeboen adalah eks kontestan di Pilkada Maluku 2013.
Ketika itu Herman dan pasangannya Daud Sangadji (MANDAT) mampu meraih 188.088 (24,35%) suara kontituen Maluku. Sedangkan Abdullah Vanath adalah Ruuner Up pada pilkada yang sama dengan perolehan suara sebanyak 205.564 (26,63%) saat bersama DAMAI. Bukan saja pengalaman tanding yang pernah dijalani.
Tapi lebih dari itu publik Maluku pastinya sudah melek akan apa yang terjadi belakangan ini. Survey yang digelar sebagai salah satu indikator penilaian popularitas dan elektabilitas pasangan HEBAT tentunya masih segar dalam ingatan setiap konstituen.
Apalagi dalam setiap survey, kedua sosok ini termasuk dalam figur papan atas yang memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Sungguh inilah sebuah pertarungan menarik yang wajib diikuti dengan seksama. HEBAT tentunya adalah “role mode” dalam dinamika demokrasi lokal kita di masa
mendatang. (Penulis adalah aktivis dan mantan wartawan)