Oleh: Ridolf Masela
Praktik jual beli suara atau lazimnya disebut kancing bayar punya peran penting menambah pundi-pundi suara. Bagaikan Myxini punya peran penting bagi ekosistem. Begitu pula kancing bayar ala politisi culas punya peran penting memangsa suara pemilih.
Predikat kancing bayar sebagai senjata pemangsa suara pemilih menandakan perannya sebagai bioindikator. Bagi para pemerhati, bioindikator adalah petunjuk penting untuk melakukan spekulasi dan investasi maupun dijadikan sebagai petunjuk politik jalan ninja dilakukan selama pesta demokrasi.
Dengan adanya praktik kancing bayar ala politisi culas melalui politik jalan ninja ini tetap berupaya menjaga kontribusi untuk mengamankan alokasi kuota kadera (kursi), juga menjaga kelestarian kadera tetap ada dan nyaman selama 5 tahun ke depan.
Sementara status kancing bayar belakangan ini ditengarai bakal menurun seirama meningkatnya pemilih cerdas dan rasional, hanya saja sangat bertolak-belakang dengan realitas terhadap statusnya justru semakin moncer.
Berdasar pemikiran kolektif, politisi culas memiliki ide senewen ataupun gagasan sinting bahwa konservasi kancing bayar sebagai senjata pemangsa suara pemilih sangat diperlukan dan dimaklumi, maka perlu untuk dilestarikan dan diperluas ekosistem penerima manfaat dari politik isi perut.
Laiknya harga jual beli produk komoditas di Bursa Komoditi, begitu pun harga kancing bayar menunggu momen tepat untuk dieksekusi.
Sepenuhnya bergantung pada The Kupna Power (kekuatan uang) politisi culas menggunakan senjata pemangsa suara lewat politik jalan ninja, baik itu persaingan di antara kompetitor di kalangan internal maupun ekternal.
Meskipun politisi culas selalu bergerak dalam diam seperti Myxini di dasar laut, tetapi pada akhirnya migrasi ke daratan untuk bertelur. Cerminan ini sama persis dengan politisi culas terkesan mengabaikan aturan dan norma terkait pelarangan keras dilakukannya praktik kancing bayar.
Namun, realitas dari penggunaan senjata pemangsa suara pemilih terhadap penerima manfaat dari politisi culas ini memiliki prospek cerah terkait perluasan ekosistem tetap terawat dengan baik sebagai modal spekulasi dan investasi disebabkan ekosistem penerima manfaat tersebut semakin meluas.
Dari data pelanggaran pemilu tahun 2019, terdapat 6.649 pelanggaran telah diregistrasi, 548 pelanggaran pidana dan 107 pelanggaran kode etik. Adapun pelanggaran pidana tertinggi adalah politik uang. Terdapat juga pemilih secara langsung terlibat dugaan politik uang dalam pemilu 2019 berkisar dari 19,4 persen hingga 33,1 persen.
Sebagaimana hasil survei itu dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang pemilu 2019, membuktikan bahwa 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang dan 46,7 persen menganggap politik uang perlu dimaklumi.
Sementara Prof. Burhanuddin Muhtadi menegaskan dalam hasil riset ilmiahnya berjudul: “Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi” bahwa Pilpres 2014 dan 2019 menemukan sekitar 33 persen atau 62 juta pemilih dari jumlah total pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap terlibat praktik kancing bayar.
Melalui pelbagai temuan data terjadinya praktik politik isi perut dilakukan oleh politisi culas ini juga menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan tingkat politik uang terbesar di dunia selama belangsungnya pemilihan umum.
Mirisnya, pihak penyelenggara pemilu terkesan membiarkan akses konservasi kancing bayar tetap lestari. Ini seirinh naiknya harga pasar kancing bayar pasca reformasi. Ketika pembiaraan terus berlangsung, maka ekositem penerima manfaat kancing bayar ini akan terus berkembang.
Minimnya Sosialisasi Pemilu 2024 oleh pihak penyelenggara pemilu seakan memberikan sentimen positif tehadap pelestarian ekosistem penerima manfaat praktik kancing bayar itu terjadi secara masif untuk mempertahankan kadera kekuasaan.
Apalagi segementasi pasar terhadap harga kancing bayar per 1 orang pemilik hak coblos di tahun politik 2024 ini ditengarai berkisar hingga Rp 350.000 atau naik dua kali lipat dari harga sebelumnya pada kisaran harga Rp 50.000 – Rp 150.000 selama berlangsungnya pemilu.
Seperti satwa liar pada umumnya, kancing bayar dipraktikan dalam perburuan suara pemilih melalui politik jalan ninja ini sepenuhnya didorong oleh mental opurtunis dan haus kekuasaan!
MASIH ADA HARAPAN
Pemilu sebagai representasi demokrasi merupakan peristiwa penting terjalinnya hubungan politisi dengan pemilih. Sementara pemilihan bersifat sukarela dan rahasia sehingga pemberi dan penerima manfaat sebenarnya tidak dapat mengendalikan pilihan secara politis.
Terpicu oleh ide senewen menggunakan senjata pemangsa suara pemilih merupakan ancaman serius ini melahirkan stigma negatif terhadap politisi terus meluas. Padahal tipe perilaku pemilih dan politisi tidak sepenuhnya didasarkan pada faktor voting determinants (perilaku determinan) secara kolektif, melainkan ditentukan juga melalui perilaku individu.
Monolog singkat di atas tentunya memberikan gambaran tentang siklus perubahan entitas demokrasi. Menariknya, prospek cerah ekosistem penerima manfaat kancing bayar ini telah mencapai modernitas daya pikir. Walaupun sifatnya sesat dan sesaat namun kebutuhan isi perut berbasis simbiosis mutualisme tetap terpenuhi.
Sementara aspek dan manfaat pedagogik dalam mewujudkan pemilu berintegritas dan bermartabat tidak dijalankan dengan baik oleh penyelenggara. Artinya, bahwa edukasi politik perlu diterjemahkan melalui sosialasi sejak usia dini, baik di lingkup keluarga, sekolah, atau masyarakat.
Dengan adanya edukasi politik akan memicu tumbuhnya kesadaran berpolitik, maka harapan publik terhadap pemilu berintegritas melalui penyelenggara menjamin keikutsertaan pemilih dalam pemilu dapat menghilangkan ekosistem penerima manfaat melalui praktik kancing bayar dapat terwujud.
Olehnya itu dibutuhkan dukungan publik sehingga integritas hasil pemilu menjadi penentu keberhasilan pesta demorkasi berjalan lebih baik. Begitu pun ekosistem pemberi dan penerima manfaat dari praktik kancing bayar tidak lagi memiliki akses terhadap prospek pelestarian penggunaan senjata pemangsa suara pemilih.
MENINGKATKAN PARTISIPASI PEMILIH
Upaya pencegahan terhadap politik isi perut selama berlangsungnya hajatan pesta demokrasi diperlukan partisipasi pemilih. Relevansinya di dalam kajian meta-analisis adalah munculnya atau menguatnya kembali gejala mental opurtunis dan haus kekuasaan melalui praktik kancing bayar.
Mengingat variabel pentingnya dukungan terhadap demokrasi tidak terlampau menggembirakan ketika kecenderungan otoritarian dan kecenderungan kurang rasionalitas ditegaskan sebagai tanda bahaya bagi pemilu berintegritas dan bermartabat perlu dibunyikan.
Selain mendorong partisipasi pemiliih melalui pihak terkait agar dapat menciptakan ranah pemilu menjadi aman dan nyaman, penyelenggara juga diharapkan dapat menjamin akses dan kemudahan serta memastikan hak coblos tidak terpengaruh. Maka, dibutuhkan peran aktif partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan partisipasi politik.
Dengan demikian, partisipasi politik memiliki peran penting, baik bagi setiap individu untuk mengontrol dan mengawasi kebijakan agar terhindar dari tindakan merugikan, juga bagi pemerintahan untuk mengukur tinggi atau rendahnya siklus perubahan entitas demokrasi.
Akhirnya ruang publik berbasis media sosial tidak lagi bergemuruh terkait praktik kancing bayar ala politisi culas maupun ekosistem penerima manfaatnya menjadi tercerahkan lewat ekspresi ide dan gagasan melalui forum media, diskusi, dan ruang publik lainnya selama pesta demokrasi. (*)
(Penulis Aktif di Komunitas Penulis Maluku)