Share
Drs Ruben B. Mariolkossu MM, 
LASKAR – Pasar Omele sudah masuk dalam pencatatan aset daerah sehingga untuk pengamanan aset-aset pemerintah daerah, Pemda KKT telah melakukan rapat koordinasi dengan pihak Pertanahan dan mengusulkan agar tanah milik pemerintah daerah tersebut siap disertifikasi. 
Penegasan ini disampaikan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) Drs Ruben B. Mariolkossu MM, pasca Bupati Petrus Fatlolon, Kapolres KKT, AKBP Adolof Bormasa, dan pengusaha Agus Teodorus turun langsung ke lokasi Pasar Omele, Rabu (01/07/2020) lalu.
Kepada LASKAR, Kamis (02/07/2020) di ruang kerjanya, sosok humanis pengganti Peterson Rangkoratat ini mengatakan, nantinya tim gabungan akan bekerja mengidentifikasi dan meneliti usulan-usulan dari Pemda KKT.
“Dari sini kemudian terhadap penelitian itu akan ditindaklanjuti terhadap seluruh aset daerah yang belum bersertifikat maupun yang dikuasai oleh pihak lain, dan tim akan bekerja menuntaskan semuanya,” tegas Ruben Mariolkossu.
Menurutnya, semenjak pelepasan tahun 2008, Pasar Omele sudah tercatat sebagai aset daerah. 
“Persoalan Pasar Omele tetap menjadi perhatian pemerintah daerah karena ada klaim dikuasai oleh pihak lain. Artinya, sebagian saja dan itu tidak semua. Oleh karena itu KPK membantu pemerintah daerah guna menyelesaikan setiap persoalan aset milik pemerintah,” tegasnya.
Pemda, jelas Mariolkossu, memiliki bukti pelepasan hak sejak tahun 2008 sementara pihak pengusaha Agus Teodorus membuat sertifikat pada tahun 2013. 
“Nah, saya kira proses ini sudah berjalan. Jadi terkait Pasar Omele, yang jelas bahwa pemerintah daerah bertanggungjawab dengan lokasi pasar itu. Hutang pihak ketiga kita pisahkan. Kan sudah jelas saat turun ke lokasi kemarin bersama Pak Kapolres dan pengusahanya, Pak Bupati sudah menjelaskan dan di hadapan Pak Kapolres sudah diakui oleh Pak Agus Teodoirus sendiri bahwa Pasar Omele adalah aset milik pemerintah daerah KKT,” tegasnya. 
Menyangkut hutang pihak ketiga, kata Sekda, Bupati menjelaskan Pemda KKT sudah menyurati Mensesneg terhadap laporan yang disampaikan oleh kuasa hukum mereka (Agus Teodorus-Red). 
“Tinggal saja bagaimana hasil laporan dari Pemda KKT ke Mensesneg terkait dengan laporan dari kuasa hukum pengusaha bersangkutan,” kata Mariolkossu.
Menjawab mengenai sembilan (9) hektar untuk kegiatan penimbunan itu murni dari timbunan pribadi atau tanah milik Pemda yang dipakai untuk timbunan, Mariolkossu mengakui, kalau mengikuti proses ini secara detail, sesungguhnya tanah dari lokasi pemerintah daerah yang rencananya untuk GOR. “Jadi materialnya dipakai dari situ untuk menimbun pasar Omele,” terangnya.
L. E. Layan SE.MSi
Di tempat terpisah, Kabid Aset Badan Pengelolaan keuangan dan Aset Daerah KKT, L. E. Layan SE.MSi, menjelaskan, ada dua pelepasan dalam dua tahapan. 
“Tahap pertama pelepasan itu dari jalan depan terminal sampai pada pertokoan yang dibangun pengusaha Agus Teodorus. Itu pelepasan tahun 2008 luasnya 83,900 m2. Masyarakat, pemilik petuanan melepaskan 8,3 hektar kepada pemerintah daerah pada tanggal 22 Desember 2008, dan semua proses untuk kewajiban kepada masyarakat sudah diberikan. Jadi tidak ada masalah clear and clean tanah itu milik pemerintah daerah,” tegasnya.
Layan menambahkan, terjadi penerbitan lagi dari masyarakat untuk tanah di belakang pelepasan tanah yang pertama yaitu dengan luas 9.4 hektar. 
“Itu bukan laut tapi rawa, berupa hutan bakau lalu dibuat reklamasi dan itu dikerjakan oleh Pak Agus Teodorus. Sangat jelas Pemda memiliki bukti pelepasan tahun 2015 tertanggal 30 Juli. Dan pihak yang menyerahkannya tercatat ada beberapa keluarga yakni Lamere, Jambormase, Londar sebagai kepala Soa Bunga Lembun dan mengetahui kepala desa dan camat,” ungkap Layan sembari menambahkan, sembilan (9) hektar penimbunan –, reklamasi harusnya dibicarakan saja secara baik dengan pemilik petuanan, karena yang 8 hektar Pemda sudah miliki surat pelepasan.
Masih menurutnya, untuk semua yang terkait dengan pembangunan oleh Agus Teodorus belum diselesaikan, tetapi sesuai yang disampaikan Bupati Petrus Fatlolon, proses pembayarannya harus sesuai mekanisme. 
“Jadi konsultasi secara bertahap pemerintah daerah sudah lakukan bahkan sampai kepada kajian mengenai resiko atau akibat hukum bagi Pemda bahkan akibat hukum secara pribadi jika tidak melalui mekanisme yang benar.
Lebih lanjut, Layan mengatakan, delapan (8) hektar lebih yang di bagian atas sesuai gambar, lalu 9 hektar yang di bagian bawah bangunan fisik yang belum dibayar Pemda. 
“Memang tidak ada kontrak. Begitu juga penimbunan tidak ada kontrak. Sedangkan yang lahan 8 hektar oleh Pemda sudah dibayar,” ujar Layan. (L03)