Martin Langoday |
Judul yang saya persingkat dari substansi warning Ketua DPP PDI-P, Komarudin Watubun. Ini, sebetulnya soal banyak kader PDI-P yang belum paham atau tidak menguasai aturan. Tentu berkaitan dengan statuta partai, berikut peraturan partai yang sangat teknis detail.
Komarudin Watubun menegaskan hal ini dalam sebuah forum istimewa dihadapan seluruh kader saat dia hadir di Ambon dalam kegiatan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) DPD PDI-P Maluku di Baileo Siwalima Karang Panjang, Sabtu (12/3) lalu.
Saat itu, saya, juga rekan Ongkie Anakoda, dan Jonathan Madiuw berkesempatan bertemu Bang Komar, secara khusus di Resto Panorama Karpan.
Momentum ini menjadi pertama kalinya saya bertatapan langsung dan berdiskusi dengan sosok Soekarnois tersebut.
Tapi itu cerita lain. Menjadi penting disini manakala Bang Komar mengingatkan para kader agar sungguh-sungguh memahami statuta dan peraturan partai. Sebab, jika tidak maka penguasaan yang lemah akan memperlemah konsolidasi di level internal partai maupun eksternal.
Kenyataan tersebut, sepertinya disadari oleh tokoh yang sukses menjadikan seorang kader level Pengurus Anak Cabang (PAC) di Papua, menjadi seorang Bupati, sehingga Bang Komar berani memastikan dan berharap kenyataan ini, harus berubah. Itu artinya, para kader dituntut berbenah diri.
“Saya harap teman-teman PDI-P di Maluku tidak seperti itu. Jika kita menguji secara teoritik soal pemahaman ideologi sangat baik, maka secara teori 25% dan praktek 75%,” tegasnya.
Sepintas terlihat Bang Komar berusaha membangkitkan semangat para kader untuk tetap berproses dalam sebuah arah jitu mendalami jiwa atma partai.
Disinilah makna internalisasi nilai-nilai kejuangan dan nilai-nilai idiologi partai teramat penting masuk dalam hati sanubari para kader. Jika kebanyakan belum memahami, dengan sendirinya mulailah berbenah diri.
Apa yang disampaikan Bang Komar sejatinya adalah warning positif daripada menyembunyikan dan membiarkan para kader berjalan tanpa roh partai yang kuat. Sama persis dengan jiwanya yang selalu ingin ada keseimbangan iman, otak dan mental menghadapi persaingan.
Apa yang disampaikan Bang Komar sejatinya adalah warning positif daripada menyembunyikan dan membiarkan para kader berjalan tanpa roh partai yang kuat. Sama persis dengan jiwanya yang selalu ingin ada keseimbangan iman, otak dan mental menghadapi persaingan.
Singkatnya, lebih baik disampaikan secara terbuka demi kemajuan partai ketimbang malu atau menggunakan perasaan dan memilih diam tertutup dihadapan kader partai.
Dengan begitu, warning Bang Komar ini menjadi tekad dan optimismenya demi kemajuan partai. Partai yang besar dan maju adalah jawaban atas pemahaman yang paripurna terhadap tujuan berorganisasi, tujuan berpartai. Sama dan sebangun dengan tujuan negara.
“Tujuan negara, melindungi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan partai juga demikian. Untuk apa ideologi, ya guna menuntun kita mencapai tujuan bangsa,” tegasnya.
Untuk memahami penegasan Bang Komar ini, saya pun harus bongkar-bangkir mencari sebuah buku bacaan yang sudah lama tidak tersentuh.
Saya ingin memberi aksentuasi berbeda tetapi mudah-mudahan sama walaupun mungkin saja tidak persis dengan keinginan Bang Komar.
Ya, semata-mata hanya untuk sebuah keseimbangan dari yang saya pernah nguping, saya dengar, kalau tokoh yang satu ini memang sangat Soekarnois.
Karena itu, diperlukan keseimbangan. Saya memilih pikiran tokoh pendamping Soekarno yang begitu diidolakan oleh Bang Komar, yaitu Bung Hatta.
Bahwa ketika para pemimpin masyarakat tengah menyiapkan sebuah konstitusi untuk Republik Indonesia yang sedang akan lahir. Bung Hatta meskipun dengan suara yang tidak tegas benar, tampaknya sudah melihat : “Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara,” katanya, sebagaimana yang direkam Muhammad Yamin dalam naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid I.
Dalam pidatonya, Bung Hatta memakai istilah “negara pengurus”. Istilah “pengurus” lebih enak ketimbang istilah “pemerintah”.
Terutama jika kita ingat akar katanya, dan terutama bagi suatu masa yang telah menyaksikan banyak pengalaman pahit dalam soal kekuasaan, di akhir abad ke 20 ini. Sebab, sesungguhnya kita “diurus” bukan “diperintah”.
Mari terbuka dan saling berdampingan dalam konsolidasi internal partai dan eksternal bagi sebuah keseimbangan.
Kekuatan konsolidasi dalam dimensi persaudaraan. Bukan sekedar masa kini, apalagi mempertentangkan masa lalu. Sebab, diatas segalanya adalah masa yang akan datang. Semangat, semangat, dan tarussssss semangat berbenah. Selamat ya, dan semoga membathin !! (*)