“It doesn’t matter whether a cat is black or white, as long as it catches mice, it’s a good cat”, merupakan perkataan terkenal dari Deng Xiaoping: pemimpin tertinggi Republik Rakyat Tiongkok sejak tahun 1970an – 1990an.
Kalimat ini dikatakannya pada sambutan sebelum reformasi dan pembukaan ekonomi Cina pada dunia global saat itu. Jika diterjemahkan secara harafiah, pesan ini kiranya dapat diartikan sebagai berikut: “Tak masalah entah seekor kucing berwarna hitam atau putih, karena selama kucing tersebut masih bisa menangkap tikus, ia adalah kucing yang baik”.
Dalam artian tersebut, Deng Xiaoping sebenarnya mau menegaskan bahwa ukuran mendasar dari kwalitas atas sesuatu senantiasa ditentukan dari performa atas kinerja yang ditunjukkan.
Karenanya orang bisa berbicara banyak tentang sesuatu, orang lain atau bahkan dirinya sendiri. Kepada siapa saja kita bisa menggambarkan “mimpi-mimpi indah” dengan balutan bahasa: “visi masa depan”.
Namun semua itu hanya bisa berarti dan menggugah hati jika diperhadapkan pada pertanyaan: “Sudah sejauh mana hal itu kamu usahakan dan hidupi?”.
Mengapa ini penting? Dewasa ini kita berada dalam sebuah dunia dimana akses atas informasi adalah hal yang begitu mudah dilakukan. Tanpa perlu bersusah payah, selama ada gadget di tangan dan koneksi internet saja, beberapa sapuan jari pada keypad sudah bisa memungkinkan kita dalam mengetahui segala informasi yang kita inginkan; entah tentang sesuatu ataupun seseorang.
Dampaknya adalah pengenalan senantiasa menjadi rujukan dalam menilai value dari suatu tindakan ataupun perkataan. Konsekwensinya adalah tolak ukur kwalitas ditentukan tak hanya lewat muatan nilai yang terkandung dalam perkataan ataupun perbuatan, tapi lebih pada pribadi yang berada di balik perkataan ataupun perbuatan itu sendiri. Kenyataan ini lantas mengajak kita untuk secara objektif melihat bahwa benarlah keharusan untuk “berbuah” merupakan sebuah panggilan alami yang melekat pada identitas diri kita sebagai seorang manusia; hal mana dari padanya menuntut kita untuk senantiasa hidup dalam kesadaran bahwa kwalitas buah ditentukan oleh cara kita dalam merawat diri.
Bagaimanapun pohon yang baik dikenali dari buahnya yang baik. Dunia marketing menyebut ini sebagai “brand” diri, dimana langkah yang benar menghasilkan brand yang baik atas diri, demikianpun sebaliknya; bahkan jika kita membiasakan diri untuk berada dalam langkah yang benar, kekeliruan sesekali dapatlah ditolerir karenanya.
Aroma konstelasi pemilihan kepala daerah yang kendati baru akan dilaksanakan pada tahun 2024 nanti, kini telah tercium dengan sangat kuat. Seperti biasanya, para bakal calon mulai mempromosikan diri dengan mengumbar ragam kualifikasi yang dimiliki dengan balutan “panggilan hati”.
Tak ada yang salah mengenai hal ini. Kendati demikian, satu hal yang harusnya senantiasa disadari demi menghindari diri dari cibiran bahkan apatisme publik atas diri, yaitu kejujuran atas realitas diri.
Banyak hal yang dapat dikatakan tentang diri sendiri, namun hendaknya secara jujur pula diungkapkan bahwa semua itu bukanlah bualan semata, karena penerimaan publik atas promosi diri sekali lagi ditentukan pada rekam jejakmu tentangnya.
Idealisme tentang kebaikan memang tak salah, tapi mengumbarnya tanpa sebuah kenyataan bahwa pernah hidup dalamnya, tak jauh berbeda dengan bualan kosong.
Tentangnya orang dapat membela diri: “Bagaimana saya bisa merealisasikan semua idealisme tentang kebaikan, kesejahteraan dan lain sebagainya tanpa adanya kekuasaan demikian?”.
Atas tanggapan demikian, dapatlah dikatakan bahwa dasar dari kebaikan dan segala penjabarannya, adalah kemanusiaan. Oleh karena itulah situasi khusus bukanlah syarat dalam mengusahakan kebaikan, mengingat itulah hal yang harusnya melekat dalam diri setiap orang. Karenanya jika kebaikan dipandang sebatas visi dan bukan bagian dari diri, mustahillah kita bisa dipercaya sebagai pejuang dari kebaikan itu sendiri.
Quo res cumque cadunt, semper stat linea recta: apapun yang terjadi, senantiasa berdiri di garis lurus. Tingkat kepercayaan atas perjuangan demi kebaikan tergantung senantiasa pertama-tama pada ukuran sejauh manakah kebaikan itu telah dihidupi. Karenanya adalah fakta tak terbantahkan bahwa kwalitas sebagai pemimpin yang ideal senantiasa dapatlah diukur dengan merujuk pada rekam jejak kepemimpinan itu sendiri, sehingga kebaikan tak sekedar sebatas wacana melainkan lebih dari itu telah menjadi bagian dari diri.
Itulah mengapa sering ketika berhadapan dengan mereka yang hidup dalam kebaikan, tanpa ragu penilaian bahwa “Ia adalah orang baik” menjadi hal yang spontan keluar dari mulut setiap orang yang mengenalnya. Ini adalah fakta tak terbantahkan.
Atas semua itu, terima kasih karena dalam setiap kesempatan senantiasa berbicara tentang apa yang telah diperbuat dan bukan tentang apa yang ingin dibuat.
Terima kasih bahwa senantiasa menemukan alasan untuk lebih terdorong melakukan banyak kebaikan, manakala berhadapan dengan sebuah kebaikan yang telah dilakukan.
Karenanya tak membuat orang untuk hanya hidup dalam mimpi dan terbuai dengan untaian kata-kata manis tanpa realisasi, melainkan memampukan orang untuk senantiasa bersikap realistis dalam menatap hidup.
Tetaplah menjadikan “buah” sebagai tolak ukur penilaian atas kwalitas penampilan lahiriah yang ada, karena dari padanya kepedulian sebagai sebuah panggilan hati tidaklah diragukan kwalitasnya, mengingat hal yang paling masuk akal dalam mencinta, adalah mempedulikan kepentingan orang yang dicintai. Kepedulian nyata hanya dalam Tindakan dan bukan angan. (*)