Share

OLEH : NINI MUNIRAH RENUR

Ikan tatihu (Thunnus albacares) atau dikenal dengan nama ikan tuna sirip kuning memiliki daging yang tebal sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai komoditi ekspor dalam bentuk fillet ikan. Keuntungan ikan yang di-fillet bagi konsumen, yaitu memperoleh produk yang praktis sehingga waktu yang dibutuhkan untuk memasak menjadi lebih cepat. Penanganan yang baik diperlukan untuk mempertahankan mutu ikan dan menghambat pertumbuhan mikroba. Daerah Maluku kaya akan hasil rempah, ini merupakan peluang yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan aditif kemasan antimikroba yaitu dengan memanfaatkan minyak atsiri khas Maluku (cengkeh dan pala). Bahan dasar pembuatan matriks dapat menggunakan sumber karbohidrat yang banyak terdapat di Maluku yaitu pati sagu.

Ikan merupakan kelompok bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan, tidak seperti produk daging yang lain. Kemunduran mutu ikan yang cepat berlangsung setelah ikan mati disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain terjadinya proses enzimatis atau adanya mikroorganisme pembusuk yang berkembang pada bagian tubuh ikan (Lampila et al. 2012). Produk ikan sangat menarik karena berfungsi sebagai sumber protein, vitamin, mineral, dan lemak. Ikan sangat mudah rusak sehingga penanganan yang tepat dan penggunaan kemasan dapat membantu menjaga kualitas ikan. Berbagai teknik untuk menjaga kualitas ikan banyak digunakan selama ini, mulai dari penyimpanan sederhana, dingin, modifikasi tekanan, dan aplikasi medan elektromagnetik (Nagarajarao 2016).

Kesegaran ikan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan keseluruhan mutu daripada suatu produk perikanan. Mutu kesegaran dapat mencakup rupa atau penampakan, rasa, bau, dan juga tekstur akan dinilai oleh pembeli atau pengguna dari produk tersebut. Tingkat kesegaran ikan selanjutnya akan sangat menentukan proses pengolahan dan sekaligus menentukan nilai jual ikan. Para supplier ikan segar memegang peranan penting, agar ikan-ikan yang disuplai ke swalayan dalam kualitas yang baik. Permasalahan yang dihadapi swalayan dalam persediaan produk ikan segar, yaitu persediaan yang rusak (broken stock) sering kali berlebihan, sehingga banyak ikan yang membusuk dan swalayan mengalami kerugian.

Sekarang ini, berbagai macam hal telah dilakukan untuk mempertahankan kualitas dan kesegaran ikan. Langkah-langkah tersebut tidak hanya dilakukan pada saat ikan baru ditangkap, tetapi dilakukan hingga ikan tersebut dipasarkan. Penanganan yang tepat pada produk ikan dapat menjadikan ikan tersebut memiliki masa simpan yang lebih lama dan juga lebih menarik secara organoleptik, hingga daya jual di pasaran juga dapat ditingkatkan. Sebagian konsumen khususnya konsumen ikan segar masih lebih memilih berbelanja di pasar tradisional karena beberapa alasan seperti harga yang masih bisa ditawar, tidak membutuhkan persiapan khusus, dan lain-lain. Sedangkan untuk konsumen ikan segar yang lebih menyukai berbelanja di pasar modern kemungkinan dikarenakan kualitas barang yang di jual lebih baik dengan penanganan ikan yang lebih dijaga meskipun tidak terjadi tawar menawar harga karena harga telah tertera dan kenyamanan konsumen dalam berbelanja.

BACA JUGA:  "SEPPUKU" SANG MAESTRO

Teknologi pengemasan yang baik dan tepat akan dapat meminimalkan kerusakan selama proses penyimpanan dan pendistribusian produk ke tangan konsumen. Peran utama kemasan dalam industri makanan adalah mengawetkan dan melindungi produk dari kontaminasi eksternal, termasuk menjaga keamanan makanan, memelihara kualitas, dan meningkatkan masa simpan. Rahayu et al. (2003), menyatakan bahwa selama pendistribusian dan penyimpanan terjadi perubahan mutu produk seperti susut bobot dan susut gizi sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan fisik dan kimia produk pangan. Selain kerusakan tersebut, produk pangan juga rentan terhadap kerusakan mikrobiologis, yang pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap mutu fisik, kimia, dan nilai ekonomis produk pangan.

Kerusakan mikrobiologi terjadi karena adanya aktivitas mikrobiologi pada produk pangan meskipun produk pangan telah diolah dan dikemas dengan baik dan higienis. Kontaminasi produk pangan menjadi masalah yang sangat penting, sehingga penambahan bahan pengawet merupakan solusi praktis yang biasa dilakukan untuk meminimalkan kontaminasi mikroorganisme dan memperpanjang umur simpan produk. Singh dan Gandhi (2015), menyebutkan bahwa penggunaan bahan pengawet kimia dalam makanan dinilai praktis karena dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme seperti kapang, bakteri, dan khamir. Namun penggunaan bahan pengawet secara berlebih dapat menghasilkan zat karsinogen yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker. Seiring dengan perkembangan industri pangan, penggunaan zat antimikroba sebagai bahan pengawet beredar sangat luas dan diperparah dengan penggunaan bahan pengawet kimia sintetik yang memiliki dampak buruk bagi kesehatan dan menjadi ancaman bagi keamanan pangan.

Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu dilakukan pengembangan dan pemanfaatan senyawa aktif antimikroba alami. Senyawa antimikroba yang dikombinasikan dengan kemasan bisa mengurangi resiko kerusakan. Menurut Galus dan Kadzinska (2015), edible film dan edible coating yang dapat dimakan memiliki fungsi yang sama seperti kemasan konvensional termasuk penghalang uap air, gas, dan senyawa rasa. Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi makanan yang berfungsi sebagai penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen, lemak, dan cahaya atau berfungsi sebagai pembawa bahan tambahan pangan (Krochta 1997). Edible coating diaplikasikan dalam bentuk cair, sedangkan edible film diaplikasikan dalam bentuk lembaran (McHugh 2000). Edible coating ini penting untuk produk makanan yang mudah mengalami kerusakan seperti seafood karena digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada permukaan produk olahan segar (Cagri et al. 2004).

Coating atau film yang berfungsi sebagai pengemas makanan bila diberi antimikroba maka bahan tersebut akan membatasi atau menghalangi mikroba tumbuh pada permukaan makanan. Inkorporasi agen antimikroba ke dalam sistem pengemasan makanan dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu; menempatkan agen antimikroba ke dalam film ketika film diproduksi atau melalui pelapisan/coating pada permukaan film yang berkontak langsung dengan makanan; dan pelepasan senyawa-senyawa aktif ke permukaan makanan melalui sachet/pad yang ditambahkan ke dalam kemasan (Quintavalla et al. 2002). Aditif yang digunakan sebagai antimikroba haruslah aman dan disetujui oleh lembaga tertentu. Salah satu contoh bahan aditif yang disetujui sebagai aditif untuk produk daging dibeberapa negara bagian Amerika dan Australia adalah nisin (Realini et al. 2014).

BACA JUGA:  Ketika Fakta Fiskal Menyatu Dengan Tantangan Pembangunan

Penggunaan ekstrak alami dan minyak atsiri yang kaya akan senyawa fenolik dapat memberikan efek antimikroba dan antioksidan. Minyak atsiri (bawang putih, oreganodan thyme) dan komponennya (carvacrol dan thymol) telah terbukti efektif menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dalam produk makanan (Realini et al. 2014). Film berbahan kitosan yang mengandung minyak esensialjahe sebagai agen antimikroba aktif digunakan sebagai pembungkus utama untuk steak ikan. Matriksfilm yang dibuat dengan menggunakan campuran kitosan-gelatin digabungkan dengan ekstrak biji anggur (GSE) (1 dan 2%) dan Ziziphora clinopodioides minyak atsiri (ZEO) (1 dan 2%) mampu memperpanjang umur simpan produk filletikan (Kakaei et al. 2016). Penambahan bahan alam minyak atsiri sebagai bahan aditif pada kemasan antimikrobial yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu sudah cukup berkembang. Selama penyimpanan film tersebut memberikan penurunan angka Total Volatile Basic-Nitrogen (TVB-N) yang mudah menguap dan oksidasi lipid (Remya et al. 2016). Sifat dari kitosan sendiri tidak beracun, antibakteri, antioksidan, pembentuk film, biokompatibilitas, dan biodegradabilitas (Renur et al. 2016).

Indonesia sangat kaya akan hasil alam, tetapi belum semua hasil alam ini dimanfaatkan sebagai bahan aditif kemasan antimikrobial. Daerah Maluku kaya akan hasil rempah-rempah, ini merupakan peluang yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan aditif kemasan antimikroba yaitu dengan memanfaatkan minyak atsiri khas Maluku (minyak cengkeh dan minyak pala). Penggunaan kitosan sebagai bahan dasar pembuatan matriks dapat diganti menggunakan sumber karbohidrat lain yang banyak terdapat di Maluku yaitu pati sagu (Metroxylon sp.). Penggunaan pati sebagai bahan dasar pembuatan edible film dan edible coating didasarkan pada kandungan nutrisi yang terdapat padapati. Pati sagu juga mempunyai potensi yang besar untuk dieksplorasi dalam pengembangan edible karena kelimpahan bahan, mudah diperoleh, harga relatif murah, dapat dimakan (edible), dan mudah didaur ulang (renewable) serta mudah untuk dimodifikasi secara fisikokimia (Mali et al. 2005).

Pati sagu memiliki komposisi amilosa yang tinggi yaitu 27%, sehingga memiliki potensi sebagai bahan pembentuk filmyang kuat. Pati dengan kadar amilosa tinggi dapat membentuk sifat lapisan tipis (film) yang sangat baik dibandingkan dengan pati yang kandungan amilosanya rendah (Mali et al. 2005; Bae et al. 2008). Film berbasis pati mempunyai sifat penghalang yang tinggi terhadap O2 dan CO2 (Forssell et al. 2002). Namun film berbasis pati seperti pati sagu memiliki sifat penghalang yang rendah terhadap uap air akibat dari sifat hidrofiliknya (Wu et al. 2001; Mali et al. 2005; Karbowiak et al. 2007; Vargas et al. 2008). Untuk meningkatkan kekuatan film maka film yang diinginkan mempunyai daya serap air yang rendah. Pencampuran sagu dengan gelatin diharapkan dapat menghasilkan matriks film yang baik.

BACA JUGA:  Tindakan Bukan Sekedar Angan

Minyak daun cengkeh dari proses destilasi uap air daun cengkeh kering pada suhu destilasi 85 oC selama 6 jam menghasilkan rendemen 3.54%. Hasil analisis minyak cengkeh menggunakan GC-MS diperoleh 6 komponen utama dengan senyawa eugenol dengan presentase 36.05% yang merupakan aroma khas minyak cengkeh. Rendemen minyak biji pala yang dihasilkan dari proses destilasi uap air biji pala adalah 1.16% b/b. Minyak pala yang dianalisis dengan GC-MS menunjukan adanya 21 komponen dengan konsentrasi terbesar 14.93% untuk senyawa sabinen. Efektivitas antibakteri minyak atsiri yang diuji menggunakan MIC terhadap bakteri S aureus memiliki aktivitas bakteriostatik pada konsentasi  sebesar 0.195% untuk minyak cengkeh dan 12.5% minyak pala, sedang terhadap bakteri E coli pada kosentrasi 0.098% untuk minyak cengkeh dan 25% untuk minyak pala.

Edible coating antimikrobial yang dibuat dari pati sagu dengan penambahan ekstrak minyak atsiri berdasarkan hasil analisis TPC diperlihatkan bahwa minyak cengkeh dan pala dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bakteri pembusuk pada ikan. Fillet ikan yang di-coating dengan aditif minyak cengkeh dengan konsentrasi 8% memberikan efek antimikrobial sebesar 4×108 CFU/mL, sedangkan minyak pala sebesar 6×108 CFU/mL dengan konsentrasi yang sama. Semakin tinggi konsentrasi minyak cengkeh dan minyak pala mampu mengurangi jumlah bakteri pada fillet ikan.

Respon aplikasi edible coating antimikrobial pada fillet ikan diukur dengan nilai TPC dan TVB. Tingkat cemaran bakteri (TPC) pada  fillet ikan yang di-coating menggunakan aditif dari minyak cengkeh pada hari ke-11 penyimpanan dengan suhu 5 oC sebesar 383.33×103 CFU/mL dan pada hari ke-12 menjadi 2866.66×103 CFU/mL, fillet ikan yang di-coating tanpa penambahan minyak cengkeh sebesar 483.33×103 CFU/mL pada penyimpanan hari ke-8, sementara fillet kontrol (tanpa coating) pada hari ke-6 sebesar 156.66×103 CFU/mL dan menjadi 1333.33×103 CFU/mL pada hari ke-8. Nilai TPC fillet ikan berdasarkan SNI 7388:2009 adalah 500×103 CFU/mL. Standar kadar TVB untuk ikan segar layak konsumsi sesuai SNI 2354.8:2009 adalah 20-30 mg N/100 g. Nilai TVB sampel fillet ikan kontrol pada hari ke-4 penyimpanan sudah melebihi batas standar yaitu sebesar 49.3 mg N/100 g, sampel fillet ikan yang di-coating tanpa tambahan minyak cengkeh pada hari ke-4 sebesar 26.66 mg N/100 g dan  pada hari ke-6 sudah melebihi 36 mg N/100 g, sedang sampel fillet ikan yang di-coating dengan penambahan minyak cengkeh nilainya sebesar 30.66 mg N/100 g pada hari ke-11 (masih memenuhi batas standar SNI). Berdasarkan batas standar nilai TPC maupun TVB, fillet ikan yang di-coating dengan penambahan minyak cengkeh 8% efektif menghambat pertumbuhan bakteri hingga hari ke-11 penyimpanan, sementara yang tanpa coating hanya sampai hari ke-6 bila dilihat nilai TPC-nya dan hari ke-4 bila didasarkan pada nilai TVB. (*)