AMBON, LaskarMaluku.com – Komnas Perempuan sangat menyesalkan closing statement Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Nomor Urut 2 (Murad Ismail-Michael Wattimena) saat Debat Pertama Pilgub Maluku Tahun 2024 yang digelar KPU Maluku, di The Natsepa Hotel, Sabtu (26/10/2024) lalu.

Pasalnya, closing statement yang disampaikan calon Wakil Gubernur Maluku Michael Wattimena bahwa “pilih nomor dua karena “di tengah itu sadap” terkesan merendahkan kaum perempuan.

Lantaran itu, Komnas Perempuan sangat menyesalkan pernyataan tersebut karena kandidat dianggap tidak mematuhi ketentuan tentang materi kampanye sebagaimana disebutkan pada pasal 17 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024.

Penegasan ini disampaikan Komisioner Komnas Perempuan RI Siti Aminah Tardi dalam konfrensi pers yang dilaksanakan, Kamis (7/11/2024) secara daring dan luring di kantor Komnas di Jakarta.

Menurutnya, selain di Maluku, kasus yang sama juga terjadi pada sejumlah daerah di tanah air yang sementara ada pada tahapan-tahapan kampanye maupun debat kandidat.

Sementara Komisioner Komnas Perempuan yang lain Veryanto Sitohang menilai kasus-kasus yang marak terjadi dan dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah di ruang publik yang terkesan merendahkan perempuan merupakan bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang bertentangan norma-norma HAM internasional maupun Konstitusi RI. 

Dirinya merincikan berdasarkan hasil kajian dan pemantauan Komnas Perempuan tinjauan dari berbagai literatur, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam Pemilu/pilkada berkaitan erat dengan ragam bentuk kekerasan yang acap menyerang perempuan, baik di ranah personal, publik, maupun negara. Bentuk-bentuk kekerasan yang dimaksud tampak sebagai berikut:

(1). Kekerasan fisik seperti menampar, mencekik, memukul, dan lainnya yang bertujuan untuk menghalangi, merintangi atau mengurangi martabat perempuan dalam Pemilu;

(2). Pelecehan (harassment); termasuk di dalamnya segala tindakan yang tidak pantas, menurunkan moral, mencemarkan nama baik dan mempermalukan korban.

(3). Fitnah dan hasutan untuk melakukan kekerasan; (4) Penyerangan karakter dan penghinaan gender; (5). Pemerkosaan pada calon kandidat perempuan peserta Pemilu;

(6). Pemerasan bernuansa seksual; (7). Pengekangan, pembatasan gerak, penculikan, termasuk di dalamnya penahanan dengan semewenang-wenang, terhadap perempuan; (8). Rayuan, komentar, dan ujaran seksual yang tidak diinginkan (sexist remarks);

(9). Intimidasi, persekusi dan ancaman; (10). Penghilangan mata pencarian dan pemindahan tempat tinggal;

(11). Pengawasan yang bias gender, baik oleh publik ataupun media (gender-biased scrutiny by the public and the media); 

(12). Dipaksa mengundurkan diri (forced resignations); (13). Kekerasan seksual berbasis elektronik, seperti postingan dokumen rekayasa bernuansa seksual; dan (14). Pembunuhan politisi perempuan (assassinations of women politicians/femisida).

Senada dengan itu, komisioner lainnya Rainy M. Hutabarat mengatakan, di sisi lain, Komnas Perempuan mencatat bahwa ada korban yang tak ingin melaporkan kekerasan yang dialaminya karena berisiko pada karir selanjutnya.

Ruang pemulihan bagi korban dalam konteks politik elektoral juga belum tersedia secara optimal. Komnas Perempuan menyesalkan masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan pemilu seperti yang disebutkan di atas mengingat dampak serius, tidak hanya dapat dilihat dari kerugian materil/fisik dan psikis, namun juga secara sosial dan politik.

“Kekerasan terhadap perempuan dalam Pemilu akan berakibat sistematis pada berkurangnya partisipasi perempuan dalam pemilu, ketidakpercayaan masyarakat terhadap kandidat perempuan, hingga sulitnya politisi perempuan untuk mengembangkan aktivitas politik mereka,”ungkapnya seraya menambahkan, serangkaian dampak tersebut tentu akan berkonsekuensi pada berkurangnya kualitas demokrasi dan penyelenggaraan pemilu. 

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan RI Olivia Latuconsina/Salampessy mengatakan, Komnas Perempuan juga menerima pengaduan terkait adanya kekerasan yang ditujukan kepada perempuan di tahapan kampanye karena dituduh tidak mendukung salah satu kandidat. Termasuk potensi penggunaan politik identitas berbasis suku, agama, identitas gender dan lain sebagainya.

Berdasarkan pertimbangkan diatas, Komnas Perempuan menyatakan dan merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Komnas Perempuan memberikan apresiasi terhadap Komisi Pemilihan Umum yang telah menghadirkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, yang memuat aturan materi kampanye harus menggunakan bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah dengan kalimat yang sopan, santun, patut, dan pantas disampaikan, diucapkan, dan/atau ditampilkan kepada umum. Komnas Perempuan memandang penting pengimplementasiaan PKPU No. 13 Tahun 2024 oleh seluruh peserta Pilkada untuk tidak memberikan pernyataan atau ujaran yang seksis dan diskriminatif terhadap perempuan sebagaimana diamanatkan perundangan-undangan yang ada dan norma-norma HAM internasional;
  2. Badan Pengawas Pemilu perlu mengenali dan melakukan pengawasan intensif pada beragam bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan Pilkada 2024;
  3. Partai Politik perlu memberikan pendidikan dan pemahaman terhadap kandidat Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang diusung untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, menghormati dan memenuhi hak-hak perempuan;
  4. Mendorong masyarakat menggunakan platform JITU (Jeli, Inisiatif, Toleran dan Ukur) sebagai acuan dalam menentukan pilihan pada Pilkada 2024;
  5. Media massa dan masyarakat untuk terus memantau penyelenggaraan Pilkada dan melaporkan pelanggaran dan kekerasan terhadap perempuan selama proses Pilkada;
  6. Komnas Perempuan terus melakukan pemantauan dan menerima pengaduan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam pelaksanaan Pilkada 2024.

Menurut Olivia Latuconsina, rekomendasi dari Komnas Perempuan RI ini akan disampaikan kepada penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu juga partai politik yang mengusung para calon.

Latuconsina merincikan, Komnas Perempuan memantau dan menerima sejumlah informasi terkait dengan pelaksanaan kampanye yang masih menormalisasi diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berupa pernyataan seksisme, subordinasi perempuan dan kekerasan seksual.

Diskriminasi atau seksisme digunakan sebagai alat kampanye untuk meraup perhatian. Di antaranya, pernyataan Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1 Suswono, agar janda kaya menikahi pengangguran, Calon Gubernur Independen, Dharma mengatakan guru-guru perempuan sengaja ditempatkan di Taman Kanak-kanak  untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari komunitas LGBT sejak dini.  

Calon Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah juga melontarkan bahwa perempuan jangan diberi beban berat, apalagi menjadi gubernur. 

Juga terdapat baliho bernada seksis dari pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Sleman, Harda Kiswaya – Danang Maharsa yang bertuliskan ‘Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang‘ yang berarti ‘Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus pria’ dan pernyataan “tusuk di tengah yang sedap” sebagai pernyataan penutup yang disampaikan kandidat Murad-Michael di Maluku pada debat terbuka. (L02)