Share

LASKAR – Persoalan hak ulayat rakyat menjadi perdebatan sengit bahkan nyaris ricuh dalam pertemuan antara ahli waris keluarga (alm) Drs.B Maitimu, MS  di Negeri Passo, Kecamatan Baguala Kota bersama Saniri Negeri Passo tanpa Penjabat Pemerintah Negeri Passo, Kamis (21/7/2022) lalu.

Masalah utama adalah saniri negeri tidak setuju dengan surat pemberian tanah kepada Keluarga Drs. B. Maitimu, MS padahal tanah itu telah diberikan selama empat puluh delapan (48) tahun lalu.

Dalam surat pemberian tanah itu, ditandatangani oleh Pjs Pemerintah Negeri Passo saat itu, A. Sarimanella pada tanggal 01 Maret 1974 dan disahkan oleh Kepala Wilayah Pulau Ambon, Drs. JFP Nanlohy, disaksikan oleh C. Tuwatanassy (alm), C. Tomaluweng (masih hidup), E.E Hursepuny (alm).

“Isi surat itu menyatakan bahwa Pemerintah Negeri Passo telah memberikan sebidang tanah pertanian seluas kurang lebih dua hektar hak adat (tanah negeri) yang terletak dalam petuanan Negeri Passo kepada Saudara B. Maitimu berumur 39 tahun saat itu, beralamat Passo untuk diusahakan/ditanami dengan tanaman umur panjang berbatasan dengan sebelah timur tanah negeri, sebelah barat dengan tanah Pelapelapon, sebelah selatan dengan R.K Simauw dan tanah Jemaat Passo, utara dengan tanah negeri,” ungkap salah satu ahli waris, Laura Maitimu.

Pemberian tanah itu didasarkan atas jasa yang telah diberikan kepada negeri selama dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga.

“Ayah kami itu adalah orang nomor satu di Passo yang memiliki gelar sarjana, orang berpendidikan dan terpelajar bahkan dalam kiprahnya di negeri memberikan kontribusi dengan cara menyetor retribusi pelabuhan ke kas negeri. Belum lagi sumbangan pemikiran konstruktif yang dibangun guna kemajuan Negeri Passo. Bahkan beliau adalah salah satu pencetus adanya Soa Bebas. Selain itu menjadi orang kepercayaan Raja Tua Passo, Pieter Simauw. Semua orang tatua di negeri tahu hal ini. Jadi tidak ada salah negeri memberikan penghargaan atas sumbangsih serta kontribusi ayah kami,” bebernya.

Ada Upaya Merampasnya

Tanah yang telah diberikan oleh Pemerintah Negeri Passo selama hampir setengah abad itu lalu dikebiri oleh oknum-oknum Saniri Negeri Passo yang haus akan kepentingan dan ingin merampasnya dari ahli waris.

“Kami sangat heran kenapa beberapa tahun belakangan ini ingin merampasnya?. Ada peraturan yang mengaturnya. Pernyataan Praktisi Hukum, Bungaran Sitanggang SH, MH (mediatransparancy) : dalam peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 pasal 24 menyatakan seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu dua puluh (20) tahun secara terus menerus dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak. Sementara penguasaan fisik atas tanah bersangkutan tiga puluh (30) tahun atau lebih terus menerus tanpa terputus maka adalah sah sebagai pemilik yang tidak perlu lagi dipertanyakan alas haknya daripadanya.

Hal itu terdapat dalam pasal 163 ayat 2 KUHP perdata jo pasal 1967 KUHPerdata. Sesuai ketentuan tersebut diatas maka tanah yang dikuasi tersebut adalah menjadi hak milik si penguasa fisik yang tidak dapat diganggu gugat,” demikian Maitimu mengutip Sitanggang.

Sementara Corneles Pattiwael, salah satu saniri pun mulai angkat bicara berusaha mengklarifikasi.

“Persoalan tanah ini sudah lama kami diskusikan dengan saniri yang lama. Saat itu keputusan kami memberikan tanah seluas 20×30 meter sebagai ganti kepada salah satu ahli waris, alm. Dinno Maitimu dan hanya untuk anak laki-laki tidak untuk anak perempuan. Namun yang bersangkutan menolak sehingga kami tetap pada keputusan bahwa tanah itu harus dikembalikan ke negeri. Selain itu, diketahui bahwa pemilik lahan Bapak Drs. B. Maitimu, MS telah melakukan pertemuan dengan Wali Kota saat itu, Richard Louhepessy, SH,” ungkapnya.

Pernyatan tersebut ditampik salah satu ahli waris lainnya, Petra Maitimu.

“Walaupun masalah ini telah anda sekalian bicarakan dengan saniri lama atau baru, itu tidak berfaedah. Sebab, surat pemberian kepada ayah kami itu ditandatangani oleh Pemerintah Negeri disertai dengan saksi yang salah satunya masih hidup, C. Tomaluweng. Jika merasa tidak puas silahkan layangkan ke pengadilan,”tegasnya.

Sementara itu, Tomaluweng yang kerap disapa Opa To, mengakui bahwa tanah tersebut sah milik keluarga Drs. B. Maitimu, MS.

“Saat itu kami semua menandatangani surat pemberian tersebut, saya yang terakhir menandatanganinya. Dan memang benar diberikan kepada Bapa Tolo (demikian Drs. B Maitimu, MS disapa-red) mengingat jasa-jasanya kepada negeri. Bagi saya itu sah pemberian yang berkekuatan hukum,” demikian Tomaluweng memberikan kesaksian dalam pertemuan tersebut.

Hal yang tidak masuk akal terjadi sementara Opa To berbicara, disela dengan pertanyaan bagaimana perasaan waktu menandatangani surat pemberian dimaksud.

“Bagi kami, ini pertanyaan bodoh tidak bernalar namun bergaya seperti hakim yang bertanya kepada saksi, pemandangannya sangat melucukan. Orang se-renta itu ditekan dengan perasaan. Dalam kondisi apapun jika seseorang telah membubuhi tandatangan maka itu akan berlaku selamanya karena jejaknya tak bisa terhapus oleh apapun. Dari sini kami bisa menilai bahwa tingkat pemahaman, berpikir serta cara menyelesaikan masalah dipengaruhi seberapa banyak otak menyimpan dan memproduksi ‘kepentingan’,” timpalnya merasa lucu.

Kemudian yang menjadi ganjil kenapa tanah seluas itu harus ditukar dengan 20×30 meter yang diperuntukkan hanya bagi anak laki-laki?

“Mereka tidak lagi mengindahkan ayah saya yang masih hidup saat itu dan kakak laki-laki satunya walaupun berada di Jakarta. Ini tanah telah diusahakan oleh orang tua dan saudara-saudara saya. Sepuluh jari kotor mereka ada di tanah itu. Lalu sekarang dengan seenaknya mau dirampas oleh saniri negeri? Atas dasar apa mereka mengambilnya? Lalu Apa hak mereka untuk membagi tanah untuk kakak kami?, orang tua bukan, saudara bukan, tapi sebaliknya menjadikan diri paling berkuasa dan berbuat seenaknya. Bahkan sampai meninggalpun kakak saya tidak pernah menyetujuinya. Ini namanya kegalojoan yang hakiki,” paparnya.

Selain itu ketika ditanyakan balik kepada Corneles Pattiwael, kapan ayah ahli waris melakukan pertemuan dengan mantan Wali Kota Richard Louhenapessy.

“Pertanyaan dijawab dengan kata lupa. Sangat lucu. Tadinya saya pikir dia sarjana hukum ternyata dia mengaku bukan sarjana hukum. Habis lagaknya seperti orang yang tahu hukum,” ucap Maitimu..

Tidak Layak Jadi Saniri Negeri

Ahli waris juga menilai bahwa Ketua dan Sekertaris Saniri Negeri, Felix Tuhilatu dan Jery Serhalawan, yang memimpin pertemuan tidak mampu menjadi representase soa masing-masing.

“Melihat mereka, saya kasihan dan miris, hanya karena ada kepentingan lalu mengkebirikan hak-hak ulayat rakyat, tidak mampu menjadi representase rakyat. Akibatnya masyarakat menilai dan tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap saniri negeri khususnya saat mereka menetapkan mata rumah parenta. Mereka ini tidak mampu mengejawantahkan persoalan adat yang sesungguhnya. Mana bisa negeri adat yang dari awal hanya satu mata rumah parentah bisa berubah secara tiba-tiba menjadi dua. Konsep nalar berpikir yang dangkal dan ternyata tidak kompatibel, tidak pantas menjadi Saniri Negeri.  Akibatnya hingga saat ini tidak ada Raja definitif di negeri Passo,” sesalnya.

Tanah Ulayat = Magis Religius

Ditambahkan, berdasarkan artinya Hak Ulayat adalah hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.

“Sedangkan menurut sifatnya, Hak ulayat bersifat Magis Religius artinya hak ulayat merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur kepada masyarakat adat sebagai unsur terpenting bagi kehidupan mereka.

Terkait ini memang nyata dan kami menyaksikan sendiri. Salah satu oknum saniri negeri beberapa waktu lalu di suatu malam pernah datang menemui saya dan ibu mengatakan bahwa tanah itu adalah milik kami dan dia akan berusaha untuk mengembalikan kepada kami.

Namun, alangkah naifnya setelah beberapa waktu berselang, yang bersangkutan melemparkan perkataan kepada sejumlah orang yang sedang bermain kartu di areal tanah tersebut bahwa lahan ini akan digusur untuk dijadikan pemakaman.

Naasnya, beberapa waktu berselang yang bersangkutanpun meninggal dunia. “Jadi, sesuai dengan sifatnya hak ulayat itu bersifat magis, jadi berhati-hatilah,” Jelas Maitimu.

Sementara ibu ahli waris, Ibu Lotje (85) dengan hati terenyuh namun terlihat kuat mengungkapkan pernyataannya.

“Sebagai ahli waris kami menyerahkan dalam pergumulan, sebab tidak ada lagi keadilan di negeri ini. Keadilan itu akan datang dari Allah Bapa di surga. Air mata yang tertumpah di tanah itu akan menjadi peringatan. Karena kami percaya firman Allah yang menjadi pegangan, selama kami tidak merampas, mencuri, mengkebiri hak orang itu tandanya kami masih diberi kasih karunia Tuhan dan akan melihat hari-hari kedepan dengan menonton apa yang akan dikerjakan Allah. (L02)