Share
LASKAR AMBON – Walikota Ambon, Richard Louhenapessy mengakui Pemkot Ambon memiliki saham terbesar kedua di PT Bank Maluku dan Maluku Utara, sehingga masalah yang sedang menimpa bank kebanggaan daerah ini cukup menggelisahkan.
Apalagi, sebagai pemegang saham terbesar kedua, Pemkot Ambon pada tahun 2015 tidak mendapatkan pembagian deviden.
Orang pertama di Kota Ambon ini lapang dada menerima resiko pembagian deviden yang tidak berjalan lantaran bank kesandung masalah sangat serius yaitu praktek transaksi repo fiktif senilai Rp 238 miliar.
“Jadi pembagian deviden yang tidak berjalan itu bukan karena “Surabaya” tetapi akibat transaksi repo fiktif,” tegasnya usai mengikuti pertemuan bersama Pansus Bank Maluku dan Maluku Utara, Senin (13/6) lalu.
Menurut Richard, laporan bank menyebutkan uangnya ada. Tetapi kenyataannya kosong di kas. Ini kasus yang sangat besar dan berat,” ungkapnya.
Karena itu, jika ingin menuntaskan kasus di Bank Maluku dan Maluku Utara, maka yang harus dikejar adalah transaksi repo fiktif yang sangat merugikan bank tersebut.
Menjawab wartawan mengenai pembelian gedung kantor cabang Bank Maluku dan Maluku Utara di Surabaya, tokoh yang familiar dengan kalangan wartawan ini, menegaskan, Pemkot Ambon selaku salah satu pemegang saham di Bank Maluku dan Maluku Utara, menyatakan pengembangan Badan usaha Milik Daerah (BUMD) milik pemerintah daerah dengan membeli tanah dan gedung untuk kantor cabang Surabaya sudah masuk dalam Rencana Bisnis Bank (RBB).
“Nah ini sebetulnya sudah masuk dalam RBB dan selalu ada persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Karena ini sudah ada persetujuan dan rencana bisnis, maka selaku Gubernur dan Walikkota diminta untuk persetujuan,” terangnya.
Menurut aturan, kata Richard, tanpa ada persetujuan pun tidak ada masalah karena seluruh kewenangan itu ada di tangan direksi. “Jadi kita menyetujui karena sudah masuk dalam RBB,” ujarnya.
Dia menjelaskan, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) BUMD ini, menyebutkan, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) biasanya dilaksanakan satu tahun sekali, dan jika ada hal yang urgen bisa dua sampai tiga kali yang disebut RUPS luar biasa.
“Saudara-saudara harus tahu bahwa sekali penyelenggaraan RUPS menelan anggaran sekitar Rp 500 juta. Apakah hanya untuk sebuah keputusan tiap kali dilakukan RUPS. Coba dihitung berapa banyak kerugian bank yang bakal terjadi?,” katanya penuh tanya.
Oleh karena itu, dipastikan, kewenangan diberikan oleh AD/ART selaku pemegang saham utama, itu bisa. “Nantinya dipertanggungjawabkan di RUPS karena sekali dilakukan RUPS, ya diundang semua pemegang saham dan minimal dua bulan lebih awal sudah harus dilakukan pemberitahuan,” urainya.
Masih menurut Richard, seluruh pemegang saham optimis bank daerah ini tetap bergerak maju. Pula, keberlangsungan bank ini apakah sehat dan tidak sehat, bisa digaransi melalui penilaian dan penjelasan dari pihak OJK, bahwa kondisi saat ini cukup sehat. 
Penegasan yang sama sebelumnya dilontarkan Gubernur Maluku, Said Assagaff, sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP).  “Masalah yang terjadi tidak mempengaruhi kondisi dan aktivitas bank. Berdasarkan penilaian OJK, kondisi bank cukup sehat. Bahkan, Pemprov Maluku dan Maluku Utara maupun 22 kabupaten/kota sebagai pemilik saham terus menambah nilai investasinya,” tegas pemegang saham pengendali ini. (LR)