Share
Dr Sherlok Halmes Likipiouw
SEBUAH realitas yang memprihatinkan jika kita mengamat sebagian dari proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) menunjukan dan memperlihatkan realitas hubungan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang menunjukan ketidakharmonisan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. 
Oleh karena itu, menarik untuk menelisik kedudukan Wakil Kepala Daerah beranjak dari perspektif UU 23/2014, apakah sebagai seorang pendamping atau pelengkap?
Pertanyaan penting ini mengemuka lantaran rancang bangun kebijakan politik hukum dalam UU Pemda tidak sejalan dan/atau bertabrakan dengan substansi politik hukum dalam UU Pilkada. Padahal, semangat keduanya sama yakni bertumpuh pada gagasan demokrasi konstitusional.
Dalam kondisi yang demikian, ternyata pembentukan politik hukum pemerintahan daerah khususnya UU Pemda mulai dari UU 22/1999 sampai dengan UU 23/2014 tidak memberikan arah perubahan dari pola hubungan hukum antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Walaupun di sisi lain, syarat kontestasi Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) mensyaratkan dalam satu paket pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 
Namun demikian, setelah terpilih, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam tugas, kewenangan dan kewajiban diatur dalam UU Pemda, 23/2014, sebuah pengaturan yang membingungkan.
Dalam Pasal 59 ayat (1) disebutkan setiap daerah dipimpim oleh Kepala Pemerintahan Daerah yang disebut Kepala Daerah dan selanjutnya dalam Pasal 63 Ayat (1) disebutkan, Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 Ayat (1) “dapat” dibantu oleh Wakil Kepala Daerah.
Rumusan teknis norma yang menggunakan kata “dapat” menunjukan ketidakpastian hukum dalam memahami konstruksi kedudukan hukum Wakil Kepala Daerah. 
Acontrario, dapat dipahami bahwa kedudukan Wakil Kepala Daerah adalah bersifat administratif (dalam arti fungsi). 
Hal ini dapat pula kita temukan dalam rumusan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 10/2016, yang secara gramatikal merujuk pada pengertian secara administratif (pemenuhan syarat). 
Selanjutnya, dalam rumusan ketentuan Pasal 66 Ayat (1) disebutkan bahwa, “Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas, Huruf (a) membantu Kepala Daerah dalam…”.
Ratio legis dari norma Pasal 66 Ayat (1) huruf (a) menjelaskan tentang kedudukan Wakil Kepala Daerah “Sebagai pembantu Kepala Daerah (dalam hal melaksanakan urusan pemerintahan)”. 
Dengan demikian, konstruksi hubungan kewenangan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah bersifat “mandatoris” dalam hubungan aras bawahan (lihat ketentuan Pasal 65 Ayat (1) yang mengatur tentang tugas Kepala Daerah dan Pasal 65 Ayat (2) yang mengatur kewenangan Kepala Daerah).
Apabila dilihat secara baik, tidak ada satu pun Pasal dalam UU 23/2014 yang mengatur tentang “Kewenangan Wakil Kepala Daerah”.
Justru yang ada malah sebaliknya sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 66 Ayat (3) disebutkan bahwa, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) bahwa, Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah”.
Dengan rumusan norma yang demikian dapat dipahami bahwa tugas Wakil Kepala Daerah adalah sebagai “pembantu Kepala Daerah” sehingga Kepala Daerah “dapat” mendelegasikan dan/atau tidak pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan kepada Wakil Kepala Daerah (dalam pengertian discionary power). 
Memperhatikan pola rumusan norma dan konstruksi hubungan hukum yang demikian, maka Kepala Daerah –, pertama ; Dalam melaksanakan urusan pemerintahan dapat melaksanakan sendiri kewenangannya tanpa mendelegasikan dan/atau melibatkan Wakil Kepala Daerah.
Kedua ; Wakil Kepala Daerah tidak dapat bertindak secara mandiri dalam melaksanakan tugas pemerintahan kecuali melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah yang ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah.
Ketiga ; Kepala Daerah memiliki kewenangan sedangkan Wakil Kepala Daerah tidak, dan keduanya memiliki kewajiban hukum yang sama.
Dengan demikian, jika dalam pelaksanaan tugas pemerintahan Kepala Daerah “bekerja sendiri” tanpa Wakil Kepala Daerah adalah sah menurut hukum. 
Setidaknya sebagaimana dirumuskan dan diatur dalam UU 23/2014, bahkan secara tegas dalam Pasal 65 Ayat (1) huruf (f) disebutkan bahwa Kepala Daerah mempunyai tugas “mengusulkan pengangkatan Wakil Kepala Daerah”.
Apa dan Bagaimana Seharusnya 
DARI aspek politik hukum, keberadaan Wakil Kepala Daerah adalah sebuah keniscayaan dari peneguhan atas asas demokrasi konstitusional. 
Namun demikian pengaturan hukum tentang kedudukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Tugas, Wewenang dan Kewajiban) secara hukum mendudukan pola hubungan kewenangan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam konstruksi hubungan mandataris bukan dalam hubungan delegasi/atributif.
Pola dan kerangka hukum yang demikian yang menjadikan Wakil Kepala Daerah secara hukum adalah sebagai “pembantu” yang dalam hal dan kondisi “tertentu” tidak dapat melaksanakan tugas dan/atau diberikan tugas oleh Kepala Daerah, dan hal itu adalah sah dan tidak melanggar hukum. 
Ke depan, seyogyanya Pemerintah (Eksekutif) maupun DPR/DPD (Legislatif) agar mendesain kembali hubungan hukum yang memperjelas kedudukan hukum antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 
Pilihan lain adalah dengan meniadakan jabatan Wakil Kepala Daerah dan memperkuat kedudukan Sekretaris Daerah (Sekda). 
Pilihan ini tentunya perlu didekatkan dengan kajian Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara sehingga tidak mencederai esensi dari prinsip demokrasi konstitusional dan eksistensi sebagai Negara hukum. (Penulis, Ketua LBKH Fakultas Hukum Unpatti Ambon)