Share
Oleh :Martin Langoday
“Melalui jajak pendapat, hanya dengan menggunakan seribu atau dua ribu responden, kita dapat mengetahui persepsi, aspirasi, harapan, dan ketakutan dua ratus juta penduduk suatu negara”. (Denny JA, Direktur Eksekutif LSI)
Dua nama top peneliti bertaruh gengsi dan reputasi di Pilkada Kota Ambon, 15 Februari 2017. Mereka adalah Adjie Alfaraby dan Barkah Pattimahu.Keduanya, sama-sama mengabdi dan berguru pada Denny JA, salah satu tokoh Pollster terkemuka di tanah air, yang membidani Lingkaran Survey Indonesia (LSI).
Mudah-mudahan, dugaan saya tidak salah. Adjie Alfaraby, dibalik pendampingan politik pasangan Richard Louhenapessy – Syarif Hadler (PAPARISSA BARU) dan Barkah Pattimahu berada di pihak Paulus Kastanya – Muhammad Armyn Latuconsina (PANTAS).
Pendaratan sikap dan kerja-kerja ilmiah Adjie dan Barkah, sedang ditunggu rakyat Kota Ambon.Sebelum pemilih menjatuhkan pilihannya kepada PAPARISSA BARU atau PANTAS, gambaran mengenai keunggulan berdasarkan persepsi, aspirasi, harapan, dan ketakutan yang bergelayut, sudah pasti dengan cepat diketahui melalui fakta perolehan dukungan dari Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Itu artinya, petunjuk menggunakan pendekatan ilmiah seperti jajak pendapat, survey yang dikerjakan Adjie dan Barkah akan terjawab pada hasil hitung cepat (quick count) yang menjadi ciri utama Pollster menyampaikan hasil pilihan rakyat, kepada para pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah agar diketahui khalayak, hanya dalam hitungan jam pasca pemungutan suara.
Setidaknya, sebelum hasil penghitungan manual diumumkan oleh pihak penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Ambon, gambaran atas kemenangan dan kekalahan pasangan dalam kontestasi Pilkada, sudah bisa diketahui.
Ingat, ini pengumuman hasil berdasarkan fakta bukan opini public, meski metodologi yang digunakan tetap metodologi cuplikan atau sampel, yaitu tidak keseluruhan suara dari seluruh TPS diambil.
Pada titik ini, sejenak kita perlu mengingat real count yang diam-diam menjadi andalan calon Kepala Daerah melalui tim relawannya serta partai politik pengusung atau pendukung. Dalam sejarahnya, penerapan real count oleh penyelenggara di Pemilu tahun 2004 dan Pemilu tahun 2009 ternyata menuai banyak kritik karena bermasalah, jika tidak ingin dikatakan gagal, walau berbasis teknologi informasi (IT). 
Real count, rasanya masih menjadi rujukan alternatif guna mengetahui perkembangan pergeseran perolehan suara dari waktu ke waktu yang bisa dideteksi melalui data C1 di TPS.Karena berbasis data riil di TPS, sudah seharusnya real count tidak boleh berbeda dengan hasil penghitungan manual.
Bila berbeda, maka salah satunya pasti keliru atau curang. Karena itu, real count sering dipakai tim relawan dan kontestan sebagai instrument pengawasan. Paling tidak, data real count bisa saling melengkapi dengan quick count untuk mengawal sekaligus menjaga integritas hasil Pilkada Kota Ambon.
Pada saat quick count dilakukan, klaim pengukuran opini public hanya butuh credo “amin” lantaran apa yang disampaikan adalah fakta, bukan lagi soal persepsi, aspirasi, harapan dan ketakutan.
Seluruh yang diukur berupa opini public yang dirilis sebelumnya, baik secara terbuka melalui media massa, ataupun tertutup hanya kepada pasangan calon Kepala Daerah, otomatis berubah wujud dari sebelumnya opini public, menuju fakta suara di TPS.
Gambaran hitung cepat ini, memang pernah merisaukan, gara-gara hasil tidak sepenuhnya memuaskan kubu tertentu.Kita pasti ingat Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi dan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla saat Pilpres 5 Juli 2004.
Quick count dengan presisi tinggi yang ditunjukan Lembaga Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S) dan National Democratic Institute (NDI), dengan hitung manual menentukan pasangan yang lolos ke putaran kedua, dituding sebagai mainan pihak asing.
Padahal, selisih penghitungan manual dengan quick count hanya 0,49 persen. SBY – JK meraih 33,2 persen. Mega – Hasyim meraih 26,0 persen dan di posisi ketiga adalah Wiranto – Salahudin Wahid meraih 23,3 persen. Keduanya bersama pasangan lainnya yaitu, Amien Rais – Siswono Yudhohusodo dan Hamzah Has – Agum Gumelar tidak lolos ke tahap selanjutnya.
Melenggang ke putaran kedua, kubu Mega – Hasyim menggandeng Pollster, Institute for Social Emporwement and Democracy (Insed).
Disinilah kerunyaman mulai datang menghampir.Beberapa saat setelah pemungutan suara Pilpres putaran kedua, 20 September 2004, kubu Mega – Hasyim merilis hasil quick count.
Perolehan Mega – Hasyim 50,07 persen sedangkan SBY – JK meraih 49,93 persen. Sementara LP3S dan NDI menempatkan kubu SBY – JK sebagai pemenang, dengan perolehan 60,2 persen dan Mega – Hasyim meraih 39,8 persen. Saling klaim dan polemik kemudian merebak.Tetapi semua itu akhirnya berhenti pada 4 Oktober 2004, ketika KPU mengumumkan hasil penghitungan manual.
SBY – JK meraih 69.266.350 suara (60,2 persen) dan Mega – Hasyim meraih 44.990.704 suara (39,38 persen). Lagi-lagi, quick count LP3S dan NDI berselisih tipis dengan hitung manual milik KPU.
Quick count yang sama terjadi pada Pilpres tahun 2009 dan keterlibatan Pollster semakin banyak termasuk LSI tempat Adjie Alfaraby dan Barkah Pattimahu mengabdi dan berguru.
Secara umum, sebagian besar Pollster menempatkan SBY – Boediono sebagai pemenang dan Mega – Prabowo di posisi kedua, sedangkan JK – Wiranto berada di posisi ketiga. Penghitungan manual KPU, SBY – Boediono meraih 60,80 persen. Mega – Prabowo 26,79 persen dan JK – Wiranto 12,41 persen.      
Ketepatan, akurasi, berikut permasalahan sepak terjang, plus minus yang melilit kerja Pollster dalam momentum politik apakah itu kegiatan jajak pendapat, survey, quick count, jelas tertelusuri dalam buku milik mantan wartawan Ambon Ekspres, Harun Husein,  “Pemilu Indonesia; Fakta, Angka, Analisis, dan Studi Banding” yang diterbitkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). 
Tetapi, kredibilitas sejumlah Pollster lagi-lagi menuai kritik keras saat Pilpres tahun 2014, ketika terjadi saling silang pendapat mengenai hasil quick count yang diberitakan secara massif oleh TvOne dengan menempatkan Prabowo Subiyanto – Hatta Rajasa, sebagai pemenang mengalahkan Jokowi – JK.
Dua kiblat persaingan televisi nasional saat itu terbaca secara jelas.TvOne di kubu Prabowo – Hatta dan Metro TV berkecenderungan ke kubu Jokowi – JK.
Kapitalisasi Pollster yang diberitakan secara massif melalui media elektronik terutama TvOne akhirnya gigit jari tak sanggup lagi melawan hasil hitung manual dari KPU yang menempatkan Jokowi – JK sebagai pemenang Pilpres tahun 2014.Sebelumnya, Pollster juga dibuat terperangah saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2012.
Tokoh utamanya masih tetap Jokowi, Presiden kita saat ini.Ketika itu, Jokowi maju mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta bersama wakilnya Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.Nyaris seluruh Pollster terkemuka, termasuk LSI, tempat Adjie dan Barkah masih bersama-sama, harus takluk.
Prediksi ilmiah mereka dan sejumlah Pollster terkemuka lainnya ternyata jauh dari kenyataan.Foke – Nara yang diprediksi unggul telak dan memenangkan perebutan kursi orang nomor satu dan nomor dua DKI Jakarta.
Bahkan hanya dalam satu putaran, malah mendapat tamparan keras. Jokowi – Ahok yang sama sekali tidak diunggulkan, melenggang mulus menduduki kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Itu cerita masa lalu tentang kebersamaan Adjie dan Barkah ketika masih di LSI.Saat ini, Adjie tetap di LSI.Barkah memilih berdiri sendiri dengan Sinergi Data Indonesia (SDI).
Di Pilkada Kota Ambon, keduanya tentu akan mempertaruhkan gengsi dan reputasi. Bukan sebuah kebetulan, jika Adjie sudah mengambil sikap duluan merilis secara resmi hasil survey.Dalam dua kali rilis resmi LSI, PAPARISSA BARU selalu unggul dari PANTAS.Sementara Barkah dengan SDI-nya memilih bertahan, tak mau keluar.
Samar-samar, hasil survey Barkah hanya berupa selentingan, bahwa trend PANTAS bergerak ke arah positif dan samar-samar pula sejak rilis yang dikeluarkan oleh Adjie dengan keunggulan signifikan PAPARISSA BARU atas PANTAS juga terus bergerak ke arah positif.
Dalam bacaan sederhana, jika masing-masing kubu mengklaim trend bergerak ke arah positif, maka posisi PAPARISSA BARU yang unggul, otomatis masih tetap di depan, dan PANTAS dalam posisi mengejar keunggulan dimaksud.
Maaf, saya tidak ingin menyebut angka keunggulan yang sudah dirilis resmi oleh Adjie, karena hasil tersebut sempat ditanggapi sangat reaksioner oleh kubu PANTAS melalui Almudatzir Zain Sangadji.
Public yang rasional memberikan respek dan apresiasi atas kinerja dan rilis yang dikeluarkan Adjie. Opini public ini setidaknya selaras dengan prestasi dan keunggulan-keunggulan komparatif dari sosok Richard Louhenapessy dibandingkan dengan yang lain.
Saya menyebut rekam jejak, mengikuti himbauan sosialisasi resmi KPUD Kota Ambon, bahwa mendapatkan figur pemimpin di kota bertajuk Manise, membutuhkan penelusuran yang matang, menelisik secara detail rekam jejak calon pemimpin yang ingin dipilih.
Hanya saja, hasil survey yang dilakukan dan telah dirilis adalah kegiatan merekam opini public. Apakah keunggulan-keunggulan ini akan terus bertahan ataukah mengalami perubahan drastis, kita lihat nanti pada hasil pemungutan suara 15 Februari 2017.
Gambaran kemenangan opini menjadi fakta, nantinya jelas terlihat pada hasil quick count. Dan, kita berharap, tidak akan berbeda jauh dengan penghitungan manual oleh KPUD Kota Ambon. Kita akan melihat sebuah proses baru dari hasil rekam opini public berubah menjadi hasil rekam fakta perolehan suara di TPS.
Quick count otomatis sangat cepat diketahui rakyat Kota Ambon.Itulah akhir dari segala kerja profesional dari Adjie dan Barkah.Sadar atau tidak, kedua orang ini pasti punya kiat-kiat khusus dalam masa-masa pendampingan PAPARISSA BARU dan PANTAS.
Soal kalah pun menang merupakan konsekuensi, bagian yang tidak terpisahkan dari kerja Pollster, sebagai pihak yang diandalkan oleh dua pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Ambon periode 2017 – 2022.
Tulisan ini sejujurnya tidak bermaksud melakukan fait accomply terhadap Adjie dan Barkah, tetapi lebih sebagai sebuah catatan kritis terhadap pendekatan ilmiah yang dihadirkan Pollster dalam ranah politik yang sudah tidak bisa dianggap atau dinilai sebagai sesuatu yang tabu.
Intinya, baik Adjie dan Barkah, melalui Pollsternya hanya ingin memberikan rasa.Ya, rasa tak perlu harus menunggu dalam durasi agak lama.Soal rasa ini, barangkali lebih tepat manakala kita dalam suasana penasaran, tetapi terdesak diburu oleh waktu.
Ingin mencicipi ikan kuah kuning khas rumah-rumah makan di Kota Ambon, tetapi tiket pesawat justru tidak mengenal kompromi.
Pilihan selanjutnya adalah cukup dengan mencicipi satu sendok sup ikan kuah kuning dari Rumah Beta milik Pak Otis Matitaputty, atau ikan kuah kuning Depot 88 milik Ibu Ivon Lee, tanpa perlu tahu rasa satu mangkok yang sudah disiapkan.
Anda diharuskan segera meninggalkan Rumah Beta dan Depot 88, meluncur menuju Bandara Internasional Pattimura, di Laha akibat tiket pesawat tak kenal kompromi. 
Perlu digaris bawahi, analogi ini hanya tepat, jika pengambilan responden dan keseluruhan metodologi benar dan ketat.Makin kecil margin of error yang dipatok, tentu makin berwibawa tiap Pollster yang terlibat dalam perhelatan Pilkada Kota Ambon.
Nantinya, diujung semua yang kita ketahui, pengalaman di beberapa daerah, membuktikan masih terjadi kesalahan yang cukup mengganggu bahkan memalukan. Toh, pada akhirnya rakyat Kota Ambon akan menilai mana Pollster yang sungguh-sungguh sebagai dukun moderen dan mana Pollster sebagai dukun jalanan.
Pollster saat-saat sebegini sangat dibutuhkan sebagai penunjuk arah dalam suasana politik sekalipun.Sebuah pesta rakyat yang mampu direkam secara ilmiah.
Kedua sosok otak Pollster Pilkada Kota Ambon, baik Adjie Alfaraby dan Barkah Pattimahu, pernah kalah dan menang bersama. Sesuatu yang fenomenal menurut saya, ketika keduanya turut menentukan Herman Adrian Koedoeboen – Daud Sangadji (MANDAT) menang perolehan suara Pilkada Maluku tahun 2013, khusus di Kota Ambon, ibu negeri tanah Maluku.
Tetapi itu soal lain, mari kita kembali kepada statistika. Metodologi ini merupakan pengetahuan yang memungkinkan menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang yang tersedia.Dasar dari teori statistika adalah teori peluang.Teori peluang merupakan cabang dari matematika, sedangkan statistika sendiri merupakan disiplin tersendiri.
Dengan demikian, Prof Dr Amsal Baktiar, MA dalam bukunya “Filsafat Ilmu” menjelaskan, penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada logika deduktif dan logika induktif.Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.
Menurut bidang pengkajiannya, statistika dapat dibedakan sebagai statistika teoritis dan statistika terapan.Statistika teoritis merupakan pengetahuan yang mengkaji dasar-dasar penarikan kesimpulan yang terutama bersumber kepada teori peluang.
Statistika terapan merupakan pengetahuan yang memberikan prosedur penarikan kesimpulan, seperti bagaimana cara mengambil sebagian populasi sebagai cuplikan, bagaimana cara menghitung rentangan kesalahan dan tingkat peluang, bagaimana menghitung nilai rata-rata, dan sebagainya.
Drs H. Burhanuddin Salam, dalam bukunya “Logika Materiil; Filsafat Ilmu Pengetahuan” menegaskan, penguasaan statistika mutlak diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah.Berpikir logis secara deduktif seringkali dikacaukan dengan berpikir logis secara induktif.
Kekacauan logika inilah yang menyebabkan kecenderungan orang berpikir logis secara deduktif dan menerapkan prosedur yang sama untuk kesimpulan induktif. Alhasil, dia menganjurkan penguasaan berpikir induktif dengan statistika sebagai alat berpikirnya, harus dikuasai secara matang.
Pendasaran ini penting disampaikan sekedar mengingatkan pihak-pihak yang sempat sangat reaksioner manakala menyikapi hasil rilis resmi yang dilakukan oleh Ajie beberapa waktu lalu yang mengunggulkan PAPARISSA BARU.
Saya kemudian mulai menduga, jangan-jangan yang bersikap sangat reaksioner justru sudah lebih dulu terjebak dalam penarikan kesimpulan subyektifnya dengan data yang disulap atau kurang dapat dipercaya yang berada di tangannya.
Sesungguhnya beta pung tuang hati jantong, Adjie Alfaraby dan Barkah Pattimahu, boleh keliru, boleh salah, tetapi jangan berbohong.Dalam perjalanan sejarah, statistika sebagai suatu disiplin keilmuan sering dikacaukan dengan statistika berupa data yang dikumpulkan.
Disebabkan data yang dapat disulap atau kurang dapat dipercaya, maka tumbuhlah secara sosiologis kata-kata bersayap seperti yang diucapkan Disraeli, bahwa terdapat tiga jenis kedustaan yakni dusta, dusta besar, dan statistika.
Salah paham ini, supaya bukan sekedar milik ahli politik.Salam hormatku untuk abang berdua.Selamat dan semangat. TABEA..!! (*)