Share
Martin Langoday
KEPEMIMPINAN yang  baik tidak dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri.

Good leadership consists of doing less and being more. Ini yang digoreskan oleh Goenawan Muhammad tentang pemimpin.

Dalam memimpin, pintar saja memang tak cukup, benar juga tak memadai. Wartawan, penulis kawakan itu, mengutip David Halberstam, tentang orang-orang pintar di sekitar Presiden Kennedy. Ulah mereka menjerumuskan Amerika berperang, berujung kekalahan.

Itu terbukti saat Amerika terlibat jauh ke perang Vietnam. Pada akhirnya dunia tahu perang di sana begitu menyesakan. Rupanya orang-orang pintar di sekeliling Kennedy tak cukup merasakan terik, lelahnya, mendengar suara rakyat, dipilih oleh rakyat.

Mereka tidak menampung. Mereka bertindak ini bertindak itu, tapi tak tahu adakah sumbernya jauh di pedalaman atau hanya air cipratan dari bapak pimpinan.

Ada yang terlupakan. Kurang turun lapangan seperti para politisi yang rajin mendekati rakyat, walau profesi sebagai politisi sering dianggap remeh dan buruk.

Tapi begitulah, hari-hari ini kita justru melihat di tahun pesta politik, semua ingin tampil bak politisi. Padahal, dulu sangat alergi dengan politik. Kini tiba-tiba terbius, sambil mengaku dia perlu terlibat untuk kemaslahatan orang banyak.

BACA JUGA:  HUT Pattimura ke-206, Gubernur Minta Terus Berbakti dan Berkarya Untuk Kemajuan Maluku

Dari profesi yang dianggap remeh dan buruk itu, dapat disaksikan, rakyat terus didekati. Menggambarkan politik adalah sebuah seni memainkan kemungkinan. Soal baik buruk benar salah akan terpancar dari proses dan tujuan.

Oleh karena itu, jangan heran jika saat-saat sebegini banyak tuntutan, banyak harapan meski kemudian orang kembali kepada persepsi buruk politik.

Sebabnya mungkin saja melalui politik, kita saksikan, terbentang selama ini, pernyataan-pernyataan tidak cocok 100% dengan fakta. Namun seperti halnya puisi, harus bisa mempesona.

Menjemput hari pencoblosan tanggal 27 Juni 2018, bentangan pernyataan dari para pasangan calon pemimpin, rupa-rupa macam. Tampil dengan visi misi yang tidak jauh berbeda, tetapi untuk menarik simpati rakyat, tergambar semua ingin terlihat mempesona. Ada pesona puisi Santun, ada pesona puisi Baileo, ada pesona puisi Hebat.

Ketiga pasangan calon pemimpin begitu menggelorakan. Satu ingin melanjutkan, yang lain ingin Maluku baru, satunya lagi ingin perubahan. Asyik dan menggugah.

Disekeliling ketiga pasangan tentu ada tim pemikir. Orang-orang partai politik, konsultan politik, akademisi dan macam-macam praktisi. Semua ikut terlibat memoles pasangan masing-masing.
Debat publik pertama barusan selesai.

BACA JUGA:  Ketua DPP PSI Hadiri Konsolidasi Bacaleg DPC SIRIMAU

Kasat mata ketiga pasangan tidak ingin kalah. Mereka ingin menang sehingga tak tampak ada pihak yang iklas mengalah. Di luar panggung debat, rakyat riuh rendah bersorak tepuk tangan.

Muncul pula nada olok-olokan. Saling serang menjurus hujatan berseliweran di media sosial. Bahkan beredar meme dengan caption tak patut dan cukup mengganggu.

Maklum tiga pasangan punya pendukung. Tiap-tiap kelompok bereaksi setelah melihat, mendengar pernyataan-pernyataan figur mereka di podium penyelenggara.

Seorang pemimpin yang baik, kata Tao, ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi dalam. Dia tak berada di pucuk yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumbernya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman: sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan.

Sebagai juara bertahan, Said Assagaff tetap dikuntit Murad Ismail dan Herman Koedoeboen. Kemiskinan menjadi makanan lezat.

Di luar Murad Ismail, sosok Anderias Rentanubun, Barnabas Orno, Herman Koedoeboen, Abdullah Vanath bukan orang baru.

Bersama Said Assagaff, mereka adalah pemimpin. Pernah dan sedang menjabat di Malra, MTB, MBD, dan SBT.

Saat memimpin, sebagai kepala daerah, berperang melawan kemiskinan adalah tugas mereka. Tujuannya, rakyat sejahtera. Alhasil, jika kemudian pada debat publik itu, kemiskinan menjadi senjata menembak pula bertahan, maka patut dipertanyakan.

BACA JUGA:  Balai Arkeologi Evaluasi Penelitian Penelitian

Mengapa Maluku miskin? Mungkin mereka jauh dari rakyat. Kurang peka, atau boleh jadi gagal membangun partisipasi rakyat, setelah berhasil mencuri hati rakyat untuk memilih mereka menjadi pemimpin.

Senjata kemiskinan sebagai alat menyerang sekaligus bertahan, memperlihatkan buruk rupa cermin dibelah. Tidak jelas, apakah disaat memimpin rakyatnya sudah bebas, jauh dari kemiskinan? Hmmm walahualam.

Satu hal yang pasti, demokrasi kita sedang diuji. Demokrasi itu mahal. Demokrasi menyentuh aspek partisipasi politik, kebebasan sipil, proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, dan kultur politik.

Silakan disimak ulang forum debat malam itu, pada bagian mana masing-masing pasangan kandidat terlihat kuat dan lemah. Partisipasi politik? Kebebasan sipil? Proses Pemilu dan pluralisme? Fungsi pemerintahan? Kultur politik?

Satu soal buat dimengerti, atas pertanyaan brilian dari Barnabas Orno kepada pasangan Hebat –, tentang SARA, dijawab juga secara brilian oleh Herman Koedoeboen.

Pertanyaan brilian dan jawaban brilian untuk proses Pemilu dan pluralisme. Di dalamnya terdapat kultur politik. Nah sekali lagi, mari mengurai kemiskinan lebih jauh. Silakan, BIAR PUAS..!! (*)