Sejumlah aktivias perempuan dan jurnalis yang tergabung dalam Jaringan Mayarakat Sipil Indonesia Timur melakukan diskusi sekaligus konfrensi pers secara daring, Senin (28/09/2020)

LASKAR – Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur mendesak masuknya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dalam Perioritas Program Legislasi Nasional tahun 2021. 

Pasalnya, data yang terdokumentaikan yang dihimpun Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur, jumlah kekerasan seksual pada tahun 2019-2020 dari sejumlah lembga pengadalayanan di wilayah timur mengalami tren peningkatan yang cukup tinggi.

Demikian rangkuman dari konfrensi pers Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur untuk Pengesahan RUU P-KS yang dilakukan secara daring, Senin (28/09/2020).

Konferensi pers yang dipandu moderator Yustin Lambuina ini diawali dengan paparan kasus dan kendala yang dihadapi jaringan masyarakat sipil di wilayah Timur di masing-masing daerah diantaranya, Vivi Marantika dari Maluku, Ansy Damaris dari NTT, Nona Duwila dari Papua, dan Salma dari Sulawesi Tengah. 

Dari data yang dihimpun secara keseluruhan, total kasus kekerasan seksual yang terdokumentasi sampai September 2020 adalah 481 kasus. Kasus tertinggi adalah Pemerkosaan (220 kasus),  disusul perkawinan anak (145 kasus). Angka-angka ini hanyalah sebagian kasus yang sempat terpotret. 

Pemerkosaan anak yang tinggi itu terjadi di semua daerah. Pelakunya beragam, antara lain Kepala Daerah di Sulawesi Tenggara dimana korban hamil kemudian dipaksa kawin dengan orang sekampung, teman sebaya di Pulau Seram (Maluku) yang minim layanan, ayah tiri maupun orang sekampung yang menyebabkan kehamilan tidak diinginkan di Sulawesi Utara dan daerah lainnya yang berdampak pada pernikahan anak. 

Dari rilis yang disampaikan, untuk Papua kasus yang paling menonjol adalah perbudakan seksual, salah satunya adalah incest yang dilakukan ayah kandung selama bertahun-tahun dan baru terungkap pada saat korban hamil dan tidak mampu melayani kebejatan pelaku. 

65% korban dari total kasus yang terdokumentasikan anak-anak yakni sebanyak 314, dimana 12 balita, 104 usia tanggung dan sisanya 198 adalah usia remaja. Semuanya berasal dari keluarga ekonomi lemah. 

Jaringan Masyarakat Sipil Wilayah Timur untuk RUU P-KS juga menemukan sedikitnya 30% kasus yang dilaporkan mengalami kebuntuan dalam penanganan hukum. Ini dikarenakan tidak sigapnya polisi dalam mendapatkan pelaku, juga ketidak mampuan keluarga untuk membiayai proses hukum oleh karena tempat tinggal yang jauh dari pusat layanan; baik untuk konteks daerah daratan seperti Papua dan Sulawesi dan di daerah pulau-pulau seperti Maluku dan NTT. 

Dari peta situasi korban, Jaringan Masyarakat Sipil Wilayah Timur untuk RUU P-KS menemukan bahwa di semua daerah di Wilayah Timur, kasus kekerasan seksual erat sekali hubungan sebab-akibatnya dengan beberapa hal berikut : Pertama, disfungsi tiga entitas yang sangat dekat dengan kehidupan korban maupun pelaku yakni keluarga, agama dan adat yang seharusnya membangun mekanisme pencegahan bagi pelaku dan perlindungan bagi korban. 

Justru, dalam beberapa kasus dimana korban hamil misalnya, keluarga malah memilih menikahkan korban dengan kerabat dengan alasan menutup aib. 

Malahan, tokoh adat setempat ikut memberatkan beban korban dengan stigma kehamilan korban adalah aib bagi kampung.  Korban didera trauma berkepanjangan.

Kedua, kelemahan pada sisi Aparat Penegak Hukum. Lembaga pengada layanan di Sulawesi Tenggara dan NTT mengeluhkan kekakuan APH dalam penerapan pasal yang disangkakan pada pelaku, sehingga melemahkan aspek keadilan yang hakiki bagi korban. 

Selain itu, di semua daerah ada pengalaman proses hukum yang tidak berpihak kepada korban. Apalagi sebagian besar korban tinggal di daerah yang hanya dekat dengan Polsek yang padahal di situ tidak tersedia Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA). 

Ini semua menimbulkan keengganan untuk melapor dan kalau pun melapor, korban sering mengalami reviktimisasi. 

Di ranah Pengadilan, masih ada juga persidangan yang tidak peka pada aspek perlindungan dan perhargaan harkat dan martabat korban. 

Ketiga, pada sisi Pemerintah Daerah. Sebagaimana ditemukan di semua daerah, kebijakan, program dan penganggaran pemerintah belum menyasar kebutuhan membangun pranata maupun infrastruktur pencegahan kasus, juga perlindungan dan pemulihan yang komprehensif bagi korban dan keluarga korban. 

Apalagi Pemerintah Daerah belum mampu memainkan peran koordinasi pengada layanan lintas Lembaga bahkan institusi pemerintah di daerah masing-masing. 

Tidak heran, edukasi publik yang penting bagi pencegahan maupun perlindungan tidak jalan; dan keberadaan Rumah Aman yang sangat terbatas maupun tenaga pendamping dan psikolog tidak sebanding kebutuhan penanganan kasus. 

Akar paling mendasar dari semua realita miris di wilayah timur ini adalah lemahnya landasan hukum bagi perlindungan korban. Maluku, NTT, Papua dan Sulawesi membutuhkan Peraturan Perundang-undangan yang secara spesifik dan komprehensif mengatur pemenuhan hak korban. Untuk itu, Jaringan Masyarakat Sipil Wilayah Timur untuk RUU P-KS meminta Pemerintah dan DPR RI untuk:

1. Memasukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2020/2021

2. Memastikan bahwa Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual nanti adalah:

Undang-undang yang melindungi hak-hak korban untuk mengakses keadilan sehingga mendapatkan proses peradilan yang berkeadilan

Undang-undang yang mencakup pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban serta pemidanaan pelaku;

Undang-undang yang memberikan kepastian hukum terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual.

Undang-undang yang mencakup juga pemidanaan khusus bagi pelaku korporasi, pelaku yang menghambat, bertindak lalai menjalankan kewajiban, serta sanksi administratifnya

Undang-undang yang memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan tindak kekerasan seksual

Undang-undang yang menegaskan pengaturan layanan pemerintah maupun layanan negara yang sinergetik dengan masyarakat dan LSM sebagai upaya pemulihan korban

Jaringan Masyarakat Sipil Wilayah Timur untuk RUU P-KS adalah jaringan yang dibentuk oleh organisasi/lembaga/komunitas masyarakat sipil di wilayah Timur Indonesia, sebagai bagian dari Jaringan Masyarakat  Sipil seluruh Indonesia yang berkomitmen untuk bergerak bersama dalam mengadvokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dengan penanggungjawab Maluku Lusi Peilouw, NTT-Ansy Damaris,  Papua-Mia, Sulawesi Utara-Nurhasanah , Sulawesi Tenggara-YustinaF, Sulawesi Tengah-Salma  dan Sulawesi Selatan-Ros. (L02)