Share
BOBBY PALAPIA
Menjemput pesta rakyat 2018 mendatang, tampak semakin ramai. Berbagai ekspresi politik muncul. Bahkan seperti semuanya ingin menggetarkan. Sesuatu yang memang dimaklumi untuk membangkitkan gelora hati rakyat. 
Terkadang dengan politik, pernyataan-pernyataan terlihat tidak usah cocok sesuai dengan fakta, sebab yang terpenting adalah nyanyian bahwa semua bisa dan terlihat mempesona. 
Ada penegasan kalau saya bisa, dengan berbagai usaha bahkan pernyataan yang menggugah. Terutama ketika kampanye ramai, para bakal calon datang dan pergi seperti sebuah sirkus keliling.
Masyarakat yang punya hak suara diajak untuk membeli apa saja yang ditawarkan. Termasuk yang menjengkelkan. Itu sudah biasa, dan semua hanya perlu tarik nafas, kontrol tak perlu huru hara, membentuk wacana.
Mungkin saja masing-masing sudah berada pada posisinya. Yang dibutuhkan hanyalah menjaga komunikasi antar orang basudara tetap terjalin harmonis, apapun itu bentuk persaingan. 
Kedamaian Maluku, jauh lebih penting di atas segalanya, seperti yang berulang kali ditegaskan oleh Gubernur Maluku, Wakil Gubernur, dan para petinggi keamanan, Pangdam dan Kapolda. Pula, tokoh agama dan suara para pegiat perdamaian termasuk dari kalangan kampus. 
Intinya pesta demokrasi 2018, berlangung damai dan Provinsi Maluku, Kabupaten Maluku Tenggara, Kota Tual memiliki pemimpin yang lahir dari sebuah pesta rakyat, demokrasi yang sehat dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan.
Demokrasi, selalu melahirkan berbagai lakon. Kritik bahkan serangan pedas muncul ke permukaan. Pemimpin, kemudian menjadi target dan terlihat serangan yang dilancarkan bagai sebuah word processor. Polanya sangat mekanistis, tidak punya inspirasi sendiri dan juga tidak punya rol untuk memberi inspirasi kepada orang lain. 
Word processor yang tampil mungkin sebuah otak yang piawai. Terlihat mekanis –, berbicara, tampil kepada rakyat atau di hadapan rakyat dengan bahasa tertentu, berpidato, tersenyum dan terlihat mencium pipi bayi, menggendong anak-anak, memapah para lansia tapi tak punya shouwmanship, karena ruang dan waktu, menunjukan semua sedang menuju kepada puncak acara pesta rakyat 2018.
Pemimpin Maluku, pernah dan sudah melewati pesta rakyat tahun sebelumnya dan berhasil. Menuju 2018 tentu dinamika yang dihadapi saat ini setidaknya bukan baru. Dan kita boleh bertanya sebab ada rasa belum terjawab di hadapan kekalahan politik para kontestan lainnya. 
Gubernur dan Wakil Gubernur, saat itu, menyadari rakyat dalam menentukan pilihan politik mereka, tidak semata-mata hanya menyenangi ucapan-ucapan yang bergelora seperti umbul-umbul iklan, dan penawaran kepada masyarakat yang punya hak suara untuk “membeli” apa saja yang ditawarkan.
Dulu, mungkin orang percaya kalau perlombaan untuk kekuasaan politik adalah pertandingan antar program kerja. Kini bagaimana kita bisa percaya ketika yang berlangsung adalah, kurang lebih, sebuah lomba penampilan pribadi?
Orang terbawa untuk melihat tokoh kawan dan tokoh lawan dari segi yang paling menukik, termasuk tentang kegemaran menyerang tanpa melihat program dan progres kerja selama lima tahun kepemimpinan.
Orang tak hendak bicara tentang pengetahuan, budi, empati bagi sebuah kebenaran dan kebaikan, yang terimplementasi dalam capaian program dan target yang ada dimana ukuran sebenarnya adalah pada kontrol rakyat, yang terwakili melalui lembaga legislatif. 
“Keputusan rasional” seakan-akan terdampar di sebuah muara yang sudah mati. Ketakutan, prasangka, kebencian, sekedar kenangan sentimental, atau pertimbangan yang terbatas. Semua itu pada akhirnya menggerakkan para pemilih menentukan sikapnya.
Tak aneh bila pikiran yang masak dan hati yang lapang bisa terkucilkan. Padahal, rakyat berharap perdamaian tidak perlu dikalahkan. Dalam bahasa Gubernur Maluku, “Politik Jangan Hancurkan Persaudaraan”.
Maka tak mengejutkan Socrates tidak menyukai demokrasi. Di Athena kuno, ketika orang Yunani terbiasa hidup dengan hak bersuara dan hak berbicara, Socrates punya ide yang lain tentang penguasa yang ideal; bahwa pemimpin itu bukanlah tokoh yang dipilih oleh orang banyak melainkan pemimpin yang terdiri dari “mereka yang tahu”. 
Konon, kata Socrates, “Di atas sebuah kapal, orang yang tahu itulah yang memerintah dan sang pemilik serta penumpang lainnya tunduk kepada orang yang tahu itu”. Tapi bagaimana kita bisa menentukan bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai “orang yang tahu” dan pihak lain sebagai “orang yang tidak tahu”.
Begitulah yang terlihat saat ini, ketika semua berteriak bisa dan dengan tekad bisa itulah, kecenderungan saling mencederai terlihat. Socrates justru ingin menunjukan, mungkin baginya, orang ramai saling menyerang (hak bersuara dan hak berbicara) tidak perlu cemas. 
Mereka memiliki pemimpin, dan dalam kelompok itu sajalah mereka saling tahu, sementara di pihak lain, tidak tahu. Ada kealpaan untuk mengingat pemimpin dan kepemimpinan adalah suatu ilmu, seni dan profesi seseorang yang dapat dipelajari, diambil hikmah. 
Karena itu, masalah pemimpin dan kepemimpinan merupakan hak setiap individu tergantung dari kemampuan penyerapan, hal yang ditekuni, disamping kesanggupan aplikasi dan improvisasi dalam kewenangan yang diemban. Ada bagitu banyak teriakan berjubel tetapi memang kesempatan justru tidak untuk semua yang berteriak bisa.
Kepemimpinan sangat dibutuhkan dalam setiap tempat dan waktu demi terwujudnya situasi yang aman dan sejahtera. Tanpa adanya kepemimpinan di suatu lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu, akan mudah terjadi kegoncangan bahkan kekacauan. 
Dalam posisi ini seorang pemimpin dituntut memiliki kemampuan dan kesanggupan serta kewibawaan dalam mengimplementasikan taktik kepemimpinan.
Kewibawaan sesungguhnya bukanlah pimpinan yang dipaksakan untuk diikuti, semata-mata karena kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki, tetapi justru timbul dari pengamatan dan pengakuan pihak lain atas kepuasan hatinya terhadap sikap dan perbuatan serta caranya memimpin.
Sifat-sifat kepemimpinan yang menjadi tolak ukur bagi seorang pemimpin adalah tahan uji sebagai perpaduan dari keteguhan moral dan moril yang luhur berdasarkan rasa kebenaran dan keadilan, serta kejujuran terhadap Tuhan, sesama manusia dan diri sendiri. 
Sementara unsur keberanian pada hakekatnya merupakan manifestasi tentang pengakuan terhadap kemungkinan timbulnya goncangan sehingga kontestan diharapkan tetap menjaga situasi Kamtibmas Maluku. Sekali lagi, politik jangan hancurkan persaudaraan.
Tindakan tahan uji adalah sikap dan perbuatan pemimpin yang menunjukkan kesanggupan. Tidak pernah mengenal menyerah dan putus asa. Tahan saat menghadapi segala penderitaan, menghadapi setiap bentuk cobaan dan ujian, kesulitan dan hambatan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewajiban, untuk Maluku yang kita cintai. (*)