Share
Penerapan Konsep Building Back Better menuju Ketahanan Pangan dan Keberlanjutan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Maluku

Oleh
 
Lilian Komaling, S.Hut (Mahasiswa Pasca Sarjana Kehutanan Unpatti)
dan 
Prof. Dr. Gun. Mardiatmoko,MP (Dosen Pasca Sarjana Kehutanan Unpatti
Pada tahun 2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) telah merilis Dokumen Laporan Kajian Pembangunan Rendah Karbon (PRK) Indonesia (Low Carbon Development Initiatives/LCDI).Dokumen tersebut sebagai dasar rancangan teknis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menjadi RPJMN pertama yang mengusung PRK, dimana PRK masuk dalam salah satu dari tujuh Agenda Pembangunan Nasional yaitu “Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim”.PRK adalah proses untuk mengidentifikasi kebijakan pembangunan yang mempertahankan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan membantu pencapaian target pembangunan di berbagai sektor, serta pada saat yang bersamaan membantu Indonesia mencapai tujuan penangananperubahan iklim, melestarikan dan meningkatkan sumber daya alam.
Pembangunan Rendah Karbon (PRK) menjadi babak baru Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Kemajuan perekonomian Indonesia tidak hanya diukur oleh pertumbuhan Pendapatan Domenstik Bruto (PDB), tetapi juga kelestarian lingkungan, efisiensi sumber daya, dan keadilan sosial, karena PRK dinilai dapat menciptakan serangkaian manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan.
Seperti diketahui, pada tahun 2020 kita dihadapkan pada Pandemi COVID-19 yang telah menyerang seluruh sektor kehidupan bukan hanya di Indonesia melainkan hampir di seluruh dunia. Sejak diumumkannya kasus pertama di Indonesia pada Maret 2020, angka pasien positif terus naik dan mencapai 108.376 orangper 31 Juli 2020.Pemerintah pun telah mengeluarkan Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah meluasnya penyebaran COVID-19 di Indonesia, disusul kemudian dengan Kebijakan Normal Baru (New Normal) yang lebih mempertimbangkan faktor kesehatan dan ekonomi. 
Dalam Kebijakan Normal Baru, Pemerintah memberikan berbagai program dan stimulus untuk pemulihan ekonomi yang dilengkapi dengan implementasi protokol kesehatan secara ketat. COVID-19 telah mengubah cara hidup masyarakat dan pembangunan Indonesia untuk tahun 2020 dan 2021. Pada tahun 2020, fokus kebijakan Pembangunan Indonesia pada sektor kesehatan, jaring pengaman sosial dan stabilitas ekonomi,sementara pada tahun 2021, terfokus pada akselerasi pemulihan ekonomi dan reformasi sosial pasca COVID-19. 
Namun beberapa pertanyaan yang muncul yaitu : “apakah sekedar pemulihan ekonomi dan sosial sudah cukup?” , “pernahkah kita berpikir tentang pemulihan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berjangka panjang di Indonesia?”, “bagaimana tentang ancaman di masa depan, seperti perubahan iklim?”, “Bagaimana kita menjaga momentum agenda pembangunan berkelanjutan 2030?”. 
Hal penting yang perlu diperhatikan yaitu kita perlu menjalani New Normal dengan paradigma Membangun Kembali dengan lebih baik (Building Back Better). Build Back Better telah digunakan sejak tahun 2015 secara resmi dalam UN Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030. Build Back Better adalah paradigma yang umumnya digunakan untuk pemulihan pasca bencana yang bertujuan untuk  menghindari terjadinya kondisi kerentanan semula (yang lama) dan menjadikan proses pemulihan sebagai transformasi menuju arah yang lebih baik, yang mencakup transformasisosial, ekonomi dan lingkungan. 
Potensi dan manfaat Build Back Better yaitu  membangun lebih tangguh (Building back stronger), membangun lebih cepat (Building back faster), membangun lebih inklusif (Building back more inclusively), banyak negara di dunia telah menyadari kebutuhan dan peluang manfaat dari pemulihan yang berkelanjutan pasca pandemi COVID-19, fokus dimensi Build Back Better adalah pada kesejahteraan dan  inklusivitas.(Dr. Ir. Medrilzam, MPE, BAPPENAS, 2020)
Provinsi Maluku merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan kondisi geografis berupa wilayah darat dan laut yang meliputi pulau-pulau besar dan kecil. Secara keseluruhan Provinsi Maluku memiliki wilayah seluas 712.479,69 km2 dengan perairan seluas 658.294.69 km2 (92,4%) sedangkan daratan hanya sekitar 54.185 km2 (7,6%). Provinsi Maluku memiliki 4 (empat) pulau besar dan 1.336 pulau kecil bahkan sangat kecil, dengan kondisi topografi di pulau-pulau besar yang terdiri dari dataran rendah, berbukit dan gunung.
Memperhatikan kondisi geografis Provinsi Maluku, maka salah satu pendekatan dalam implementasi pembangunan yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi Maluku dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan antar wilayah adalah pendekatan wilayah yang didasarkan pada konsep Gugus Pulau.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 16 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Tahun 2013-2033, terdapat 12 Gugus Pulau di Provinsi Maluku.
Konsep Gugus Pulau diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan di provinsi Maluku. Namun seperti yang bisa dilihat hingga kini, harapan tersebut belum terwujud karena pembangunan masih berpusat di Kota Ambon sebagai ibukota provinsi.
Prof. A. Kastanya menulis bahwa kompleksitas keterkaitan antar berbagai masalah pembangunan di Maluku saling terkait dalam bentuk pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial ekonomi dan spasial.  Masalah lain yaitu lemahnya sistem ketahanan dan kedaulatan pangan yang tampak dari ketergantungan komoditas pangan impor, investasi swasta rendah dan tidak merata, lemahnya industri pengolahan hasil pertanian (dalam arti luas) dan kerusakan atau degradasi lingkungan. 
Masalah tersebut juga terkait dengan lemahnya sistem mitigasi bencana alam, sulitnya akses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan kesehatan yang lebih baik, sulitnya akses ke air bersih, serta masalah hak-hak asasi manusia. Mollucas Research and Innovation Center (MRIC), mengelompokkkan berbagai masalah pembangunan di Provinsi Maluku tersebut atas beberapa isu utama yaitu:
(1) Masalah kesejahteraan sosial;
(2) Masalah pembangunan, lingkungan hidup dan pemanasan global;
(3) Masalah politik, hukum dan hak-hak azasi manusia;
(4) Masalah pembangunan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam.
Dalam tulisan tersebut, disebutkan juga oleh karena pembangunan di pulau-pulau kecil cukup berisiko dan rentan terhadap perubahan karena bencana alam (natural disaster), konflik sosial (social conflict) dan degradasi lingkungan, maka perspektif pembangunan haruslah holistik dan sistemik. Jadi keempat isu tersebut tidak dilihat berdiri sendiri tetapi saling terkait satu sama lain didalam kelompok maupun antar kelompok kategori isu. Hal ini penting untuk proaktif mengantisipasi masalah eksternalitas yang mungkin terjadi dalam proses pembangunan di pulau-pulau kecil. 
Masalah kesejahteraan sosial berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, gender, keadilan sosial, ketahanan dan kedaulatan pangan.
Masalah yang terkait dengan pembangunan, lingkungan dan pemanasan global terkait dengan mitigasi bencana alam, degradasi dan kerusakan lingkungan, konservasi dan daerah aliran sungai, energi alternatif, perubahan iklim dan pemanasan global. 
Selanjutnya masalah sosial budaya dan politik berkaitan dengan kearifan lokal, budaya dan politik di Maluku dalam kaitannya dengan masalah yang sama di tingkat regional dan global. 
Masalah yang terkait dengan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam, pengembangan industri berbasis hasil pertanian dan kelautan seperti kelapa, pala, cengkeh, rumput laut, ikan tuna dan mutiara termasuk parawisata.Pembangunan secara masif di Kota Ambon menimbulkan kesenjangan yang jelas terlihat jika dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya di Provinsi Maluku.Pemekaran wilayah di Provinsi Maluku yang dilakukan untuk menggalakkan pembangunan, tampaknya belum menjadi pemicu meningkatnya pembangunan dan daya saing ekonomi antar daerah di Provinsi Maluku.
Kompleksitas permasalahan pembangunan yang terjadi di Provinsi Maluku menjadi tugas berat yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi Maluku sebelum adanya Pandemi Covid-19.
Pandemi COVID-19 memberikan pelajaran bahwa selama ini manusia menerapkan cara hidup individualistis yang mengabaikan nasib lingkungan hidupnya sehingga jika ekonomi eksploitatif tetap dijalankan seperti sekarang, maka Bumi akan terus menciptakan krisis demi krisis, seperti banjir, cuaca ekstrem, meningkatnya permukaan laut, gagalnya pasokan pangan dan berjangkitnya lebih banyak virus. 
David Quammen menulis dalam New York Times, manusia menginvasi hutan tropis dan bentang alam liar lainnya, yang merupakan habitat beragam spesies hewan dan tumbuhan tempat bernaungnya banyak virus yang belum dikenal. 
Manusia mengganggu ekosistem dengan menebang pohon, membunuh hewan atau menjualnya yang menyebabkan virus-virus itu lepas dari inang alaminya sehingga mereka membutuhkan tumpangan baru, dan seringkali manusia menjadi sasarannya.Para ilmuwan berpendapat bahwa habitat yang terdegradasi dapat mendorong proses evolusi yang lebih cepat dan diversifikasi penyakit. 
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat memperkirakan, 75 persen penyakit baru yang menjangkiti manusia berasal dari hewan.Menurut Felicia Keesing dan rekan-rekan penelitinya yang menulis untuk majalah ilmiah Nature, meskipun wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi dapat menjadi sumber bibit penyakit baru, semakin banyak bukti bahwa hilangnya keanekaragaman hayati dapat meningkatkan penularan penyakit.
Mereka menyarankan untuk melestarikan daerah dengan keanekaragaman hayati endemik, yang hanya ada di wilayah geografis tertentu, agar prevalensi penyakit menular dapat berkurang.
Seperti daerah lainnya, COVID-19 menimbulkan dampak yang sangat luas di bidang kesehatan, sosial, ekonomi di Provinsi Maluku.Jumlah kasus yang terus meningkat telah memaksa Pemerintah Daerah memutuskan kebijakan PSSB dan sedang mempersiapkan menuju New Normal.
Dalam persiapan menuju New Normal, Pemerintah Provinsi Maluku perlu menyiapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang menyesuaikan dengan fokus kebijakan pembangunan nasional yang telah disampaikan oleh Kementerian PPN/BAPPENAS. Momentum ini dapat menjadi kesempatan untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi dari ekonomi eksploitatif menjadi ekonomi hijau (green economy).
Dimensi kunci Build Back Better Pasca Pandemi COVID-19 yang berfokus pada kesejahteraan dan Inklusivitas terdiir dari : Penyelarasan dengan upaya net-zero GHG emissions, Penguatan Ketahanan Iklim, Peningkatan Ketahanan dan Keberlangsungan Rantai Pasok, Pembangunan Perubahan Perilaku secara Inovatif serta Pengurangan Kepunahan Keanekeragaman Hayati. Respon jangka pendek yang dilakukan Pemerintah dalam mengantisipasi dampak kebijakan PSBB yaitu Pemberian Stimulus dan Paket Ekonomi untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, menyerap tenaga kerja, menjaga ketahanan pangan, dan meningkatkan konsumsi dan daya beli masyarakat. 
Respon Pemerintah tersebut harusnya tersampaikan langsung kepada masyarakat terdampak, meskipun kenyataannya kemudian timbul banyak protes terkait dengan pelaksanaan kegiatan tersebut semua kebijakan pasti ada plus dan minus tetapi patut untuk dicoba sambil diperbaiki kearah yang lebih sempurna.
Selanjutnya Pemerintah kemudian menyiapkan pemulihan dalam New Normal dengan Membangun Kembali Lebih Baik (Building Back Better). Arah kebijakan pembangunan jangka menengah dan panjang harus didesain untuk : 
  1. Membangun ekonomi yang lebih tangguh dan menciptakan lapangan kerja yang lebih baik,omi
  2. Meningkatkan sistem kesehatan yang lebih tangguh dalam jangka panjang,
  3. Menjamin sistem ketahanan pangan, 
  4. Mengatasi bencana dan gangguan di masa depan, termasuk perubahan iklim, bencana hidrometeorologi dan geologi, serta wabah.
BACA JUGA:  Aplikasi Bahan Alam Sebagai Edible Antimikrobial Pada Fillet Ikan Tatihu (Thunnus albacares)
Prinsip Pembangunan Berkelanjutan harus diterapkan dengan target Meningkatkan Kesejahteraan ekonomi, dan kesetaraan sosial sembari mengurangi risiko dan eskploitasi sumber daya alam dan lingkungan. 
Untuk itu, kebijakan yang diambil Pemerintah harus bersifat terintegrasi dan saling terkait. Mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, bersinergi antara kebijakan bottom up dan top-downserta Holistic, Integrative, Thematic Spatial (HITS). Dampak yang diharapkan dari penerapan prinsip tersebut yaitu tercapainya Ekonomi Hijau dan ketahanan Masyarakat. 
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan ketahanan dari gangguan di masa depan, alokasi dan pengeluaran anggaran Pemerintah diprioritaskan kepada:
  • Mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon yang inklusif, adil, tangguh : Mendorong kebijakan dan insentif bagi proyek pemerintahyang dapat mempercepat proses transisi menuju ekonomirendah karbon
  • Meningkatkan bauran penggunaan energi bersih: Investasi dalam penggunaan energi terbarukan, meningkatkankapasitas penyimpanan listrik serta keandalan jaringannya, dan membuka akses untuk pelaku usaha dapat membeli energi terbarukan (kebijakan harga).
  • Mendorong mobilitas yang bersih dan sehat: Peningkatan alokasi pendanaan untuk pembangunantransportasi umum berbasis listrik dan infrastruktur pengisian tenaga kendaraan listrik, dan memberikan insentif bagi peningkatan penggunaan kendaraan listrik.
  • Mendorong transformasi infrastruktur dan bangunan rendah karbon: Meningkatkan efisiensi energi pada bangunan(rumah dan perkantoran), mendorong penggunaan bahan bangunan rendah emisi.
  • Mendukung transisi sektor industri menuju rendah karbon: Mendorong investasi dalam bidang penelitian danpengembangan teknologi rendah karbon, sertapengalokasian anggaran negara untuk mendorongpenggunaan bahan ramah lingkungan
  • Investasi dalam penanggulangan perubahan iklim berbasis alami: Mendukung petani dalam melakukan praktikpertanian ramah lingkungan, mendorongkebijakan dan upaya penurunan emisi daripencegahan pembukaan lahan baru.
BACA JUGA:  Pendirian Anak Perusahaan BUMD PT. TANIMBAR ENERGI Adalah Kebutuhan
Hal yang perlu dilakukan dalam Build Back Better dengan Pembangunan Rendah Karbon yaitu :
  • Penyusunan rekomendasi stimulus fiskal hijau yang inklusif untuk menciptakan skema bisnis yang rendah karbon dan berkelanjutan menuju ekonomi hijau (green economy)
  • Pemanfaatan anggaran pemerintah (APBN) dan investasi di sektor-sektor yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, dan di saat yang sama menurunkanemisi serta mendorong pembangunan berkelanjutan
  • Penyertaan risiko dan peluang manfaat perubahan iklim dalam sistem keuangan, termasuk juga dalam formulasi kebijakan publik dan infrastruktur
Penjabaran di atas merupakan Konsep Pembangunan Rendah Karbon Pasca Pandemi COVID-19 menuju Ketahanan Pangan dan Keberlanjutan Pertumbuhan Ekonomi dengan Konsep Build Back betteryang disusun oleh Kementerian PPN/BAPPENAS. 
Dalam adaptasi penerapannya di Provinsi Maluku, tentu saja harus disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Daerah yang telah disusun oleh Pemerintah Provinsi Maluku.Dalam RPJMD Provinsi Maluku Tahun 2019-2024 disebutkan bahwa perencanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan Konsep Gugus Pulau, Konsep Laut Pulau dan Konsep Pembangunan Pintu Jamak. 
Pendekatan dengan ketiga konsep tersebut karena mempertimbangkan kekhasan kondisi wilayah Maluku sebagai wilayah kepulauan, dengan luas dan potensi sumber daya alam masing-masing pulau yang berbeda-beda, keterbatasan infrastruktur pemerintahan, perhubungan, telekomunikasi, dan dinamika ekonomi yang terbatas maka perencanaan pembangunan Maluku harus didasarkan pada kajian strategis perencanaan yang disesuaikan dengan karakter kepulauan, mempertimbangkan luas daratan dan lautan yangdidasarkan pada pemanfaatan potensi sumber daya alam secara lebih baik dan berkelanjutan. 
Memperhatikan konsep pembangunan yang termuat dalam RPJMD Provinsi Maluku tahun 2019-2024 tersebut, maka bukanlah hal sulit jika disandingkan dengan konsep Build Back Better yang dirancang Pemerintah untuk pemulihan dalam new normal pasca COVID-19. 
Adaptasi konsep Build Back Better di Provinsi Maluku diharapkan dapat mendukung Pemprov untuk menangani pemulihan pasca Pandemi COVID-19. Penyesuaian fokus kebijakan yang dikemukakan oleh pemerintah pusat diharapkan dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang akan diambil.
Pembangunan Rendah Karbon (PRK) yang termuat dalam RPJMN 2020-2024 merupakan hal yang harus lakukan untuk mengatasi keadaan terkini. Keadaan lingkungan yang semakin memprihatinkan mengharuskan Pemerintah, sektor swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mendukung pelaksanaan PRK.Pertumbuhan ekonomi tinggi tidak boleh berbanding terbalik dengan kelestarian lingkungan. 
Bagaimana cara kita memiliki kehidupan ekonomi yang baik di lingkungan yang semakin rusak?Apakagi jika dihadapakan dengan  Pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir. Pemerintah harus segera membuat kebijakan yang diikuti dengan implemtasinya sehingga tidak memicu timbulnya permasalahan baru di masyarakat pasca Pandemi COVID-19. (*)