Share
LASKAR – Blue print atau kerangka kerja terperinci, sebagai landasan pembuatan kebijakan yang meliputi penetapan tujuan dan sasaran, penyusunan strategi, pelaksanaan program dan fokus kegiatan serta langkah implementasi pada setiap unit di lingkungan kerja menjadi syarat utama kemajuan suatu daerah.
Dalam konteks ini, bisa dipahami jika di Kecamatan Saparua, laju pambangunan bergerak agak lambat. Sebab, intervensi kebijakan daerah yang masih berpusat di kabupaten, belum memiliki blue print yang tepat dan jitu.
Demikian penegasan penegasan  anggota MPR RI Mercy Christy Barends, ST dalam seminar empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan tema, “Pengembangan Saparua Berbasis Potensi Lokal Menuju Kemandirian Ekonomi dan Kepribadian yang Berkebudayaan Sebagai Implementasi Pancasila”.
Kegiatan dimaksud berlangsung di aula Kantor Klasis Pulau Lease Gereja Protestan Maluku di Saparua, Senin (25/9/2017). “Jadi blue print memang sangat penting. Itu berlangsung dari bawah dan semuanya terukur, tidak asal-asalan. Berikut, selain blue print yang belum tepat jitu, rentang kendali Kecamatan Saparua dengan Kota Ambon cukup dekat sehingga orang lebih memilih mobilisasi barang dan jasa ke Kota Ambon, sehingga yang bertahan di Saparua hanya papalele dalam skala kecil,” terangnya. 
Oleh sebab itu, kedepan harus ada terobosan atau lompatan-lompatan dalam merekonstruksi ulang cara pandang terhadap Lease dan cara pandang terhadap Saparua. “Kita harus merekontruksi ulang cara pandang terhadap Lease, cara pandang terhadap Saparua. Kita harus membangun gagasan bersama. Saparua kedepan itu seperti apa, tidak bisa kerja-kerja sporadis, atau kerja-kerja ego sektoral. Kita berbagi tugas, DPR RI bikin apa, pemerintah provinsi bikin apa, stakeholder bikin apa, tokoh agama dan tokoh pemuda bikin apa, sehingga posisi Lease menjadi posisi yang sangat diperhitungkan,” tegasnya.
Dihadapan para raja maupun perwakilan di 17 negeri, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, dan Muspika Saparua, anggota DPR RI Komisi VII ini mengatakan, Saparua harus dijadikan daerah otonom baru.
Proyeksi  seperti ini, tentu perlu roadmap atau rencana kerja rinci, menggambarkan apa yang harus dilakukan guna mencapai tujuan, dalam arti roadmap pengembangan berbasis pariwisata, sehingga perlu disiapkan kawasan strategis pengembangan pariwisata desa.
“Saparua harus bergerak dan mengkampanyekan The Spice Island of Maluku, Pulau rempah-rempah Maluku. Kenapa di Saparua tidak dilakukan gerakan tanam cengkeh dan pala di sepanjang jalan atau di setiap rumah, sehingga icon Saparua sebagai pusat rempah-rempah betul-betul terimplementasi dan ini menjadi daya tarik tersendiri,” usul Barends.
Mantan anggota DPRD Provinsi Maluku ini menegaskan, kebijakan Saparua tidak terlepas dari kebijakan kabupaten, kebiijakan kabupaten tidak terlepas dari kebijakan provinsi, dan kebijakan provinsi tidak terlepas dari kebijakan nasional. 
“Dengan potensi alam, potensi sejarah maupun kuliner, Saparua bisa dikembangkan jika sudah ada perencanaan matang yang tertuang dalam blue print. “Jika sudah ada blue print kita akan dorong bersama,” pungkasnya. (LS)