AMBON, LaskarMaluku.com- Di sudut kawasan Telkomas, tepatnya di Jl. Telegraph III Blok C3 No. 55, Kelurahan Berua, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, berdiri sebuah sentra tenun yang menjadi kebanggaan Sulawesi Selatan: Fenisa 05. Usaha mikro kecil menengah (UMKM) ini dikenal luas sebagai pengrajin Tenun Ikat Sekomandi, tenun khas Sulawesi Selatan yang mengusung filosofi persahabatan, kekerabatan, serta keteguhan hati.

Dalam kunjungan media ke lokasi tersebut, Kamis (9/10), para peserta berkesempatan berinteraksi langsung dengan Lindayati, pendiri sekaligus pemilik Fenisa 05. Perempuan yang telah menekuni dunia tenun sejak tahun 2007 ini menceritakan proses panjang di balik sehelai kain Sekomandi yang memerlukan ketelatenan tinggi dan waktu berbulan-bulan untuk diselesaikan.

“Kalau lihat prosesnya, semua dimulai dari sehelai benang kapas. Benang itu kami rendam dua hari dua malam, lalu difermentasi selama 15 hari pakai bumbu dapur seperti cabai, lengkuas, kemiri, dan kunyit,” tutur Lindayati.

Proses fermentasi ini berfungsi menguatkan warna alami benang. Dalam sekali fermentasi, bahan yang digunakan bisa mencapai lima kilogram cabai, tiga kilogram lengkuas, dan dua kilogram kemiri.

Setelah melalui tahap perendaman dan pengeringan berulang, benang kemudian dimasukkan ke alat tradisional bernama plan untuk diikat dan diwarnai. Pewarna alami dimasak selama dua jam, lalu benang direndam hingga tiga kali proses pewarnaan untuk menghasilkan kombinasi warna khas seperti merah, biru, dan hijau. “Dari benang sampai jadi sehelai kain, butuh waktu sekitar tiga bulan,” katanya.

Fenisa 05 menjadi salah satu ikon UMKM tenun tradisional di Sulawesi Selatan yang mampu menembus pasar nasional hingga internasional. Produk-produknya kini dipasarkan melalui media sosial dan WhatsApp, dengan harga mulai dari Rp250 ribu hingga Rp3,5 juta tergantung ukuran dan kerumitan motif. “Kebanyakan pembeli dari Bali, Jakarta, dan juga kolektor kain. Bahkan pernah ada yang dikirim ke luar negeri lewat pameran,” ungkapnya.

Perjalanan Fenisa 05 tak lepas dari dukungan berbagai pihak, terutama Bank Indonesia (BI).

Lindayati mengaku sejak 2019 menjadi binaan BI setelah sebelumnya tergabung dalam Dekranasda Sulawesi Selatan. “Awalnya waktu viral di 2018, Gubernur Nurdin Abdullah melihat hasil karya kami dan merekomendasikan untuk masuk Dekranasda. Dari situ kami kemudian dibina oleh BI,” jelasnya.

Sejak menjadi mitra binaan, Fenisa 05 rutin diikutsertakan dalam pameran nasional seperti Inakraf dan Karya Kreatif Indonesia (KKI). Bahkan, pada tahun 2021 dan 2023, kain hasil tenun Fenisa 05 tampil dalam fashion show di Jakarta. “Alhamdulillah, kain kami bisa dipakai desainer nasional. Dari situ kami mulai berkolaborasi untuk membuat busana modern seperti jaket dan gamis. Hasilnya banyak diminati,” katanya bangga.

Tak hanya di dalam negeri, kiprah Fenisa 05 juga telah menembus panggung internasional. Dalam pameran BI tahun 2022, kain tenun Sekomandi dibawa ke Dubai oleh BI Pusat. “Saya tidak ikut ke sana, tapi kain saya dibawa langsung oleh BI. Itu pengalaman luar biasa bagi kami,” ujarnya.

Menurut Lindayati, dukungan BI bukan hanya dalam bentuk promosi, tetapi juga pendampingan dan pencarian mitra bisnis. “BI membantu kami ikut pameran, bahkan mencarikan pembeli. Kalau ada tamu atau kunjungan, kami diberi kesempatan menyiapkan suvenir khas tenun,” katanya.

Keunikan Fenisa 05 terletak pada proses tradisional yang sepenuhnya dilakukan tanpa mesin. Semua pekerjaan dikerjakan oleh keluarga, termasuk sang ibu yang kini berusia 75 tahun dan masih aktif menenun. “Kami hanya bekerja berlima sampai enam orang, semua keluarga. Dari awal sampai akhir, kami kerjakan sendiri,” ujarnya.

Selain menjadi pengrajin, Lindayati juga kerap berbagi pengetahuan kepada mahasiswa dan peneliti dari berbagai negara yang tertarik dengan tenun tradisional. “Sudah ada mahasiswa dari 12 negara datang ke sini. Mereka kagum karena setiap motif punya cerita dan filosofi,” katanya.

Kini, Fenisa 05 bukan hanya tempat produksi tenun, tetapi juga ruang pelestarian budaya dan pembelajaran tentang kekayaan lokal. Dari tempat sederhana di Makassar, Lindayati dan keluarganya membuktikan bahwa karya tradisional bisa bertahan, bahkan bersaing di kancah global.

“Saya tidak pernah menyangka bisa sejauh ini. Dulu cuma menenun untuk kebutuhan rumah. Sekarang, alhamdulillah, karya kami dikenal banyak orang. Semua ini berkat kerja keras, doa, dan dukungan dari Bank Indonesia serta Dekranasda

Untuk diketahui, Motif tenun tersebut Menggambarkan daun lontar karena berasal dari budaya Sulawesi Barat ciri khas dari keluarga dan Motifnya banyak macam(L06)