LASKAR – Salah satu aktivis perempuan Maluku, Lusi Peilow mengecam penyanyi muda asal Maluku Emola yang dinilai tidak beretika, dan bermoral dalam berkarya seni.

LaskarMaluku

Pasalnya, lagu barunya yang dirilis pada channel youtube berjudul “ale itu lonte” memberikan pukulan hebat bagi kaum perempuan khususnya di Maluku. Apalagi perempuan di seluruh dunia baru saja memperingati International Women’s Day (IWD) 2021.

“Judul lagi ini pukulan hebat bagi perempuan Maluku, karena lagu ini berisi lirik yang dinilai seronok dan melecehkan martabat perempuan,”tegas Peilow dalam rilis yang terima, Senin (15/03/2021) siang.

LaskarMaluku

Menurut Peilow lagu tersebut menceritakan tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis cantik, sopan dan romantic, dan berharap berjodoh dengannya, hingga telah memperkenalkannya pada orang tua.

LaskarMaluku

Namun lelaki itu merasa dibohongi karena pada suatu malam tanpa sengaja mendapatinya sedang berada di jalan, dan mengatakan, ternyata kamu itu “lonte”.

Dengan nada kesal Lusi Peilouw mengatakan, “Judul maupun lirik lagu itu sangat mendiskriminasi perempuan, bahkan cenderung melanggengkan stigmatisasi bahwa perempuan yang masih ada di jalan pada malam hari itu bukan perempuan baik-baik. Padahal selama ini kita semua berusaha keras menghilangkan stigma itu dari masyarakat kita. Apalagi, kita tahu bahwa stigma yang demikian telah menjadi salah, ” tegas Lusi

LaskarMaluku

Menurutnya, lagu seperti ini adalah satu pemicu munculnya kasus-kasus pemerkosaan, kemudian menciptakan perilaku victim blaming yang masih sangat sulit dihilangkan. Korban selalu disalahkan, mengapa sudah malam masih ada di jalan sehingga akhirnya diperkosa.

“Tidak hanya itu. Dampak dari lagu itu bisa berakibat reviktimisasi, luka hati korban terkorek lagi dan itu mengganggu pemulihan korban bahkan bisa terjadi pembunuhan karakter,”tegasnya seraya menambahkan, dirinya sangat kuatir dengan korban perkosaan yang sudah mulai survive dan membangun hidup dengan susah payah mengumpulkan puing-puing harapan yang sempat hancur.

Ketika sudah mulai settle dan hidup tenang, tiba-tiba muncul lagu itu. Dia pun menuai cibiran bahkan bisik-bisik tetangga “itu…bajalang sampe tengah malam, makanya diperkosa. Atau orang lain mungkin mencibir suaminya, kaweng deng orang bakas dosa, dan seterusnya. Bisa saja psikis korban itu kembali hancur atau bahkan terbunuh,” papar Lusi.

Beberapa saat setelah protes bermunculan di facebook, Emola mengubah settingan tayangan videonya menjadi private, sehingga tidak bisa lagi diakses.

Namun, Emola kemudian membuat live streaming video klarifikasi, yang intinya mengatakan bahwa tidak ada yang salah dari lagunya yang merupakan karya seni atas dasar kebebasan berekspresi.

Tentang hal ini, Lusi menyayangkan dangkalnya nurani seorang seniman bernama Emola.

“Dulu kita punya banyak lagu Ambon yang jelas-jelas menyoal peran social laki-laki perempuan, semacam lagu Om Maku dan Usi Engge, lagu Oya. Karya-karya itu menghibur tapi tetap sopan. Bukan seperti “Ale itu Lonte”. Dia (Emola) malah membandingkan karyanya itu dengan lagu musisi Iwan Fals berjudul Lonteku. Bagaimana mungkin dibandingkan seperti itu? Coba dalami lirik lagu Iwan Fals. Jauh berbeda” papar Lusi Peilow.

Menurut Lusi, kalimat “Atas tatutup bawah tabuka” sangat tendensius dan menyasar ke perempuan tertentu. Perempuan berjilbab misalnya? Apakah ini bukan dikriminatif,?” tanya Lusi.

Senada dengan Peilouw, Katrin Wokanubun juga menilai penyanyi Emola secara jelas melecehkan perempuan melalui karyanya.

“Saya tidak mengerti koq pencipta lagu itu memilih judul yang demikian vulgar dan merangkai kata-kata yang sexi dan melecehkan perempuan dalam lirik yang cukup panjang. Apa yang salah dengan perempuan yang masih ada di jalanan pada malam hari atau bahkan tengah malam. Apapun pekerjaannya itu hak dia, tak ada yang boleh memberi cap apapun,” kata Katrin Wokanubun, coordinator Suara Millennial Maluku (SMM) yang selama 1 tahun terakhir gencar mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Protes senada datang pula dari sesame aktivis SMM, Fonda Rumsory, bahwa lirik lagu itu menyudutkan kaum perempuan dan tidak mengandung nilai edukasi sama sekali.

SMM yang merupakan bagian dari Jaringan Advokasi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan tanggap meneruskan informasi tentang lagu itu ke rekan-rekan jaringan nasional, selain juga  mempostingnya pada media sosial Facebook dengan tujuan mendapatkan dukungan publik.

Sementara Othe Patty, aktivis perempuan dari Yayasan Peduli Inayana Maluku ikut menolak kehadiran lagu yang dianggapnya dapat merusak moral anak muda warga Kota Ambon dan bahkan mencoreng citra Ambon sebagai Kota Kreatif Berbasis Musik menurut UNESCO Kota Musik Dunia.

“Kami sedang berjuang agar Kota Ambon ini ramah bagi tumbuh kembang anak juga ramah bagi perlindungan perempuan. Susah payah menjaga anak-anak kita dari tayangan-tayangan tik-tok dan lainnya yang tidak mendidik, susah payah berjuang bagi pemulihan korban. Ini malah muncul lagu Ambon yang seronok seperti itu. Di sisi lain, kami juga bangga Ambon menjadi Kota Musik Dunia. Karena itu kami minta Pemerintah Kota Ambon untuk menertibkan beredarnya lagu itu, agar tidak mencoreng citra Kota Ambon. Apalagi tayangan video Emola itu diberi tanda agar #lagu ambon,” kata  Direktur YPIM ini penuh harap bagi Pemerintah Kota Ambon. (L02)