LASKAR – Sukses mempresentasikan Sound Of Green (SoG) pada Konfrensi Tahunan Jaringan Kota Kreatif UNESCO di Santos, Brazil 18 – 22 Juli 2022, membawa dampak luar biasa bagi delegasi Kota Ambon dengan diundangnya Direktur Ambon Music Office (AMO) Rhony Loppies selaku Focal Point Ambon City Of Music, ke berbagai event kota kreatif.
Setidaknya sudah ada dua kota di Asia yang dijadwalkan akan dikunjungi oleh Direktur AMO sebagai Pembicara yakni Chiang Mai, Thailand pada 1 Agustus dan Daegu, Korea Selatan (Korsel) pada 25 – 26 Agustus 2022 mendatang.
“Di Chiang Mai adalah Event Thailand Creative City Network 2022, yakni Kegiatan untuk menciptakan proses penggerak di tingkat kebijakan tentang isu-isu penting ekonomi dan budaya terkait kreativitas kota, serta untuk menginformasikan mitra jaringan di wilayah, proses bergabung dengan jaringan kota kreatif UNESCO. Sedangkan di Daegu, adalah event dengan Decade of Action-Diversity and Inclusiveness Drivers of the Sustainable Development Goals,” kata Loppies dalam pesan Whatsapp, Senin (25/7/2022).
Selaku pembicara, topik yang dibawakan di kedua negara tersebut, yakni “Mengurangi Ketimpangan Lingkungan untuk menjawab Pembangunan Berkelanjutan” dengan mengacu kepada Program inovasi (SoG).
Topik ini, jelasnya, berangkat dari kondisi Ambon sebagai pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan iklim dimana Curah hujan yang tinggi di Kota Ambon menyebabkan kota ini sering mengalami banjir yang menghancurkan kehidupan masyarakat dari tahun ke tahun.
“Bencana banjir selalu berdampak terutama pada masyarakat miskin yang tinggal di desa, bentaran sungai dan topografi yang curam,” ungkapnya.
Terkait dengan hal tersebut, Loppies katakan, musik tradisional merupakan ciri fundamental dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebagai budaya yang dapat dipergunakan untuk melestarikan lingkungan.
Musik tradisional cenderung dimiliki oleh masyarakat yang terpencil di desa-desa. Sebagai contoh musik bambu yang dimiliki oleh berbagai komunitas di Kota Ambon, menggunakan tanaman bambu dalam jumlah yang cukup besar, untuk pembuatan suling (suling bambu) dan selalu menimbulkan sampah dari bagian bambu yang tidak dipergunakan.
Eksplorasi terhadap tanaman bambu yang tinggi, disebutnya, akan mengakibatkan vegetasi bambu berkurang. Di sisi lain, dapat mengakibatkan bencana karena berkurangnya luas hutan bambu.
“Hal yang sama juga dapat terjadi pada jenis kayu-kayuan. Untuk pembuatan alat perkusi (nama lokal:tifa), menggunakan beberapa jenis kayu yang perlu dilestarikan,” jelasnya.
Pada posisi itulah, menurut Loppies, musik dapat menggerakkan pelestarian lingkungan. Karena musik tradisional menggunakan bahan baku dari alam seperti bambu atau kayu.
“Program SoG, adalah bagaimana Memobilisasi komunitas kreatif musik untuk pelestarian lingkungan, akan menciptakan ekosistem kreatif yang dimulai dari anak-anak hingga dewasa, dapat melibatkan perempuan dan laki-laki, menggunakan orang-orang dari berbagai jenis pekerjaan,” terangnya. .
Disisi lain, karena mempertahankan bahan baku musik tradisional, juga akan memengaruhi keberlangsungan musik tradisional di Kota Musik Ambon.
Dengan topik ini, diharapkan Ambon dapat menjawab goals ke-10 SDGs yaitu bagaimana mengurangi ketimpangan (reduced inequality) dari sisi lingkungan.
“Berbagai ketimpangan telah diinventarisir dan disampaikan delegasi Ambon City Of Music pada konferensi tahunan di Brazil mulai dari ketimpangan pendidikan, lingkungan, politik, sosial, ekonomi, spasial, dan budaya dan ternyata Musik dapat menjawab semua ketimpangan itu.” demikian Direktur AMO. (*/L06)